Share

5. KELAKUAN NAYLA

"Mbak Ainun!" Aku menoleh ke arah suara. Rupanya ibu-ibu tengah berkumpul di taman komplek. Aku yang sedang menemani Naura jalan-jalan sore akhirnya mendekat ke arah mereka. 

"Sini dulu, atuh, Neng," ajak Bu Elis. Aku menanggapinya dengan senyum lalu duduk tepat di sampingnya. Tubuh kecil Naura kupangku. 

"Gimana si awewe itu?" tanya Bu Elis. Aku mengernyitkan dahi masih tak mengerti. 

"Iki loh, Mbak, si gundik kegatelan," sambung Bu Ajeng dengan logat Jawanya. 

"Maaf?" tanyaku halus. 

"Dia masih di rumah kamu?" tanya Bu Lastri. 

Aku mengangguk lemah. "Atuh usir aja! Jangan sampai teh dia main belakang sama suami kamu," celetuk Bu Elis. 

"Iya, bener itu, Mbak. Kan perselingkuhan itu terjadi karena adanya kesempatan dalam kesesatan," imbuh Bu Lili. 

"Kesempitan!" koreksi mereka kompak. 

"Itu maksud saya. Kan kali aja dia pake susuk pemikat di wajahnya. Itu kan sesat namanya."

"Mba Lili tau dari mana to?" tanya Bu Ajeng. 

"Mbak, semua pelakor, perawan, atau janda sekali pun, sekarang pake susuk kali, Mbak. Rata-rata mah gitu. Kalau bermodalkan skin care, nggak cepat berhasil."

"Ah, yang benar, Mbak?" tanya Ibu Ajeng. Aku yang sedari tadi diam-diam menyimak ikut penasaran. 

"Benar, dong, sekertaris bos suami saya gitu."

"Bu Lili tahu dari mana?" tanyaku penasaran. 

"Kan dia junior saya waktu SMA. Itu sudah jadi komsumsi publik. Dia dari ekonomi rendah, setelah diterima jadi sekertaris, lambat laun dia jadi pelakor, karena sering temanin bosnya kemanapun pergi. Eh, karena mau kaya cepat, dia pake susuk pemikat. Akhirnya keluar masuk hotel deh."

"Terus ketahuannya gimana?" tanya Bu Elis penasaran. 

"Si istri sah cari tahu soal wanita itu. Nggak tahu juga cerita pastinya, intinya dia main cantik. Sekarang wajah si pelakor rusak."

"Karena susuk?" tanya Bu Ajeng. 

Bu Lili mengagguk. Kami kompak berdengik. 

"Terus si bos gimana?" tanyaku penasaran. 

"Lagi proses penyembuhan. Soalnya dia tergila-gila banget sama Keysha."

Aku semakin terdiam. Sepertinya aku harus bertindak sebelum hal buruk terjadi. 

"Mbak, sepertinya mbak harus bertindak dari sekarang. Pelakor itu lebih ganas dari debt collector," ucap Bu Lastri. 

"Aku harus mulai dari mana ya, Bu?" tanyaku. 

Mereka saling melempar pandangan dengan seraya tersenyum dan alis terangkat. 

"Kita harus main cantik," jawab Bu Lastri. 

Kami semua saling merapatkan tubuh untuk mendengarkan arahan dari Bu Lastri. 

*

Aku tak berhenti tersenyum kala mengingat bagaimana antusias ibu-ibu untuk mengusir Nayla dari kehidupan kami. Aku merasa bahagia, kekompakan mereka dalam menghadapi pelakor patut diacungi jempol. 

Aku yang sedang memasak di dapur untuk makan malam tiba-tiba dikejutkan dengan suara tangisan Naura. Segera aku menghampirinya yang tadi kutinggalkan di ruang keluarga. 

Aku terkejut kala melihat oemandangan yang ada di depan mata. Naura berusaha melepaskan diri dari cengkraman Nayla. Ada apa?

"Nay!" teriakku yang sontak membuatnya melepas cengkramannya. Aku segera mendekat merebut lalu menggendong putriku.

"Kamu mau apakan Naura?!" Dia terlihat gelagapan. Akubterus berusaha menenangkan putriku yang terus menangis.

"Kamu apakan dia?"

"Aku nggak ngapa-ngapain. Tadi aku cuma ajak dia main."

"Tapi kenapa dia sampai ketakutan kayak gini?"

"Ya, aku nggak tahu." 

Aku memeluk erat tubuh putriku. Tampak.dia terlihat begitu ketakutan. Tak mau membuat Naura semakin ketakutan, aku membawanya ke dalam kamar. 

Selang sepuluh menit berlalu, Nauraku akhirnya tertidur. Saat hendak menyelimutinya, mataku menangkap warna lebam di lengan Naura, seperti bekas cubitan. Emosiku seketika sampai ke ubun-ubun, aku gegas menghampirinya. 

