"Maksudnya, elu udah nggak mau ngebuat Lara balik ke Eiffor? Elu mau ngebiarin dia dimanfaatin sama Ari?"
Pesan itu terus masuk ke dalam ponsel milik Lalita. Sang empunya enggan untuk membahas lebih jauh terkait rencana sebelumnya. Bagaimanapun juga, ia sendiri sudah mengerti watak Tarissa yang sebenarnya.
"Udah, bales aja kalo emang mau ngebales," saran Lara.
Sudah puluhan kali ponsel Lalita berdering, menyalak minta sang empunya mengangkat. Tiap kali pula, kawan karibnya selalu memberi saran yang sama. Sayangnya, ia sudah terlanjur patah hati.
Sepeninggal Lara yang ditendang dari grup Eiffor, tiga dara itulah yang menguasai. Mereka berencana membuat Lara kembali seperti semula. Jauh sebelum Lalita tahu siapa jati diri sosok yang diikuti perintahnya.
"Kagak, Ra. Gue tetep nginep sini, ya! Sampek keadaan membaik," pinta Lalita.
Bukan perkara keselamatan atau
Mini Cooper warna hijau metalik milik Lara telah membelah jalanan bebas hambatan penghubung antarJawa. Jam baru menunjuk ke angka sebelas, saat Ari mulai menepikan laju mobil menuju ke area peristirahatan."Aku capek, Ra, kita berenti bentar, ya?"Lara tak menyahut. Ia lebih sibuk memandang hal yang bahkan belum pernah dibayangkan sebelumnya. Tangannya yang menumpu dagu, sama sekali tak kebas meski telah dua jam berada di posisi yang sama.Ari tak perlu menunggu jawaban Lara, ia hanya butuh minum dan istirahat sebentar. Walaupun ia seorang montir, tetapi berkendara jauh bukanlah hal yang bisa ia lakukan dengan santai.Mesin mobil telah berhenti menderu ketika Ari mulai merenggangkan tubuh. Ia masih belum sadar bahwa Lara masih terpaku. Entah mengapa, ia tak ingin atau lebih tepatnya berusaha menghindari tatapan Lara sejak kejadian pagi tadi."Ngapain, Bos?!"
"Ari!"Gerakan tangan pria yang usianya hampir menginjak kepala tiga itu terhenti data mendengar panggilan sang kekasih hati. Paksaan yang membuatnya berada di sini, jika saja ia masih mau bersabar lebih lama lagi dalam hidup yang serba kekurangan."Apaan, Ra?""Who's me?"Ari terkesiap. Ia menatap Lara lekat, sedangkan yang ditatap makin menyimpul senyum semringah.Debar dalam dada Ari mulai kurang ajar. Detaknya tak seirama, membuat pria berambut cepak itu salah tingkah. "Apaan, sih?""Who's Lara?""Ya kamu Lara, Ra!""Ari girlfriend. Who's Lara?"Ekspresi Lara kali ini begitu menyebalkan bagi Ari. Bagaimana tidak. Ia harus menelan ludah susah payah demi menghalau rasa gemas akan bibir seksi yang dimanyunkan. Terlebih, wajah mereka hanya berjarak tak lebih dari dua jengkal.
"Kenapa nggak makan di fastfood itu aja, sih, Ri?"Lara tampak menghela napas berulang saat melihat sebungkus mie dalam mangkuk tinggi mulai mengembang. Ia bahkan tak pernah makan di pinggir jalan tanpa penyekat."Coba aja, dulu, Ra. Yakinlah, ini enak!"Ari mulai meraih bungkusan garpu plastik yang berada tak jauh dari mangkuk milik Lara. Dengan cepat ia merobek, lantas menyodorkan cutleries mini pada sang empunya."Bukan masalah enaknya, Ri. Ini sehat, nggak? Higienis, nggak?""Ya udah, sana. Pergi sendiri aja ke sana. Biar ini aku yang habisin."Tak elak, pengusiran Ari membuatnya bungkam. Padahal, ia sudah bersusah payah merayu agar masuk ke dalam restoran berdinding kaca di ujung rest area."Ya udah. Gue makan."Sebenarnya, melihat Ari menyantap hidangan instan itu dengan lahap, sudah bisa membuat air liur Lara m
"Kenapa harus ke sini, Ri?"Sejauh mata memandang, banyak hamparan pohon yang melambai. Asri dan sejuk. Perbedaan yang kontras jika dibandingkan dengan suasana hiruk-pikuk Jakarta."Kita mesti cari supplier air bersihnya dulu. Seenggaknya harus dapet yang bener-bener bersih. Yang ph-nya juga bagus. Jadi sehat. Nggak main tunjuk supplier."Lara memutar bola matanya malas sembari menatap ke arah luar jendela. "Maksud gue. Kita bisa nyuruh orang, Ri. Nggak perlu terjung langsung. Orang kepercayaan gue banyak."Ari melihat Lara yang membuang wajah. Ia tak begitu terkejut mendengar pernyataan mantan bosnya. "Aku tau, Ra, tapi aku sekarang kan pengangguran. Jadi nggak perlu, lah, nyuruh orang buat ngelakuin apa yang bisa kulakuin."Lara menganggut, lalu kembali melihat pemandangan yang tersaji di depan mata. Bogor dan seisinya, selalu menjadi daya tarik tersendiri.
