Share

Zahra Telah Putus Asa

Zahra sekarang di pemakaman neneknya, memeluk boneka yang pernah neneknya jahitkan untuknya saat dia kecil dahulu. Zahra menjatuhkan tubuhnya, bersimpuh di kuburan neneknya. Air matanya berlinang dan jatuh dengan deras, terpukul–hancur sebab kehilangan sosok neneknya. Zahra meletakkan bunga kesukaan neneknya di atas kuburan, mengusap batu nisan sang nenek dengan bulir kristal yang berjatuhan.

"Terimakasih sudah merawat Zahra dengan baik, Nek. Terimakasih untuk semua cintanya. Dan maaf … maaf jika Zahra belum bisa menjadi cucu yang baik untukmu, Nek," ucap Zahra dengan nada bergetar hebat.

Dia kembali menangis, sesenggukan sembari memeluk erat batu nisan neneknya. Tiba-tiba saja sebuah tangan menyentuh pundaknya, Zahra pikir dia adalah Zein. Namun dia salah, dia Raka.

Hah, apa yang Zahra harapkan pada Zein? Mungkin sekarang pria itu sedang bahagia dengan kekasihnya, tengah berpesta sebab sebentar lagi akan punya anak dari perempuan yang dia cintai.

"Maaf terlambat datang, Zahra. Dan … turut berduka cita atas berpulangnya Nenek anda pada yang Kuasa."

Zahra mengukir senyum, memaksakan diri walau hatinya hancur. "Terimakasih telah datang, Paman," ucap Zahra lembut.

"Kamu wanita yang hebat dan kuat, aku yakin kamu bisa melewati semua ini, Zahra," ucap Raka, ikut berjongkok di sebelah Zahra. "Zahra, atas nama keluarga Melviano dan atas luka yang mereka torehkan padamu, aku sangat meminta maaf," lanjut Raka.

"U'um." Zahra berdehem dengan lirih, air matanya lagi-lagi jatuh, kembali sedih sebab mengingat kebersamaannya dengan sang nenek.

"Maaf, Zahra, aku pulang duluan. Kumohon jangan berlarut-larut dalam kesedihan." ucap Raka, setelah itu beranjak dari sana. Dia tak bisa menemani Zahra sebab ada urusan penting yang harus dia selesaikan.

Zahra hanya mengangguk, tak sanggup untuk mengeluarkan perkataan apapun sekarang. Kematian neneknya adalah luka mendalam baginya. Mungkin setelah ini Zahra akan lupa cara tertawa. Hari semakin sore, akhirnya Zahra memutuskan untuk beranjak dari sana. Dia sedih akan tetapi dia harus kuat. Zahra tidak boleh berlarut-larut.

Ketika Zahra membalik tubuhnya, terlihat sosok Zein yang berjalan mendekat ke arahnya dan makan neneknya. Zahra bergeming sesaat, semakin sedih entah kenapa setelah melihat Zein.

"Aku turut berduka cita atas meninggalnya Nenek," ucap Zein rendah dan pelan, menggunakan nada yang lunak untuk menjaga perasaan Zahra yang saat ini tengah kacau. "Maaf karena aku terlambat. Aku ada urusan penting yang tidak bisa ku hindari. Maaf …," lanjutnya.

Sejujurnya dia merasa bersalah karena tidak bisa menemani Zahra di masa sulit ini, oleh sebab itu dia meminta maaf.

"Akhir-akhir ini Pak Zein hanya sibuk dengan Belle. Bukan tidak bisa ke sini, tetapi karena anda lebih memilih bersama mantan kekasih anda," dingin Zahra, tidak ingin bersikap baik lagi sebab dia sangat sakit hati oleh Zein. 'Kamu memilihnya sebab dia sedang mengandung anakmu, bayi Belle adalah bayi yang kamu inginkan. Sedangkan aku? Bayi dalam perutku bukan apa-apa untukmu dan nenekku tidak penting bagimu.' lanjut Zahra dalam batin.

"Aku memang ada pekerjaan penting, Zahra. Jangan berpikiran aneh," ucap Zein tenang sembari meletakkan bunga yang dia bawa untuk nenek Zahra. Ia merelakan bunga tersebut di atas kuburan.

Zahra berdecis sinis secara pelan, memandangi suaminya sejenak sembari menangis tanpa suara. Hatinya sangat sakit dengan sikap Zein. Saat Belle membutuhkan, dengan sigap Zein datang. Tetapi saat Zahra yang sangat membutuhkan kehadiran sosok ini, Zein tak pernah ada. Setidak penting itukah dia di mata Zein? Apa dia dan kehadirannya tidak berharga sedikitpun bagi Zein?

Selama tiga tahun menjadi istri Zein, Zahra selalu berusaha menjadi istri yang baik dan penurut. Dia melakukan apapun untuk Zein. Namun, sepertinya itu tak bisa membuat Zein melupakan mantannya yang sekarang sedang hamil. Zahra kalah! Zahra bukan apa-apa dibandingkan masa lalu Zein.

Setelah beberapa menit termenung, Zahra meraih bunga yang Zein letakkan di atas makam neneknya. Kemudian dia melempar bunga tersebut secara kasar, Zein tidak menghargainya dan Zahra juga tak akan menghargai pria ini lagi.

"Apa yang kau lakukan?" Zein menggeram rendah, marah tetapi dominan bingung dengan sikap Zahra. Ini kali pertama dia melihat sikap Zahra yang begini.

"Pak, aku sudah memikirkannya. Ayo, bercerai!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Jasmine Alamanda s
suka ceritanya , langsung sat set sat set , g muluk² kebanyakan drama inilah itulah , lanjutkan Thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status