Share

6. SAATNYA BERAKSI

Semenjak kejadian semalam, aku semakin geram dibuatnya. Berani-beraninya dia mempertontongkan belahan dadanya pada suamiku. Aku tidak mau tahu dan menerima alasan apapun lagi, hari ini dia harus segera pergi. 

"Dek, Mas berangkat dulu, ya." Aku hanya mengangguk padanya. Hatiku masih saja sakit dibuatnya. 

Perlahan sebuah tangan kekar melingkar di perutku. Mas Rasha menumpukan dagunya di bahuku, bersamaan dengan pelukannya semakin erat. 

"Maafkan mas, Dek," bisiknya. 

Aku masih bergeming. Suasana hening menyelimuti kami hingga suara tangisan Naura terdengar. Aku melepaskan diri dari rengkuhannya lalu menghampiri putriku. 

Tubuh kecil Naura kuangkat lalu menggendongnya. Mas Rasha menahanku, diciuminya pipi gembul Naura dengan gemas lalu dengan cepat bibirnya juga mendarat di pipiku. Tak dapat mengelak hingga aku lebih memilih diam saja. 

"Mas berangkat, Sayang," pamitnya lalu mencium keningku. 

"Sayang, ayah berangkat dulu, ya, Nak," pamitnya pada buah hati kami. 

Naura merentangkan tangannya yang disambut suamiku. Tangan mungilnya melingkar di leher ayahnya lalu menghadiahkan banyak ciuman di pipi Mas Rasha. 

"Yayah angan yama, ya," ucapnya dengan aksen khas bayi dua tahun.

Mas Rasha tertawa lalu mencubit gemas pipi gembul Naura. "Siap, Bos!" 

Naura meraih tangan ayahnya lalu mencium punggung tangannya. Hal yang sering kami lakukan setiap Mas Rasha hendak berangkat kerja. Mas Rasha kemudian berlalu meninggalkan aku yang masih memilih diam. 

Namun, saat hendak menyusul Mas Rasha, sebuah pemandangan kembali membuatku semakin jengah. Wanita itu menghadang suamiku dan keduanya terlibat obrolan. 

Bukan karena mereka terlihat sangat akrab sehingga membuatku tersulut cemburu, akan tetapi kembali wanita itu memakai pakaian yang terkesan menggoda. Baju piyama dengan celana yang sejengkal di atas lutut, rambut diikat tinggi dan menampakkan leher jenjangnya. 

Aku terdiam menatap keduanya yang sedang asyik mengobrol. Mereka tak menyadari ada aku yang melihat keduanya dari kejauhan. 

"Yayah!" panggil Naura kemudian berlari menuju ke arahnya. 

Mereka yang sedang terlibat obrolan tampak terkejut. Terlebih saat Mas Rasha menatap ke arahku. Kami sama-sama terdiam sedangkan wanita itu tersenyum sinis. Memuakkan. 

Aku melangkah ke arahnya lalu merebut Naura dari pelukan ayahnya. 

"Aku pikir sudah berangkat, ternyata masih menikmati pemandangan dua gunung merapi yang menonjol bebas," sinisku. 

"Mas hanya–"

"Dan kamu! Aku tidak mau tahu, hari ini terakhir kamu berada di sini. Kamu tidak tahu 'kan, rumah ini atas namaku?"

"Dek...."

"Wanita murahan!"

"Hey, maksud kamu apa ngatain aku wanita murahan?!" tanyanya tak terima. 

Aku melihat tubuhnya dari atas hingga ke bawah. Sudut bibir ini terangkat. "Wanita terhormat tidak akan mempertontonkan auratnya secara gratis di depan lelaki yang bukan mahramnya!" desisku. 

Dia menghentakkan kakinya kemudian berlalu di depanku. Aku menatap dingin suamiku yang terlihat kikuk. 

"Mas berangkat, Sayang. Mas janji dia akan pergi hari ini. Maafkan suamimu yang bodoh ini," bisiknya. Aku hanya tersenyum sekilas. 

Aku mengantar kepergiannya dengan perasaan yang tak dapat kuungkapkan. Bukannya aku posesif, hanya jika dia tidak menunjukkan gelagat yang mencurigakan. 

Kulangkahkan kaki menuju kamar tidur, kemudian membuka pakaian Naura lalu memandikannya. Setelah semua selesai, aku membawanya ke ruang keluarga lalu menyalakan televisi. Jam seperti ini, Naura terbiasa menonton film kartun islami. Sejak tadi dia belum sarapan. 

Aku melangkah ke dapur unruk membuatkannya bubur yang berisi tahu, ikan, sayuran hijau dan wortel yang sudah dipotong kecil. 

Saat menyendokkan bubur ke dalam mulut Naura, bel berbunyi berkali-kali. Kebetulan Nayla keluar dari kamar. 

"Tolong dong, buka pintu!" Tanpa protes dia melangkah ke arah pintu utama yang tak jauh dari ruang makan. 