"Elu kenapa? Beda bener auranya. Nggak kek tadi pagi."Celetukan Lara terdengar begitu putus asa di telinga Ari. Ia masih mengunci bahasa meski mobil sudah melaju lebih dari sepuluh menit. Sejak menerima telepon dari Tarissa saat makan siang tadi, ia memilih tetap bungkam.Menyadari sikap Ari yang masih ingin dipertahankan entah sampai kapan, Lara pun membuang muka. Namun, ia mulai panik saat mobil melaju kian naik ke puncak.Berbagai pikiran buruk sontak memenuhi pikiran Lara. Terlebih, awalnya Ari memang ingin menjauh darinya demi Tarissa."Elu mau ke mana? Arah pulang bukan ke sini, Ri."Ari masih diam. Ia tak ingin buka suara meski hanya berdeham. Jalanan makin curam dan menanjak. Melewati perkebunan warga dengan ukuran aspal yang mulai mengecil."Ri! Kita mau ke mana?"Lara kian panik, tetapi Ari masih mempertahankan egonya untuk tet
"Whoaaa! Bagus banget, Ri!"Lara terperangah melihat pemandangan indah yang terhampar di depan mata. Berada di ketinggian pada gulita yang berkuasa, membuatnya mampu melihat permadani bumi adiwarna.Kerlap-kerlip lampu yang memikat nan menawan, mampu membuat hati seorang gadis arogan begitu terpana. Meski ini bukan kali pertama melihat hal semacam ini, tetapi entah mengapa malam itu terasa jauh lebih indah."Bagus banget!""Sama-sama," jawab Ari sekenanya. Ia bahkan berucap sembari mencibir Lara."Elu kalo nggak tulus kagak usah modus!""Dih. Rugi ngemodusin kamu! Nggak dapet apa-apa!"Kini Lara malah melirik tak suka pada sang pujangga. Namun, ia tetap merasa begitu diistimewakan kala itu. Mengingat hal yang dilakukan Ari tadi adalah hal yang tak bisa dibayangkan sebelumnya."Nih, pakek!" perintah Ari, otoriter. Dile
Jam sudah menunjuk ke angka dua belas saat dua insan beda gender itu sudah berada di mobil untuk segera pulang. Keduanya sempat berhenti untuk makan di warung kaki lima. Namun, kali itu Lara enggan untuk mengulang hal yang sama."Kenapa?" tanya Ari yang penasaran. Ia masih melajukan mobil, mencari rumah makan yang masih buka di tengah malam."Gue kapok!"Ari mengernyit heran, lantas terus melemar tanya yang tak kunjung dijawab oleh Lara. Beruntung, saat mobil mewah itu berada tak jauh dari perbatasan, ia menepi ke sebuah restoran fastfood ternama."Untung ada yang buka 24 jam," gerutu Ari yang hampir tak terdengar.Lekas mereka turun dan mulai memesan. Lara yang hapal betul dengan menu makanan mereka pun langsung menunjuk gambar dan berlalu dari meja kasir. Meninggalkan Ari yang masih bergeming."Kagak ngomong, nggak apa. Kek patung, aja!" celetuk Ari sepenin
"Ya udah, sih, minum aja. Tapi harusnya nggak usah dicampur, biar tetep higienis.""Kamu dengan segala tetek bengeknya bikin aku capek, ngerti? Jadi mending, kalo masih mau sama aku, banyakin diemnya, ok? Apalagi kalo nyangkut soal makanan."Setelah berselisih paham beberapa menit, keduanya pun dipasung kebisuan. Sampai pada akhirnya kentang goreng milik Ari sudah habis, ia lekas beranjak.Lara turut mengekor di belakang Ari, kemudian masuk ke mobil hendak kembali ke Jakarta. Setidaknya butuh waktu sejam tanpa kepadatan jalanan untuk sampai id rumah indekost Ari."Kamu besok ada jam kuliah jam berapa?"Ari mencoba memecah keheningan. Buakn tanpa sebab, perutnya yang kenyang karena tak ingin mendengar peringatan Lara kini mulai bereaksi. Matanya kian berat terlebih saat tak ada yang mengajaknya bicara."Jam tujuh."Ari meliri