Pintu yang tertutup rapat itu kugedor dengan keras. 

"Apalagi sih?" tanyanya dengan ekspresi yang sangat menjengkelkan.

"Kamu apakan Naura?!"

"Aku nggak ngapa-ngapain dia loh. Aku cuma ajak dia main. Naura aja yang cengeng," kilahnya. 

Aku menarik keras rambutnya yang tergulung acak. "Aw, sakit!" pekiknya sambil berusaha melepaskan tanganku. 

"Kamu berani nyakitin anak saya, kamu akan tahu akibatnya! Dasar nggak tahu diri!" ancamku seraya memperkuat lagi tarikan pada rambutnya. 

"Lepaskan!"

Aku menarik lebih keras lalu berbisik tepat di telinganya. 

"Kamu tidak akan pernah tahu hal gila apa saja yang bisa aku lakukan."

Aku menghentak keras tanganku kemudian berlalu meninggalkannya yang masih meringis kesakitan. 

Kembali langkah ini menuju kamar lalu mencium Naura. "Bunda akan terus melindungi kamu, Nak."

Aku kembali berlalu kedapur untuk lanjut memasak. Mataku tak berhenti menangis mengingat luka lebam yang ada di lengan anakku. Aku tidak akan membiarkannya begini. 

*

"Mas, kapan kamu mengusirnya dari sini?" tanyaku saat Mas Rasha baru saja tiba di rumah. 

"Dek, sabar aja dulu," jawabnya seraya melonggarkan ikatan dasi yang masih menempel di kerah bajunya. 

"Mas, dia sudah keterlaluan. Tadi aja, dia melukai anak kita loh," aduku. 

Mas Rasha membulat sempurna. "Apa?!"

Aku menunjukkan luka lembam di lengan Naura yang satat ini kupangku. Mas Rasha mendekat lalu memastikannya secara dekat. 

"Astaghfirullah."

Mas Rasha berlalu kemudian aku pin mengekorinya. Kami tiba tepat di depan pintu kamar yang selalu tertutup rapat. 

"Nayla, buka pintunya!" Mas Rasha terus mengetuk keras pintu kamar wanita itu. Tak berapa lama, penghuninya menampakkan wajahnya dengan pakaian sedikit menggoda. 

"Ada apa lagi sih?" tanyanya dengan suara yang dibuat-buat. Aku hampir muntah dibuatnya. 

"Kamu apakan Naura?" desis suamiku. 

"Nggak loh, Sha. Aku cuma ngajak dia main tadi. Pasti istrimu ngadu yang tidak-tidak," ucapnya masih dengan manja. 

"Tapi, aku lihat sendiri buktinya." 

"Maaf, aku nggak sengaja. Aku coba ajak dia main tapi Naura nggak mau."

"Kamu pasti paksa dia."

"Nggak kok!" 

"Mas, aku nggak mau ya, anak kita disiksa sama dia. Bawa dia pergi dari rumah ini, Mas!" putusku. Aku sungguh muak dengan semuanya. 

"Rasha, kamu tega?" tanyanya.

"Maaf," jawab suamiku seraya berlalu. Aku menyunggingkan senyum kemenangan. 

*

Makan malam berlalu seperti biasanya dan lagi dia memakai pakaian yang tak seharusnya dia pakai di depan suamiku. Aku yang sudah tak tahan membanting sendok di depannya membuat mereka tersentak. 

"Aku sudah berulang kali menegur mbak soal pakaian mbak yang terlalu berani itu. Kenapa sih, masih dipakai?"

"Ya, mau gimana, yang aku punya gini semua?" ucapnya santai membuatku dongkol.

Aku mendelik tajam pada suamiku yang tertangkap basah menatap belahan dadanya tanpa berkedip. 

"Mas!" tegurku. Mas Rasha sontak membuang wajahnya lalu buru-buru menyelesaikan makan malamnya. Sekilas aku melihat sudut bibir wanita itu terangkat. 

Aku beranjak meninggalkan dia sendiri. Sungguh rasanya hatiku tercabik-cabik dibuatnya. Aku tidak bisa membiarkan ini semua. Aku akan mendesak suamiku agar dia membawa wanita itu pergi. 

*

Malam beranjak, sejak tadi mas Rasha terus membujukku yang sejak tadi memunggunginya. Aku merasa dikhianati, di depanku dia berani menatap belahan dada wanita itu. 

"Dek," panggilnya lagi.

Aku berusaha memejamkan mata. Sungguh hatiku sangat kecewa saat ini. Nayla harus pergi. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
kenapa kmu takut sama Nayla udah kmu usir jangan d tunda2 g akan d bw keluar samabRasya kli bukan kmu yg usir .dn kmu teriak2 biar tetsngga tsu dn ngebsntu ngusir Nsyla biar gpp suami mu malu ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status