Share

8. DINAS DI LUAR KOTA

Suasana rumah begitu nyaman, tak ada wanita itu, tak ada keributan dan pastinya tak ada wanita penggoda. Aku menikmati suasana seperti ini. Dan aku berharap, wanita itu tidak muncul lagi di depanku.

Bunyi bel membuyarkan lamunanku. Aku segera bangkit lalu berlalu meninggalkan Naura yang sedang tertidur pulas. Begitu pintu kubuka, tampaklah wajah lelah suamiku. Aku berhambur memeluknya. Sangat erat. 

"Eh, tumben," tegurnya. Aku tersenyum.

"Pelukannya jangan di sini, nanti dilihat sama Nayla," bisiknya. Senyumku yang sedari tadi mengembang, memudar seketika. 

"Nayla?" tanyaku setelah melepas pelukan. 

"Iya, Sayang. Kan nggak enak," jawabnya. 

Ekor matanya menelisik.setia sudut ruangan. "Eh, yang lain sudah tidur?" tanyanya seraya malangkah masuk.

"Iya, Mas." Ekor matanya melirik ke pintu kamar yang sudah tertutup rapat.

"Kenapa, Mas, segitu banget lihat ke pintu kamar dia," tegurku cemburu. 

"Eh, enggak, Sayang."

"Dia sudah nggak ada di rumah ini," jawabku. 

Mas Rasha menoleh ke arahku, raut wajahnya begitu berubah. 

"Kamu usir?" Aku memilih diam. "Kenapa?" lanjutnya lagi. 

"Aku tidak ingin ada wanita lain di rumah ini, Mas."

"Kenapa nggak bilang sama Mas?" tanyanya sedikir frustrasi. Aku merasakan perubahan dari suamiku. 

"Kenapa?" tanyaku sambil menyelidik. 

Mas Rasha mendadak tergagap, bola matanya bergerak kiri lalu ke kanan, khas saat dia menyemnunyikan sesuatu. Mataku menyipit. 

"Kenapa, Mas?" tanyaku kembali. 

"Kasihan loh, dia, Dek. Di kota ini dia nggak punya siapa-siapa."

"Lalu salah siapa? Ini semua salah kamu, Mas. Sudah lama adek bilang untuk membawa pergi, tapi mas tidak pernah peduli."

Mas Rasha mengusap kasar wajahnya, "Dek–"

"Sepertinya mas tidak suka jauh dari dia," sindirku. 

"Bukan begitu."

"Atau bisa jadi mas menikmati tubuh yang dia pajang selama ini," sinisku seraya berlalu meninggalkan suamiku dengan rasa kecewa. 

Aku membanting tubuh di atas kasur, menangis sejadi-jadinya. Apa mungkin Mas Rasha sudah....

Aku membuang semua pikiran burukku. Aku berusaha untuk tetap memepercayai suamiku. Lupakan tentang wanita itu, nyatanya dia sudah tidak ada di antara kami. 

Lama aku menunggu, akan tetapi Mas Rasha juga belum masuk ke dalam kamar. Kemana dia? Padahal dia baru pulang lembur, harusnya dia memintaku untuk menyiapkannya makanan. Atau dia sekarang sedang makan?

Aku berusaha bangkit lalu memyusulnya ke luar. Di dalam hati aku berharap Mas Rasha sedang makan. Namun, kenyataan berkata lain, aku mendapatinya sedang menelpon. 

Aku berjalan ke arahnya hendak mengajaknya untuk makan malam. Namun, pembicaraan Mas Rasha membuatku menghentikan langkah. 

"Aku juga nggak tahu, Nay, Ainun bakal senekat itu."

"Iya, aku janji. Kamu bertahan di sana saja dulu, ya!"

"Iya, aku ingat janjiku kok, kamu tenang aja, ya!"

"Janji?" ucapku. Sontak Mas Rasha membalikkan badan. Wajahnya pucat pasi. 

"E-eh, belum tidur?" tanyanya. 

"Janji apa, Mas? Tadi siapa?" tanyaku. Padahal aku sudah tahu dengan siapa dia menelfon. 

"A-anu, itu, ada janji buat ketemu klien besok," jawabnya bohong. Aku memilih pura-pura percaya.

"Ya sudah, adek mau bobo dulu," pamitku. 

Mas Rasha mengangguk seraya tersenyum kikuk. "Nanti mas nyusul, ya."  

Aku melangkahkan kaki kembali ke kamar dengan perasaan yang sulit aku gambarkan. Sepertinya alarm untuk menjadi istri siaga sudah menyala. Aku harus berhati-hati dari sekarang. 

Tubuhku lelah, pikiranku kalut. Akankah Mas Rasha berkhianat? Atau .... hanya perasaanku saja? Segera kutepis pikiran burukku. Sungguh tak mungkin suamiku akan berkhianat. 

*

Pagi berlanjut, setelah berkutat di dalam dapur untuk menyiapkan sarapan sekaligus bekal untuk suamiku, aku pun merapikan pakaian yang akan dibawanya dinas di luar kota hari ini. 

