Share

4. DESAS DESUS TETANGGA

Lima hari telah berlalu, akan tetapi hingga kini Mas Rasha belum juga membawa Nayla pergi dari rumah ini. Apalagi dia bukan mahram suamiku. Mas Rasha pun tahu, batas bertamu hanya tiga hari. Melapor ke Pak RT pun belum. 

Hal yang paling aku takutkan, jika Nayla berlama-lama di rumah ini, akan ada desas-desus yang tak mengenakkan dari tetangga. Lagi pula, bagiku Nayla itu perlu diawasi, mengingat gerak-geriknya seolah berusaha menggoda suamiku. 

"Mas, kapan? Ini sudah hari ke lima," tanyaku saat aku sedang mempersiapkan pakaian kantornya. 

"Sabar, Dek. Kontrakannya belum dapat," jawabnya seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk. 

"Emang kontrakannya harus gimana, sih, Mas? Segitu ribetnya."

"Kamu tenang aja ya, Sayang. Minggu ini pasti dapat. Mas akan berusaha."

Mas Rasha meraih kemejanya kemudian memakainya. Aku mengempaskan tubuh di sofa kamar kami. 

"Mas udah laporan sama RT belum?"

"Belum, ini mas mau ke Pak RT juga sebelum ke kantor."

Mas Rasha sibuk memasang dasinya. Pandnagannya fokus ke cermin seukuran tubuhnya. 

"Ya sudah deh, Mas. Semoga cepat dapat. Adek nggak nyaman ada dia di sini."

"Iya, Sayang," jawabnya sambil menyisir rambutnya.

Aku berdiri hendak ke dapur. "Ade ke dapur dulu, ya, Mas. Siapkan sarapan."

Mas Rasha hanya mengangguk. Aku berjalan keluar kamar. Di depan televisi, Nayla tampak sedang duduk santai sambil menikmati segelas susu dan beberapa potong bronis. Ah, menyebalkan! Pakaiannya selalu saja kurang sopan. Dasteran selutut dengan lengan pendek, rambut diikat atas dan polesan tipis di wajahnya. 

Aku melangkah ke arah dapur tanpa mau peduli lagi dengan wanita itu. Mulai menyiapkan sarapan yang selama ini kusuguhkan untuk suamiku.

Saat aku meletakkan sarapan itu di atas meja, tampak tangan Nayla terulur merapikan dasi suamiku. Kedua telapak tangannya menempel di dada bidang suamiku. Pandangan mereka beradu dan cukup lama.

"Mas!" panggilku membuat keduanya tersentak kaget. 

"E-eh, iya, Sayang." Mas Rasha melangkah ke arahku kemudian mendudukkan dirinya di kursi. 

Tangannya meraih gelas yang berisi susu lalu meminumnya hingga tersisa setengah. Mataku kemudian beralih ke wanita itu. Tampak dia masih salah tingkah. 

"Kalau dasinya nggak rapi itu panggil adek, bukan wanita itu, Mas," protesku. 

Mas Rasha terdiam sembari menikmati sisa roti yang ada di piringnya. Wanita itu menoleh sekilas dengan senyuman sinis di wajahnya. Apa dia sengaja?

Mas Rasha menyudahi sarapannya. Aku mengantarnya hingga ke pintu. Pipi dan kening ini dikecup mesra, aku lalu mencium punggung tangannya. 

"Hati-hati, ya, Mas."

"Iya, Sayang."

Aku berbalik saat mobil yang dikendarainya melesat jauh. Tampak Nayla masih duduk di ruang keluarga. Aku tak peduli. Untuk makan, dia bisa mengurus dirinya sendiri. 

Aku melangkah masuk ke dalam kamar, tampak Naura sudah bangun. Tubuhnya menggeliat, sangat lucu. Kuangkat tubuh mungilnya bersiap untuk dimandikan. 

Saat urusan rumah telah selesai, aku berbegas ke depan menunggu Mang Asep-tukang sayur langganan kami lewat. 