"Ibu Ainunnya ada?"

"Ada. Silahkan masuk!"

'Siapa ya?' tanyaku dalam hati.

"Dedek, makan sendiri dulu aja ya? bunda ke depan dulu," pesanku terlebih dulu pada Naura. 

"Iya, Unda."

Kutinggalkan Naura untuk melihat siapa yang datang. Tampak ibu-ibu kompleks sedang duduk manis di sofa ruang tamu. 

'Sepagi ini?' tanyaku dalam hati. 

"Panggilin ibu dulu dong! Bilang sama ibu, di depan ada Bu Lili."

"Sebentar ya, Bu!" ucapnya dengan ramah. 

Baru saja Nayla melangkah, aku sudah lebih dulu tiba di sana. 

"Eh, ibu-ibu. Ada apa ya?" tanyaku penasaran. 

"Mbak, itu siapa tadi?" tanya Bu Lastri seraya melirik pada Nayla yang masih berdiri di belakangku. 

"O-oh, itu sahabat suami saya, Bu."

"Eh, maaf, kirain Mbak ART," celetuk Bu Ajeng dengan suara sengaja dikeraskan. 

"Maaf?" tanya Nayla. Kini dia ada di sampingku. Dari raut wajahnya dia menahan kekesalan. 

"Ya, maaf atuh. Soalnya kami teh nggak tahu," jawab Bu Elis. 

"Betul tuh. Mana kita tahu ye kan? Kalau di rumah ini ada wanita lain," celetuk Bu Lili sambil menekan kalimat wanita lain. 

Aku berusaha menahan agar tawa ini tidak meledak. 

"Sini atuh, Teteh, cerita sama kita! Kenalan dulu," ajak Bu Elis. 

Nayla melangkah lalu duduk di sofa. 

"Sebentar ya, Bu, saya mau lihat Naura dulu."

"Iya, silahkan, Mbak!"

Aku melangkah ke ruang keluarga yang sebenarnya hanya dibatasi dinding penyekat. Jadi, otomatis suara mereka masih terdengar jelas. 

"Eh, sudah lama  di sini?" tanya Bu Lastri. 

"Sudah. Semingguan lah gitu."

"Mbaknya nggak punya suami?" 

"A-anu–"

"Oh, niat mau jadi pelakor ya?" sarkas Bu Lili. 

Duh, sepertinya mereka mulai beraksi. 

"Bu-bukan!"

"Syukurlah. Soalnya nggak baik tahu, jadi duri dalam rumah tangga orang." Nayla hanya terdiam. Berulang kali tampak dia menoleh ke belakang, mungkin dia ingin pindah tapi segan. 

"Mbak nggak punya baju lain?" tanya Bu Lastri. 

"Punya. Kenapa emang?"

"Nggak pantas atuh, pakai baju seperti ini di rumah orang. Apalagi kalau Pak Rasha ada di sini." jawab Bu Elis. 

Aku beranjak mengintip ke ruang tamu. Penasaran bagaimana ekspresi Nayla dikerumungi ibu-ibu yang anti dengan wanita pelakor. 

"Betul tuh, Bu. Ih, kalau di rumah saya ada yang pakai baju menggoda seperti ini, sudah saya robek-robek, biar dadanya kelihatan sekalian!" ucap Bu Lastri menggebu-gebu. Nayla menutup belahan bajunya yang mengekspos bagian dadanya. 

"Ih, saya juga, Bu. Rasanya teh pengen jambak rambutnya," tambah Bu Elis. Tangan kanan Nayla memegang rambutnya yang diikat asal. 

"Apalagi saya ibu-ibu. Udah saya cabe in mungkin."

"Apanya?" tanya Bu Lastri. 

"Itunya," jawab Bu Lili seraya terbahak-bahak. 

Ibu-ibu yang lain berdengik ngeri, termasuk Nayla. Aku ikut bergabung setelah Naura menghabiskan mainannya.

"Eh, ada si cantik Naura. Sini, Sayang!" ajak.Bu Lili kemudian memangku Naura. 

"Geulis pisan euy, mirip Bundanya," puji Bu Elis. 

"Iya, Bundanya kan cantik alami. Tahu bedakan pakaian dinas di depan suami dan depan orang lain," sindir Bu Lastri.

"Ah, ibu-ibu bisa aja," ucapku sengaja mengompori. Tampak raut tak suka yang ditampakkan Nayla. 

"Neng, atuh dicontoh nyonya di rumah ini. Di depan sesama wanita aja menutup aurat."

Nayla berdiri dengan napas cepat. Aku yakin dia sedang menahan emosinya. 

"Ibu-ibu ke sini, niatnya mau mencari Mbak Ainun atau mencibir saya?" tanya Nayla.

"Ngusir kamu," jawab Bu Lili dengan tatapan dingin. Mata Nayla membulat sempurna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status