"Mas, emang dinasnya berapa hari?" tanyaku.

"Tiga hari, Dek, seperti biasa," jawabnya seraya  memasang kancing kemejanya satu persatu.

Aku sama sekali tak menaruh curiga, karena memang suamiku sering dinas di luar kota selama itu bahkan biasa sampai satu minggu. 

Tentang kejadian semalam, aku hanya berharap mas Rasha tidak berhianat. Meskipun perasaanku mengatakan sesuatu akan terjadi. Semoga saja bukan. 

Aku menutup perlahan koper yang sudah berisi keperluan mas Rasha selama dinas kemudian menepikannya di dekat pintu kamar. Dasi berwarna biru navi kuraih lalu mulai memasangkannya pada leher suamiku. Dasi kusimpul serapih mungkin agar penampilan suamiku selalu terkesan rapi. 

"Mas, jaga hati, ya, di sana."

"Iya, Sayang," jawabnya seraya mengecup pucuk kepalaku. 

Mas Rasha memelukku sangat erat lalu mengelus punggungku dengan lembut. 

"Jaga diri ya, Dek, selama mas pergi." Aku mengangguk seraya terus menghirup aroma parfum suamiku. 

"Jaga buah hati kita juga. Mas nggak bisa menunggunya untuk bangun, soalnya perjalanannya begitu jauh."

Mas Rasha melonggarkan pelukannya lalu berjalan menuju tempat tidur Naura. Diuciumnya berkali-kali pipi gembul anaknya. Aku yang melihat pemandangan itu merasa sangat bahagia sekaligus terharu. 

"Sayang, ayah pergi dulu. Maaf, ayah nggak bisa nunggu kamu bangun. Jangan marah ya, princess."

Mas Rasha meraih tanganku membawanya keluar dari kamar. Tangan satunya menenteng koper kecilnya. 

"Mas sarapan dulu!" pintaku saat Mas Rasha hendak memasang sepatu. Suamiku memurut, dia duduk di depanku setelah mencuci bersih tangannya. Kami berdua pun akhirnya menikmati sarapan bersama. 

*

"Mas berangkat dulu, ya, Sayang," pamitnya. Aku meraih punggung tangannya lalu menciumnya. 

"Hati-hati, Mas, jangan lupa berkabar." Mas Rasha mengecup keningku lalu mencubit gemas hidung ini. 

Aku mengantarnya hingga suamiku masuk ke dalam mobil kemudian perlahan mobil itu melaju pergi. 

Kembali aku melanjutkan rutinitasku sebagai ibu rumah tangga sekaligus memiliki bisnis online di bidang fashion. Itulah yang kukerjakan selama ini, dan tentunya suamiku sudah mengetahuinya lebih dahulu. 

Alhamdulillah meskipun aku berprofesi sebagai ibu rumah tangga, tapi aku bisa juga menjalankan tugas yang lain, yaitu menjadi seorang ibu dan pebisnis. 

Hasil jualan onlineku bisa aku gunakan untuk menutupi kekurangan di dalam rumah tangga kami. Meskipun gaji nas Rasha sangat cukup untuk menghidupi kami, tapi semua aku sisihkan untuk masa depan Naura hingga selesai kuliah. Aku menabungnya dari sekarang agar kelak suamiku bisa menikmati masa tuanya tanpa harus pusing memikirkan kebutuhan anaknya nanti. 

Mas Rasha awalnya menetang keras aku melakukannya. Menurutnya itu adalah kewajibannya dan gajinya lebuh dari cukup. Hanya saja, aku tak ingin terlalu membebani suamiku. Setelah membujuknya cukup lama dan meyakinkan bahwa aku bisa menjalani semua, akhirnya mas Rasha menyetujui dengan catatan, aku todak boleh kecapean. 

"Unda, yaya mana?" Arumi membuyarkan lamunanku. Rupanya dia sudah terbangun. 

Aku mengangkat tubuh kecilnya lalu menggendongnya. 

"Ayah sudah berangkat kerja," jawabku seraya menurunkan tubuh kecilnya. Beruntung aku sudah membersihkan rumah setelah shalat subuh agar aku leluasa sebelum Naura terbangun. 

"Yaya nggak bangunkan Naula?" protesnya. 

"Kan Naura bobok." Bibirnya mengerucut dan itu sangat menggemaskan. 

Aku memeluknya dengan erat. Nauraku meskipun baru berusia dua tahun lebih, tapi daya tangkap dan pertumbuhannya bisa dibilang cepat. Di usianya sekarang dia sudah mengerti dan bisa bicara meskipun kadang belum jelas pengucapannya. 

"Naura kita mandi, yuk!" ajakku. 

"Hole .... Naula mau, Unda!" pekikny dengan semangat. Aku menggendong tubuhnya ke dalam kamar mandi. 

Kami berdua bermain air bersama dan aku sangat menikmatinya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
Ainun kmu terlalu polos dn terlalu percaya sama suami mu menjadikan kmu bege .nanti dh kejafian tinggal nangis bombay g akan kembali lagi klo ufah terjadi ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status