Share

7. MENGUSIR PELAKOR

"Kamu sengaja 'kan, mengajak mereka kesini?" ucapnya setelah tetanggaku pergi. 

"Buat?" tanyaku sesantai mungkin. 

"Buat mempermalukan aku. Segala uneg-unegmu sudah disampaikan sama mereka."

Aku tersenyum sinis. "Lalu?"

"Kamu sudah puas?!" tanyanya dengan menatapku tajam. 

"Belum. Ini baru permulaan Nayla."

"Aku akan mengadukannya pada Rasha," ancamnya.

"Silakan!" tantangku. 

Dia menggeratkkan giginya kemudian berlalu meninggalkanku. 

Aku tertawa lepas saat mengingat bagaimana mereka menghadapi Nayla. 

"Mengusirku?" tanya Nayla. 

"Iya, kamu sudah melanggar peraturan di kompleks ini." Kening Nayla berkerut.

"Pertama, batas bertamu adalah tiga hari, lewat dari itu silakan pulang atau kembali melapor ke RT setempat dengan membawa foto copy KTP. Kedua, kamu bukan saudara atau keluarga dari Pak Rasha maupun Mbak Ainun. Status kamu hanyalah teman Pak Rasha. Jadi, kami pikir, tiga hari adalah batas maksimal kamu berada di sini. Ketiga, kamu tertangkap basah bergelayut manja pada Pak Rasha saat Mbak Ainun tidak berada di rumah. Ke empat, kamu berani berpakaian menggoda seperti ini di dalam rumah seseorang yang telah berkeluarga dan dia bukan mahrammu," jelas Bu Lili panjang lebar. 

"Tapi, saya ini sahabatnya Rasha," bela Nayla. 

"Tapi, tidak ada hubungan darah 'kan? Kamu juga seorang janda. Harusnya kamu tinggal terpisah dari mereka. Jadi, demi menjaga ketentraman lingkungan kami, silakan kemasi barang-barangmu!"

"Nggak bisa gitu dong, saya mau tinggal di mana?"

"Saya yakin kamu punya uang buat sewa rumah. Minimal kost-kost an bukan?"

"Nggak! Saya nggak bakal pergi! Ini rumah sahabat saya!"

"Perlu diseret?" tanya Bu Lastri kali ini. 

Nayla menoleh ke arahku, matanya begit tajam dengan napas yang terengah-engah.

"Ini pasti ulah kamu!" tuduhnya. Aku mentapnya dingin. 

"Jangan salahkan Mbak Ainun. Kamu yang salah!" 

"Lagian wanita seperti kamu nggak pantas atuh tinggal di sini. Soalnya teh kamu kan orang lain, mana pakaian kamu teh seksi pisan. Ih, ngeri saya mah," sambung Bu Elis. Aku menahan tawa yang sangat ingin meledak.

"Kita kan nggak tahu ya, mata suami, siapa yang bisa jamin? Ibarat pepatah, nggak ada kucing yang bakal menolak ikan asin," imbuh Bu Lili.  

Nayla menghentakkan kakinya berlalu meninggalkan kami. Ibu-ibu yang melihatnya tertawa cekikan. 

"Aduh, Mbak, kok dia berani banhet ya, pakai pakaian seperti itu? Mbak nggak takut?" tanya Bu Lili. 

"Aku sudah menegurnya berkali-kali, Bu, nggak mampan."

"Ih, gatal pisan ya, si teteh tadi? Gunung kembarnya teh sepertinya sengaja ditampakkan," imbuh Bu Elis.

"Kamu harus mengusirnya segera Mbak, jangan lama-lama. Kelakuannya sudah berani gitu," timpal Bu Lili.

"Aku sudah berulang kali mengusirnya, hanya saja dia emang nggak mau."

"Ya sudah, kita yang bergerak," usul Bu Lili. 

"Kalau jam empat sore dia belum pergi, kita usir dia," lanjutnya.

"Kita bagusnya apain, ya?" tanya Bu Lastri.

"Kita bahas di grup w******p."

*

Menjelang sore aku baru saja selesai.memandikan Naura. Hari ini waktu berlalu seakan melambat. Kulirik jam yang menempel di dinding. Sepuluh menit lagi jam empat sore, tetapi belum ada tanda-tanda wanita itu akan pergi.

Beberapa menit lalu Mas Rasha menelfon akan mengambil jatah lembur malam ini. Kesempatan bagus buatku untuk menjalankan aksiku. 

Tubuh kecil Naura yang sudah wangi aku letakkan di ruang keluarga. Tampak Nayla sedang menonton drama ikan terbang di samping Naura. Aku melangkah ke dapur untuk membuat dua gelas jus jeruk. Sesuai perintah Bu Lili, serbuk putih ini kucampur ke dalam jus jeruk yang kusajikan untuk Nayla. 

"Jangan lupa bedakan gelasnya, biar kamu tahu mana yang sudah tercampur obat tidur dan yang aman untuk kamu minum." Pesan Bu Lili. 

