Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak
"Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu
Plak!"Mas!" pekik wanita itu.Satu tamparan mendarat di pipi Mas Rasha begitu tahu wanita yang berdiri di sampingnya kini menjadi adik maduku.Sungguh aku tak menyangka, Mas Rasha yang selama ini begitu kucintai tega menancapkan luka yang begitu dalam.Pandanganku nanar, dada bergemuruh hebat melihat kenyataan yang ada di depan mata. Dia berkhianat.Mas Rasha bergeming. Aku meremas kuat celemek yang masih menempel di tubuh ini. Harusnya hari ini kami merayakan anniversary yang ke delapan. Sengaja aku menyiapkan makanan kesukaannya untuk merayakan hari pernikahan kami.Aku ingin memberikannya kejutan. Sayangnya, justru aku yang mendapat kejutan lebih dulu.Sekuat tenaga aku menahan gemuruh di dalam dada. Amarahku memuncak seumpama meriam yang siap untuk diledakkan. Tapi, sayang, aku tak selemah itu.Aku menarik napas di dalam dada untuk melonggarkan napas yang terasa begitu sesak
Setelah drama menyebalkan tadi selesai, aku kembali berkutat di dapur. Menyelesaikan masakan yang kubuat dengan penuh cinta.Aku mengaduk soto Betawi kesukaan Mas Rasha setelah menambahkan bumbu penyedap. Sungguh menyedihkan. Kukira malam ini kami akan melaluinya dengan penuh cinta seperti biasa, ternyata justru sebaliknya.Cincin berlian yang selalu menjadi hadiah pernikahan kami kini berubah menjadi bara api yang harus kugenggam kuat.Aku berhenti sejenak sembari mengatur gemuruh di dalam dada. Dadaku terasa sesak seolah oksigen enggan untuk sekedar bertahan di dalam rongga dadaku.Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya luruh juga bersamaan dengan tubuhku yang ikut meluruh ke lantai. Kugigit bibir bawahku sembari meremas kuat celemek yang masih menempel di tubuh ini. Suara tangis ini tak boleh keluar. Aku tak ingin orang lain tahu luka hatiku."Bunda?" sapa gadis kecil di hadapanku.Gegas aku mengusap sisa
"Jangan pernah membiarkan orang lain masuk ke dalam kehidupan rumah tanggamu, jika tak ingin berakhir dengan perceraian akibat pengkhianatan."Kalimat itu sering kali kudengar dari beberapa orang yang menasehatiku. Termasuk Sinta–sahabatku sejak kecil–.Sinta menolak tegas saat kuceritakan kehadiran Nayla di dalam rumah tangga kami. Baginya sama saja aku membuka lebar peluang wanita itu untuk merebut posisiku."Ai, kamu salah besar. Kamu sudah jelas membuka peluang untuk dia.""Aku harus bagaimana, Ta? Mas Rasha berjanji akan memulangkannya.""Kapan?" Aku kengendikkan bahu."Ai, sebelum terlambat, kamu harus mencegahnya. Wanita itu sudah terang-terangan loh. Persahabatan beda jenis kelamin itu pastinya akan berujung cinta sepihak.""Maksudnya?""Salah satu di antara mereka pasti memendam rasa. Nggak ada persahabatan seperti itu yang biasa-biasa saja. Percaya deh sama aku."Aku terus mencern
Lima hari telah berlalu, akan tetapi hingga kini Mas Rasha belum juga membawa Nayla pergi dari rumah ini. Apalagi dia bukan mahram suamiku. Mas Rasha pun tahu, batas bertamu hanya tiga hari. Melapor ke Pak RT pun belum.Hal yang paling aku takutkan, jika Nayla berlama-lama di rumah ini, akan ada desas-desus yang tak mengenakkan dari tetangga. Lagi pula, bagiku Nayla itu perlu diawasi, mengingat gerak-geriknya seolah berusaha menggoda suamiku."Mas, kapan? Ini sudah hari ke lima," tanyaku saat aku sedang mempersiapkan pakaian kantornya."Sabar, Dek. Kontrakannya belum dapat," jawabnya seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk."Emang kontrakannya harus gimana, sih, Mas? Segitu ribetnya.""Kamu tenang aja ya, Sayang. Minggu ini pasti dapat. Mas akan berusaha."Mas Rasha meraih kemejanya kemudian memakainya. Aku mengempaskan tubuh di sofa kamar kami."Mas udah laporan sama RT belum?""Belum, ini mas
"Mbak Ainun!" Aku menoleh ke arah suara. Rupanya ibu-ibu tengah berkumpul di taman komplek. Aku yang sedang menemani Naura jalan-jalan sore akhirnya mendekat ke arah mereka. "Sini dulu, atuh, Neng," ajak Bu Elis. Aku menanggapinya dengan senyum lalu duduk tepat di sampingnya. Tubuh kecil Naura kupangku. "Gimana si awewe itu?" tanya Bu Elis. Aku mengernyitkan dahi masih tak mengerti. "Iki loh, Mbak, si gundik kegatelan," sambung Bu Ajeng dengan logat Jawanya. "Maaf?" tanyaku halus. "Dia masih di rumah kamu?" tanya Bu Lastri. Aku mengangguk lemah. "Atuh usir aja! Jangan sampai teh dia main belakang sama suami kamu," celetuk Bu Elis. "Iya, bener itu, Mbak. Kan perselingkuhan itu terjadi karena adanya kesempatan dalam kesesatan," imbuh Bu Lili. "Kesempitan!" koreksi mereka kompak. "Itu maksud saya. Kan kali aja dia pake susuk pemikat di wajahnya. Itu kan sesat na