“Aah, ayangku, kamu pulangnya lama sekali sih, aku kan, kangen berat padamu,” teriak Ika dengan manjanya lalu memeluk bapak. Bapak menoleh pada kami. Mungkin karena merasa tidak enak pada kami bapak melepaskan pelukan Ika.“Pak!” Kusalami bapak.Ibu diam saja. Beliau menutup kembali pintu ruang jahitku lalu masuk kamar. Begitu pun Mas Arman. Dia langsung masuk lamar lagi tanpa mau bersalaman dulu dengan bapak.Sepertinya bapak tidak mau ambil pusing. Beliau malah sibuk bercengkrama dengan Ika dan mengajak ngobrol anak mereka yang masih di perut Ika. Mengelus mesra perut Ika.Aku yang melihat saja perih apa lagi ibu yang merasakannya juga. Tapi Kenapa ibu tidak juga sadar akan semua kesalahannya? Harusnya ibu bisa mengambil hikmah dari semua ini. Jika kuat bertahan dan berdamai, jika tidak lepaskanlah.Kalau begini ceritanya ibu sama saja menyiksa hatinya sendiri. Anak-anak sudah besar. Mau mempertahankan apa lagi? Seusia ibu dan bapak harusnya bukan lagi memikirkan tentang cinta, tapi
“Jaga mulutmu, Fatki atau aku sobek pakai ini!” Ika mengacungkan silet padaku.“Mengancam? Lakukan saja kalau bisa,” tantangku.Ika diam saja tak berani mendekat. Halah mental kerupuk begitu beraninya main ancam.“Eh, belum tidur Fatki, sudah malam loh, ini?” ujar bapak ketika keluar dari kamar mandi.“Habis negur Ika, Pak. Dia ambil dompet Bapak dari dalam tas. Kataku itu tidak sopan eh, malah Ika marah-marah padaku . Itu dia megang silet katanya mau nyilet mulutku karena tidak mau dinasehati.”Ika tergagap pasti dia tidak akan menyangka kalau aku bakalan mengadu begini.“Ika, ya Allah, jangan ceroboh begini kamu bisa celaka sendiri. Siniin siletnya! Uang di dompet harus dibagi dulu dengan adil!" seru bapak. Ika memberikan silet itu dengan perasaan dongkol padaku. Matanya tajam menatapku. Jelas sekali gambaran kebencian di sana.“Pak, ini selimutnya. Bapak istirahatlah.”“Terima kasih, Nak.” Aku mengiyakan lalu masuk kamar.Rasanya lega dan enak sekali meluruskan pinggang setelah se
“Aku tidak bisa berbagi, Mas. Aku mau kamu seutuhnya milikku. Pokoknya kamu tidak boleh tidur dengan Fatki kalau kamu nekat tidur dengannya maka malam ini juga aku pergi dari sini!” Ancam Reni.Waw! Ternyata Reni cinta mati pada Mas Arman. Sepertinya dia memang benar-benar tidak ridho Mas Arman tidur denganku. Biasanya kan, pelakor akan masa bodo lakinya mau tidur di mana yang penting duit ngalir untuknya.Eehh ... tapi, kan, emang Mas Arman tidak punya duit. Bingung sendiri aku. Lalu Reni mau dengan Mas Arman karena apanya, ya?“Ya sudah, iya, ayo, kita kembali tidur. Kamu pasti lelah kan, jangan nangis lagi takut di dengar bapak di ruang tengah.Se per sekian detik sudah tidak terdengar suara mereka lagi. Baguslah mereka akhirnya pergi juga.Aku lebih baik melanjutkan shopping onlineku saja. Mencari barang-barang yang aku inginkan. Targetku 4 hari ruko itu harus sudah rapi dan bisa ditempati. Setelah itu kejar target jahitan yang sudah menggunung.Aku beralih ke akun IG-ku. Ada ban
“Baiklah karena aku banyak urusan jadi aku pamit dulu. Bapak sarapnnya aku bawa ya, untuk bekal. Lumayan hemat ....”“Iya, Nak, tambah ini gorengannya. Makan yang banyak Bapak lihat kamu jadi kurus. Pasti banyak pikiran terus malas makan. Makan yang banyak ya, Bapak takut dosa, Bapak takut jadi mertua yang zholim nanti di akhirat pertanggung jawabannya berat.”Aku tertegun dengan ucapan bapak. Ya Allah ternyata bapak sepeduli dan sesayang itu padaku.“Terima kasih banyak, Pak sudah peduli dan sayang padaku. Bapak bagiku bukan hanya sekedar Bapak mertua, tapi seperti Bapak kandungku sendiri. Baiklah aku berangkat. Assalamualaikum .... “ Kusalami beliau takjim mungkin sekaranglah aku bisa berbakti pada beliau karena setelah aku bercerai tidak akan mungkin bisa lagi .“Tunggu, Dik, aku mau bicara!” Mas Arman mencekal tanganku saat aku akan memakai sepatuku.“Katakan padaku siapa laki-laki yang sudah meluluhkan hatimu selain aku? Pasti kamu ada laki-laki lain kan, jadi kamu kekeh mau pi
