Share

3. RAYUAN WANITA PENGGODA

"Jangan pernah membiarkan orang lain masuk ke dalam kehidupan rumah tanggamu, jika tak ingin berakhir dengan perceraian akibat pengkhianatan."

Kalimat itu sering kali kudengar dari beberapa   orang yang menasehatiku. Termasuk Sinta–sahabatku sejak kecil–.

Sinta menolak tegas saat kuceritakan kehadiran Nayla di dalam rumah tangga kami. Baginya sama saja aku membuka lebar peluang wanita itu untuk merebut posisiku. 

"Ai, kamu salah besar. Kamu sudah jelas membuka peluang untuk dia."

"Aku harus bagaimana, Ta? Mas Rasha berjanji akan memulangkannya."

"Kapan?" Aku kengendikkan bahu. 

"Ai, sebelum terlambat, kamu harus mencegahnya. Wanita itu sudah terang-terangan loh. Persahabatan beda jenis kelamin itu pastinya akan berujung cinta sepihak."

"Maksudnya?"

"Salah satu di antara mereka pasti memendam rasa. Nggak ada persahabatan seperti itu yang biasa-biasa saja. Percaya deh sama aku."

Aku terus mencerna setiap apa yang dikatakan Sinta. Sepertinya aku harus waspada. Setelah dari sini, aku bakal bicara empat mata dengan Mas Rasha sebelum semuanya terlambat.

Ternyata apa yang dikatakan Sinta benar. Sekarang wanita itu hadir kembali dengan status berbeda. Istri siri. 

Semenjak kedatangannya kembali, otakku terus mengulang kejadian empat tahun silam. Sungguh menyakitkan. 

Sebuah ketukan membuyarkan lamunanku. Aku masih terdiam tak sedikitpun bergerak. Malas rasanya jika yang kutemui adalah gundik itu. 

"Bunda." 

Aku bernapas lega saat mendengar suara mungil itu. Rupanya Naura yang sejak tadi menungguku di balik pintu. Perlahan aku bangun lalu berjalan menuju pintu kamar. 

Pintu terbuka menampakkan sosok puteri kecilku. Kusejajarkan tubuh kami, rautnya tampak begitu sedih. 

"Bunda, kenapa tante itu memeluk Ayah? Dia siapa, Bunda?"

Aku membelai wajahnya kemudian membawanya masuk ke dalam kamar. Kududukkan puteri kecilku di atas pangkuan. 

"Sayang, Tante Nay itu adiknya Ayah," jawabku bohong.

"Tante Nay bukan peri jahat, 'kan, Bunda?"

Aku menggeleng seraya tersenyum. 

Kupeluk erat tubuh Naura, mendekapnya begitu erat. Aku tidak boleh menangis di depannya. Naura tidak boleh tahu siapa Nayla. Aku tidak ingin puteriku tumbuh dengan rasa benci terhadap ayahnya.  

Beberapa menit berlalu, kulirik jam di atas nakas. Jarum jam menunjukkan pukul setengah enam sore. Aku melepas pelukan, hampir saja aku telat memandikan Naura. 

"Sayang, kita mandi sore dulu, yuk!" Nauraku menangguk kemudian aku meraih tangannya menuju kamar tidurnya. 

Di luar kamar suasana begitu sepi. Tampak Mas Rasha baru saja keluar dari kamar tamu. Tak kuhiraukan tatapannya, gegas aku melangkah membawa Naura ke kamarnya.

*

Makan malam yang harusnya kami bertiga lewati dengan suka cita, kini berubah menjadi mencekam. Tak ada yang berani membuka suara hanya dentingan garpu yang memecah keheningan. 

Biasanya Mas Rasha akan memuji kecantikanku, kali ini tidak. Menatapku saja dia enggan. 

"Ayah, malam ini bunda cantik banget, ya?" Naura bersuara memecah kesunyian.

"Iya, Sayang, bunda selalu cantik."

Aku melirik ke arah Nayla yang memasang wajah masam. Aku tahu saat ini dia tidak bisa berbuat apa-apa di depan Naura. 

"Mas, aku mau sup itu. Tolong ambilkan!" titah Nayla dengan suara yang dibuat manja. 

"Tante Nay."

"Iya, cantik?" 

Nayla berusaha tersenyum di hadapan Naura. 

"Mangkuknya 'kan dekat, kok minta tolong sama Ayah?" Aku tersenyum puas. Good Job, Dear!

Tangan Mas Rasha yang tadi terulur ditariknya kembali. 

Nayla menggerutu lalu menyendok kuah sop itu sendiri. 

"Ayah, bunda mau disuap!" pintaku dengan suara manja. 

Mas Rasha mengambil sendokku lalu mulai menyendokkan ke dalam mulutku. Sekilas kulirik gundik di depanku, wajahnya memerah. 

"Makasih, Sayang," ucapku lalu menggenggam kuat tangan suamiku. Mas Rasha meraih tanganku lalu mencium punggung tangan ini. 