Setelah mengaduknya dengan rata, aku membuka lemari es kamudian mengambil beberapa potongan kue brownis. Aku tersenyum puas berharap rencana ini berhasil. 

Kuayunkan langkah kembali menuju ruang keluarga. Aku meletakkan cemilan sore di atas meja lalu mengempaskan bokong di sampingnya. 

"Enak tuh, aku minta dong!" 

"Nggak, ini buat aku semua!" jawabku bohong. 

"Pelit banget sih. Buat aku saja yang satunya," paksanya. 

"Bikin aja sendiri!" jawabku memancing. Aku tahu dia itu super malas, mana mau dia. 

"Nanti aku ganti, ceritanya lagi seru."

Aku meraih gelas yang aman untukku lalu kuminum. 

"Ya sudah, ambil aja! Jangan lupa ganti ya!"

Dia mengangguk seraya tersenyum sumringah.  Seperti orang kehausan, dia meneguknya hingga tersisa setengah.

'Bagus! Untung dia bodoh,' seruku dalam hati. 

Tak hanya meminum jus itu, dia tanpa permisi mencomot brownis lalu memakannya lahap seperti oeang kelaparan. Dalam hati aku bersorak penuh kemenangan karena potongan kue juga kububuhi obat tidur tadi. 

Selang dua menit, mulutnya berhenti mengunyah, jus jeruknya sudah habis. Matanya yang sejak tadi menatap layar televisi mulai meredup. Berulang kali Nayla menguap hingga tubuhnya luruh di sandaran sofa. 

"Nay! Jangan tidur di sini, dong!" Nayla tetap tertidur pulas. 

"Yes!"

Jariku segera berselancar untuk menghubungi ibu-ibu komplek yang katanya sudah berkumpul di depan rumah Bu Lili yang kebetulan berhadapan dengan rumahku. 

Gegas aku membuka pintu lalu masuklah ibu-ibu mulai melakukan aksinya. Aku, Bu Lili dan Bu Elis masuk ke dalam kamar Nayla lalu memasukkan pakaiannya ke dalam koper. 

"Ih, seksi semua ya bajunya? Menggoda banget! Bakat pelakor emang," cibir Bu Lili. 

"Alat make-up nya banyak. Lipstiknya nge-jreng. Pelakor handal kayaknya," serunya lagi. 

"Bajunya brand ternama semua. Hasil malak laki orang kayaknya."

Aku an Bu Elis hanya menyimak ocehannya sambil terus memasukkan pakaian ke dalam koper, sedang Bu Lili sibuk mencibir. 

Kami bertiga ke luar dari kamar. Tubuh Nayla sudah berada di ruang tamu. Bu Riska dan Bu lastri yang mengangkatnya. 

"Berat banget tubuhnya," keluh Bu Riska.

"Berat karena dua gunungnya gede banget," jawab Bu Lastri. Kami semua tertawa cekikan. 

"Mobilnya sudah siap. Yuk, angkut!" seru Bu Ajeng dari luar. 

Gegas kumatikan televisi yang sejak tadi menyala lalu mengangkat tubuh Naura kecil. 

"Kita kemana, Unda?" tanyanya. 

"Jalan-jalan, Sayang."

"Hole!" serunya. 

Bu Lastri, Bu Ajeng, dan Bu Riska mengangkat tubuh Nayla ke dalam mobil. Bu Elis menenteng koper sedang Bu Lili sebagai pemandu aksi mereka. Aku gegas mengunci pintu lalu menyusul mereka ke dalam mobil setelah gerbang kugembok.

Bu Ajeng menyetir mobil, disampingnya ada Bu Lili. Bu Ajeng, Bu Elis, dan aku di kursi tengah sedangkan Bu Riska di belakang berjaga. 

"Kita bawa dia kemana, Bu?" tanyaku pada Bu Lili.

"Udah, diam aja, Mbak! Kita udah ketemu tempat yang pas buat dia. Jauh dari kita."

Mobil terus melaju. Hampir satu jam berlalu, obatnya masih bekerja. Hingga kami tiba di sebuah bangunan yang kami yakini ini adalah rumah kost. Saat dua security lewat, kami meminta bantuannya untuk mengangkat tubuh Nayla ke lantai dua. Kami mengikutinya untuk memastikan Nyala masih tertidur pulas sedangkan Bu Lili menemui pemiliknya. Setelah semua beres, kami.kembali ke dalam mobil lalu meninggalkan rumah kost tersebut. 

Di dalam mobil kami tak berhenti tertawa puas.

"Akhirnya si ulat bulu pergi juga," seru Bu Lili. 

"Eh, itu aman nggak, Bu? Mereka nggak curiga?" tanyaku penasaran.

"Nggak dong, pemiliknya teman SMA ku. Aku sudah ceritakan semua."

Mobil terus melaju meninggalkan Nayla yang pasti akan kaget melihat di mana dia berada.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Itu sh emank lakinya ndak ada niat buat ngusirin. Sengaja ngulur2 supaya istrinya bs lupa terus nerima dia
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status