“Tolong, Bapak! Pak!” teriakku. Mang ojek yang mungkin merasa terancam membela dirinya jadilah mereka saling hantam dan tonjok. Bapak lari ke arah kami diikuti ibu dan juga Intan.“Arman, berhenti! Cukup.” Teriakan bapak tidak diindahkan oleh Mas Arman.Bugh!Bapak menonjok wajah Mas Arman hingga Mas Arman mental.“Memalukan! Pagi-pagi sudah bikin ribut. Bikin masalah saja!” bentak bapak.Mas Arman hendak bangun dan siap menyerang lagi, tapi bapak lebih dulu menendang pantatnya.Kang ojek, mengusap-usap pipinya. Duh, kasihan sekali. Mau cari duit malah dapat sial. Mas Arman memang benar-benar keterlaluan masa main pukul tanpa tahu salahnya ini orang apa. Yang aku khawatirkan ternyata jadi kenyataan. Kang ojek enggak pakai jaket kebangsaannya. Dandannya super duper keren makanya Mas Arman salah paham. Pasti dia kira kang ojek ini orang spesial yang menjemputku. Gitulah kalau nafsu dan emosi digedein. Merugikan orang lain.“Mas, maaf ya, sepertinya suamiku salah paham.” Aku benar-bena
Ting!Mas Arman kembali mengirimkan pesan. Ck, kirain sudah bunuh diri.[Kamu tega, Dik. Kamu sudah benar-benar tidak mencintaiku lagi. Selamat tinggal!]Halah, gitu doang. Palingan cuma gertakan. Cuma kecelakaan motor aja kesakitan kerjaannya meraung-raung tak jelas setiap malam.[Selamat tinggal. Aku tunggu hantumu kelayapan!] Balasku dan dalam hitungan detik dibaca dong! Ha ha Mas Arman tingkahmu makin seperti orang hilang akal.~K~U🌸🌸🌸Aku tertegun ketika sampai ruko kok, sudah dipasang banner? Cepat sekali kerjanya Susanti. Terus ini yang masang banner siapa? Bannernya juga cantik, sesuai ekspektasiku. Terus itu pintu kacanya juga sedang dipasang sama tukangnya. Susanti benar-benar bisa diandalkan.“Mbak, maaf ongkosnya belum?” tegur kang ojek.“Eh, iya, maaf, Mas. Lupa.” Kuberikan uang dua puluh ribuan.“Enggak usah disusukin Mas, kembaliannya ambil aja,” kataku seraya berlari masuk ke ruko.“Assalamualaikum! Susanti, San!” panggilku.“Wa’alaikumsalam! Lagi di toilet Mbak, m
“Siapa Mbak yang telepon?”“Citra, sepupunya Mas Arman. Katanya ibuku ditemukan pingsan di ruang tengah.”“Kasihan, ih, emang di rumah enggak ada orang?”“Enggak ada kayaknya soalnya Mas Arman enggak jadi bunuh diri, pasti dai pergi kerja. Intan kuliah dan Bapak mungkin sudah pulang ke kontrakannya" jawabku.“Rumit he he ... aku yang cuma lihat aja rumit apa lagi kalian yang jalani.”“Ya, begitu deh. Kalau tidak mengalami langsung memang orang hanya bisa berkomentar hebat dan kuat, tapi percayalah orang yang mengalaminya justru jauh lebih rapuh. Mereka hanya berusaha untuk tegar. Apalagi korban seperti aku ini dan Ibu. Mau melakukan apa pun jadi serba salah," jelasku.“Iya, Mbak. Makanya itu aku nanti sebelum menikah akan buat perjanjian tidak ada yang boleh selingkuh kalau ada yang selingkuh langsung out jangan bawa harta apa pun. Soalnya aku belajar dari pernikahan Mbak Fatki dan Mas Arman.”“Jamu berhak menentukan arah kehidupan yang menurutmu baik, San, tapi jangan juga kamu jadik
“Ya elah, Mbak, kenapa juga dikasih namanya tanah bukan dikasih nama orangnya.”“Maklum, San. Aku lupa.”Santi turun ke bawah aku segera salat. Tak henti-hentinya aku bersyukur atas pencapaian ini.Kalau ibuku dan juga kakakku tahu pasti mereka senang. Aku si bungsu akhirnya bisa mewujudkan cita-cita yang aku impikan sejak gadis dulu.“Mbak, udah selesai belum salatnya? Ada yang nyari, nih!” teriak Santi dari bawah. Itu anak volume suaranya ngalahin TOA masjid. Menggelegar ke segala arah.Tapi siapa ya, yang nyari aku? Kalau orang rumah tidak mungkin, deh! Mereka belum ada yang tahu aku di sini.“Siapa, San? Eh, loh, kok, Mas Fawas?” Dia tersenyum padaku. Aku jadi deg-degan jangan-jangan dia ke sini mau nagih kekurangan dari pembayaran ruko kemarin.“Silakan duduk, Mas, seadanya, ya?” Kusuguhkan minum Aqua gelas padanya. Tanpa rasa canggung Mas Fawas langsung meminumnya hingga tandas. Ini orang aneh. Haus apa doyan?“Lagi, Mas?” tawar Susanti.“Boleh,” jawabnya singkat.“Haduh, kalau