Naura yang sedang asyik bermain, kubawa serta. Kami bermain bersama di taman kecil kami yang ada di depan rumah. 

Suara ribut ibu-ibu komplek mulai terdengar. Sambil menggendong Nayla, aku melangkah mendekat. Tampak Mang Asep sudah dikerumuni ibu-ibu. 

"Eh, Mba Aninun, sehat, Mba?" tanya Bu Lastri. 

"Alhamdulillah, Bu," jawabku sembari memilih sayuran. 

"Sama suami, masih harmonis kan?" tanyanya lagi. 

"Masih, Bu."

"Gini, loh, Mba. Kami itu mengkhawatirkan Mba Ainun," imbuh Bu Riska. 

Aku mengernyitkan dahi, " Khawatir gimana, Bu?"

Ibu Riska dan beberapa ibu-ibu lain saling berpandagan.

"Gini, loh, Mba. Kami nggak sengaja lihat suami mba bawa wanita lain ke dalam rumahnya mba."

"Oh, itu sahabat suami saya, Bu. Dia lagi ada masalah, jadi numpang dulu."

"Mbaknya nggak takut direbut gitu?" tanya Bu Lili. Aku terdiam.

"Bukan kompor ya, Mba. Kita kan sama-sama perempuan nih, pasti nggak mau dong, rumah tangga kita diusik?" tambahnya. 

"Bener," jawab mereka kompak. 

"Kemarin aku lihat sendiri loh, Mba, waktu kita ada pengajian sore, kan aku nggak ikut, karena urus hajatan keluarga. Aku lihat wanita itu yang menyambut suaminya Mba. Mana mesra banget lagi ke suaminya. Pakaiannya transparan dan mini."

Telingaku terasa panas mendengarnya. Kukepal kuat tangan ini menahan gemuruh di dalam dada. Ada rasa sesak seperti terhimpit benda yang begitu besar. 

"Kami bukan kompor ya, Mba. Sebelum semua terlambat. Kalau mba mau kita usir dia, kami siap bantu mbak. Kapan dibituhkan kami akan siap."

"Betul," sahut mereka.

Mataku memanas hingga air mata jatuh dengan leluasa. 

"Aduh, ibu-ibu, jadi beli nggak ini teh?" timpal Mang Asep.

"Jadi, Mang, kami lagi diskusi nih!" sewot Bu Lastri. 

"Diskusinya sambilan atuh, saya mau jalan lagi ke depan."

Mereka lalu menyerahkan belanjaannya untuk ditotal Mang Asep, termasuk aku. Harusnya aku memasak enak hari ini, tapi semua kacau karena fakta yang baru kudengar. 

"Mbak, kalau ada sesuatu, semacam mau labrak atau hajar pelakor habis-habisan, jangan lupa ajak kami, ya?" seru Bu Lili. Aku mengangguk seraya tersenyum menyembunyikan luka. 

Mereka satu persatu bubar kecuali aku. Dada semakin bergemuruh. Ternyata dugaanku benar, ada udah di balik batu. 

"Neng, jangan ditanggapi, ya, omomgan ibu-ibu tadi. Benar atau tidaknya teh, Neng Ainun harus bermain cantik," usul Mang Asep. 

"Iya, Mang."

"Ini, Neng, totalnya lima puluh ribu." Aku mengambil kantong plastik yang diserahkan Mang Asep, lalu menyerahkan uang berwarna biru. 

"Tumben, Neng, belanjanya dikit."

"Persediaan masih banyak, Mang. Saya permisi dulu, ya." Mang Asep mengangguk, aku lantas berlalu meninggalkannya sambil menggandeng tangan Naura.

Langkahku begittu gontai, dada bergemuruh hebat begitu mengetahui kelakuan mereka di belakangku. Rupanya, mereka benar-benar menguji perasaanku. 

Aku bergegas menuju dapur. Sebelumnya Naura aku dudukkan di atas kursi dekat dapur. 

