Dua kakak beradik itu sudah menghabiskan semangkuk mi instan berkuah pedas saat mereka telah berpisah. Rendi yang memilih ke luar dari kamar sang kakak setelah mendapat banyak penjelasan, telah merebahkan diri ke ranjangnya. Hal serupa dilakukan oleh Ari pula.
Kantuk yang menyergap keduanya usai merasa puas dengan santapan, belum juga berhasil membuat mata memejam. Terlebih, saat keduanya mengingat percakapan yang mengisi waktu bersamaan dengan menyeruput panjangnya mi instan.
"I-itu, milik pacarku tadi, Ren," aku Ari sembarangan. Ia sendiri tak yakin itu milik siapa. Yang pasti, sebelum ini ia tak pernah memasukkan wanita mana pun kecuali Lara pagi buta tadi.
Rendi masih mengeratkan rahang. Ia mencoba menetralkan emosi yang hampir meluap entah karena apa. "Gue kenal ini cardi, Ri."
Ari mengerjap-ngerjapkan mata, lalu menarik Rendi untuk duduk di sofa. Disodorkannya mi instan jumbo agar segera disant
Lara baru saja bangun saat ponselnya menyalak. Nama 'Montir Beloved', terpatri di layar lima inci-nya.Sontak saja, Lara menguatkan diri untuk langsung beranjak bangun. Diminumnya segelas air sebelum akhirnya menerima panggilan dari sang kekasih.Sembari bersandar pada bahu ranjang, Lara memainkan bola matanya ke atas. "Iya, RI? Kenapa pagi-pagi gini telepon?""Koe lupa kemaren ngomong apa?" tanya Ari antusias.Lara yang baru bangun hanya mampu menggumamkan mulut tak jelas. Ia mencoba mengingat apa yang akan dilakukan, yang pernah dikatakannya pada Ari. Memoarnya pun mulai memutar kejadian kemarin."Kita harus jadi kekasih, Ri!" tegas Lara. Keinginan yang merangkap perintah itu sama sekali tak diberi celah untuk ditolak mentah.Ari hanya menganga mendapati kejadian serupa yang ia lakoni lebih dari dua bulan sebelumnya. Bukan hanya masalah hati kini, tetapi ju
"Elu kenapa ngindarin gue?" Pesan dari Tarissa telah dibuka sejak sejam sebelum Ari mulai menelepon Lara. Susah baginya untuk menghalau rasa pada gadis yang tatapannya telah dipuja sejak hari kedua bekerja. Ada hasrat menggebu yang terus dipendam Ari sejak saat itu. Sayangnya, ia tak tahu pasti rasa apa yang membuatnya memuja dua bola mata selegam malam milik Tarissa. Sudah berulang kali Ari menulis balasan, lalu kembali menghapusnya kala ancaman Lara mengiang di telinga. Ia tak ingin mengecewakan wanita, tetapi juga tak ingin kehilangan kesempatan untuk masa depan yang cerah. Akhirnya, dengan susah payah Ari menghapus pesan yang ada. Lantas pergi ke luar kamar demi mencari sesuap nasi untuknya dan Rendi. Beruntungnya, di pagi hari pada jam yang sama, sebuah mobil bak terbuka dengan meja dan etalase panjangnya selalu berhenti di ujung gang. Ialah penjual makanan khas Mi
"Maksudnya, elu udah nggak mau ngebuat Lara balik ke Eiffor? Elu mau ngebiarin dia dimanfaatin sama Ari?"Pesan itu terus masuk ke dalam ponsel milik Lalita. Sang empunya enggan untuk membahas lebih jauh terkait rencana sebelumnya. Bagaimanapun juga, ia sendiri sudah mengerti watak Tarissa yang sebenarnya."Udah, bales aja kalo emang mau ngebales," saran Lara.Sudah puluhan kali ponsel Lalita berdering, menyalak minta sang empunya mengangkat. Tiap kali pula, kawan karibnya selalu memberi saran yang sama. Sayangnya, ia sudah terlanjur patah hati.Sepeninggal Lara yang ditendang dari grup Eiffor, tiga dara itulah yang menguasai. Mereka berencana membuat Lara kembali seperti semula. Jauh sebelum Lalita tahu siapa jati diri sosok yang diikuti perintahnya."Kagak, Ra. Gue tetep nginep sini, ya! Sampek keadaan membaik," pinta Lalita.Bukan perkara keselamatan atau
Mini Cooper warna hijau metalik milik Lara telah membelah jalanan bebas hambatan penghubung antarJawa. Jam baru menunjuk ke angka sebelas, saat Ari mulai menepikan laju mobil menuju ke area peristirahatan."Aku capek, Ra, kita berenti bentar, ya?"Lara tak menyahut. Ia lebih sibuk memandang hal yang bahkan belum pernah dibayangkan sebelumnya. Tangannya yang menumpu dagu, sama sekali tak kebas meski telah dua jam berada di posisi yang sama.Ari tak perlu menunggu jawaban Lara, ia hanya butuh minum dan istirahat sebentar. Walaupun ia seorang montir, tetapi berkendara jauh bukanlah hal yang bisa ia lakukan dengan santai.Mesin mobil telah berhenti menderu ketika Ari mulai merenggangkan tubuh. Ia masih belum sadar bahwa Lara masih terpaku. Entah mengapa, ia tak ingin atau lebih tepatnya berusaha menghindari tatapan Lara sejak kejadian pagi tadi."Ngapain, Bos?!"