Aku perlu merilekskan pikiran yang sempat terbakar oleh amarah yang begitu menggebu, akan tetapi aku harus menahannya sebisa mungkin.

Sungguh sesuatu yang tak bisa dicerna oleh akalku, suami yang selama ini kubanggakan rela berkhianat? Meskipun kenyataannya Nayla adalah sahabatnya sendiri. Tapi, bukankah  persahabatan dengan perbendaan jenis kelamin selalunya rentan dengan yang namanya cinta yang tumbuh secara tidak sengaja? 

Aku memandang ke setiap sudut ruangan mencari dia yang kini jadi berita terpanas di komplek kami. Mataku berhenti tepat di kamar yang tertutup rapat. Aku yakin dia pasti sedang tidur.

Aku meletakkan barang belanjaan di dapur lalu melangkah ke kamarnya. Aku mengetuk daun pintunya, tapi tak ada jawaban. 

"Nay, buka pintunya!"

Pintu terus kuketuk, akan tetapi sosok di dalam kamar belum juga muncul. Aku yng sudah merasa tidak sabar kemudian mengedor pintunya dengan kuat. 

Pintu terbuka menampakkan sosoknya yang sedang memakai masker di wajah. 

"Apa sih, Mbak? Berisik!" omelnya. 

"Aku pikir sosok di balik pintu ini sudah tidak bernyawa," sindirku. Nayla memasang wajah masam. 

"Aku lagi pakai masker tadi," jawabnya tanpa kutanya. 

"Ada apa, Mbak?"

"Aku cuma mau bilang sama kamu, jangan sembarangan merangkul suami orang!"

"Kata siapa?"

"Ibu-ibu komplek lihat kelakuan kamu. Tolong dong, dijaga sikapnya."

Dia tersenyum mengejek. 

"Salahnya di mana, Mbak? Kami sahabatan loh."

"Sahabat atau saudara tetap saja nggak boleh!"

Nayla bersedikap lalu menyenderkan tubuhnya ke daun pintu.

"Jadi istri kok posesif banget," cibirnya.

"Aku tidak posesif. Aku hanya menjaga suamiku dari wanita gatal sepertimu."

Nayla membulatkan matanya sempurna. "Maksud kamu apa?!"

"Aku yakin nilai bahasa indonesiamu tidak buruk. Jadi, aku nggak perlu menjelaskan lebih detail lagi," jawabku kemudian berlalu meninggalkannya. 

Langkahku terhenti saat mengingat sesuatu. "Oh, iya. Di rumah ini bertamu maksimal tiga hari. Lewat dari itu silahkan artikan sendiri."

Matanya menyorotiku dengan tajam. "Kamu mengusirku?!"

Aku mengendikkan bahu. "Entah apa namanya. Siap-siap, gih, bantu di dapur!"

Aku melenggang dengan senyum sumringah saat melihat wajahnya yang memerah padam. Rasakan!

Kembali kejadian empat tahun lalu terngiang di mana saat para tetangga pertama kali membahas Nayla. Kini, dia kembali dengan sosok dan status berbeda. 

Aku duduk di antara kerumunan ibu-ibu yang hadir rapat menyambut isra' mi'raj sepertiku. Tiba-tiba Ibu Lili menghampiriku. 

"Mbak Ainun."

"Iya, Bu?"

"Saya mau tanya, tapi jangan tersinggung ya, Mbak?" ucapnya hati-hati. Aku mengangguk mantap. 

"Wanita yang di rumah mbak sekarang itu bukannya wanita yang dulu kita usir ya, Mbak?" Aku mengangguk lemah. 

Semua yang tak sengaja mendengarkan obrolan kami kompak menoleh. Bahkan da yang mendekat. 

"Kok sekarang hamil, Mbak?"

Aku menarik napas dalam. Mau menyembunyikan bagaimana pun kan tetap ketahuan juga. 

"Dia istri siri suamiku," lirihku. 

"Apa?!" pekik mereka kompak. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status