"Ari!"Gerakan tangan pria yang usianya hampir menginjak kepala tiga itu terhenti data mendengar panggilan sang kekasih hati. Paksaan yang membuatnya berada di sini, jika saja ia masih mau bersabar lebih lama lagi dalam hidup yang serba kekurangan."Apaan, Ra?""Who's me?"Ari terkesiap. Ia menatap Lara lekat, sedangkan yang ditatap makin menyimpul senyum semringah.Debar dalam dada Ari mulai kurang ajar. Detaknya tak seirama, membuat pria berambut cepak itu salah tingkah. "Apaan, sih?""Who's Lara?""Ya kamu Lara, Ra!""Ari girlfriend. Who's Lara?"Ekspresi Lara kali ini begitu menyebalkan bagi Ari. Bagaimana tidak. Ia harus menelan ludah susah payah demi menghalau rasa gemas akan bibir seksi yang dimanyunkan. Terlebih, wajah mereka hanya berjarak tak lebih dari dua jengkal.
"Kenapa nggak makan di fastfood itu aja, sih, Ri?"Lara tampak menghela napas berulang saat melihat sebungkus mie dalam mangkuk tinggi mulai mengembang. Ia bahkan tak pernah makan di pinggir jalan tanpa penyekat."Coba aja, dulu, Ra. Yakinlah, ini enak!"Ari mulai meraih bungkusan garpu plastik yang berada tak jauh dari mangkuk milik Lara. Dengan cepat ia merobek, lantas menyodorkan cutleries mini pada sang empunya."Bukan masalah enaknya, Ri. Ini sehat, nggak? Higienis, nggak?""Ya udah, sana. Pergi sendiri aja ke sana. Biar ini aku yang habisin."Tak elak, pengusiran Ari membuatnya bungkam. Padahal, ia sudah bersusah payah merayu agar masuk ke dalam restoran berdinding kaca di ujung rest area."Ya udah. Gue makan."Sebenarnya, melihat Ari menyantap hidangan instan itu dengan lahap, sudah bisa membuat air liur Lara m
"Kenapa harus ke sini, Ri?"Sejauh mata memandang, banyak hamparan pohon yang melambai. Asri dan sejuk. Perbedaan yang kontras jika dibandingkan dengan suasana hiruk-pikuk Jakarta."Kita mesti cari supplier air bersihnya dulu. Seenggaknya harus dapet yang bener-bener bersih. Yang ph-nya juga bagus. Jadi sehat. Nggak main tunjuk supplier."Lara memutar bola matanya malas sembari menatap ke arah luar jendela. "Maksud gue. Kita bisa nyuruh orang, Ri. Nggak perlu terjung langsung. Orang kepercayaan gue banyak."Ari melihat Lara yang membuang wajah. Ia tak begitu terkejut mendengar pernyataan mantan bosnya. "Aku tau, Ra, tapi aku sekarang kan pengangguran. Jadi nggak perlu, lah, nyuruh orang buat ngelakuin apa yang bisa kulakuin."Lara menganggut, lalu kembali melihat pemandangan yang tersaji di depan mata. Bogor dan seisinya, selalu menjadi daya tarik tersendiri.
"Elu kenapa? Beda bener auranya. Nggak kek tadi pagi."Celetukan Lara terdengar begitu putus asa di telinga Ari. Ia masih mengunci bahasa meski mobil sudah melaju lebih dari sepuluh menit. Sejak menerima telepon dari Tarissa saat makan siang tadi, ia memilih tetap bungkam.Menyadari sikap Ari yang masih ingin dipertahankan entah sampai kapan, Lara pun membuang muka. Namun, ia mulai panik saat mobil melaju kian naik ke puncak.Berbagai pikiran buruk sontak memenuhi pikiran Lara. Terlebih, awalnya Ari memang ingin menjauh darinya demi Tarissa."Elu mau ke mana? Arah pulang bukan ke sini, Ri."Ari masih diam. Ia tak ingin buka suara meski hanya berdeham. Jalanan makin curam dan menanjak. Melewati perkebunan warga dengan ukuran aspal yang mulai mengecil."Ri! Kita mau ke mana?"Lara kian panik, tetapi Ari masih mempertahankan egonya untuk tet