"Iya, Sayang."

Naura bertepuk tangan. Seperti biasa, Naura akan sangat bahagia jika melihat keharmonisan kami. 

Nayla membanting sendok dengan keras lalu meninggalkan kami yang tersentak karena ulahnya. 

'Ini belum seberapa, Nay!' batinku. 

Aku bersyukur Mas Rasha tak menyusulnya. Menoleh ke arahnya pun tidak. Senyum tersungging di wajahku begitu melihat Nayla menoleh ke arah kami dengan tatapan penuh amarah. 

*

Saat aku baru saja selesai mencuci piring bekas pakai, Nayla masuk ke dapur lalu meletakkan asal gelas dan piring yang tadi dipakainya. Mungkin Mas Rasha yang membujuknya untuk menghabiskan makanannya. 

Saat gundik itu hendak beranjak pergi, aku mencekal pergelangan tangannya. Tatapan kami bertemu. 

"Lepaskan!" Nayla berusaha melepaskan tangannya. 

Semakin dia meronta semakin aku menguatkan cengkramanku. 

"Mau kemana, hm?"

"Tidurlah, kemana lagi?" ketusnya. 

"Gak! Cuci piringmu sendiri!"

"Aku nggak mau!" Nayla kembali berusaha melepas cengkramanku. 

"Aku sudah peringatkan kamu, jangan pernah bertingkah! Ingat, aku lah nyonya di rumah ini."

"Lepaskan! Aku lagi hamil." Aku semakin menariknya. 

"Jangan berlaku sok di depanku! Lihat! Sekarang baru jam delapan malam. Ibu hamil harus banyak bergerak!"

Aku melemparkan spon busa tepat di depannya. 

"Dasar benalu!" sinisku kemudian beranjak menyusul suami dan anakku di ruang keluarga.

*

Empat tahun lalu ...

"Mas, adek mau menidurkan Naura dulu ya?" pamitku.

"Iya, Sayang. Setelah itu balik lagi, ya. Mas mau nonton bola bareng kamu."

Aku mengangguk kemudian menggendong Naura kecilku ke dalam kamar tidur kami. Naura begitu lahap menyedot ASI nya. Aku bersyukur karena pertumbuhannya begitu baik. 

Limanbelas menit berlalu, saat Naura tertidur pulas aku perlahan bangun lalu melangkah ke luar hendak menyusul suamiku. Saat aku berada di depan pintu, tampak Nayla keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai kimono handuk yang begitu seksi. Panjangnya hanya sebatas satu jengkal di atas lutut. Tentu saja oemandangan itu bisa membuat lelaki mana saja bisa tergoda. Termasuk suamiku. 

Rambut basahnya sengaja dia kibaskan lalu melilitnya dengan handuk. Aroma sabunnya tercium begitu menggoda. Dia bergerak seperti cacing kepanasan. Kulirik ke arah suamiku yang sibuk dengan gawainya. Aku tidak bisa membiarkan dia menggoda suamiku. 

"Mbak, kibasan rambutnya jangan di situ, dong! Nanti ada yang terpeleset," judesku. 

Mas Rasha yang sedari tadi sibuk dengan gawainya menoleh sejenak lalu membuang muka. 

"Mbak, di rumah ini ada lelaki yang bukan mahramnya mbak. Jangan biasakan seperti itu, meskipun sama sahabat sendiri," protesku. 

Dia hanya melirik sekilas lalu beranjak pergi. Dasar wanita aneh.

Aku menghampiri suamiku yang sedang menunggu tayangan pertandingan sepak bola kembali. Aku mengempaskan tubuh di sofa kemudian mengembuskan napas kasar. 

"Dek, jangan terlalu keras sama Nay." Aku mendelik tajam. 

"Mas nggak suka?" tuduhku.

"Bukan gitu, Sayang. Tegurnya jangan pedes kayak tadi."

Aku memposisikan tubuh ini menghadap ke arahnya. 

"Maksud mas, adek harus lemah lembut gitu?" Mas Rasha terdiam. "Mas, dia itu orang lain di antara kita, meskipun dia sahabat mas. Tapi, masalahnya dia seperti lagi godain mas. Adek nggak mau, ya."

"Adek jangan nuduh sembarangan. Nay itu bukan wanita penggoda," bela suamiku. 

"Lalu apa? Saat baru datang udah nempel-nempel ke mas, tadi pake kimono transparan, barusan? Kimono handuknya kependekan. Terus semua itu apa, Mas?"

"Jangan suudzon, ah!"

"Mas, siapa yang nggak suudzon, ini udah jam sembilan malam. Ngapain diaandi di jam seperti ini?" Mas Rasha memilih diam, pandangannya kembali fokus ke layar televisi.

Pertandingan sepak bola internasional dimulai, aku dan Mas Rasha begitu antusias. Momen seperti ini yang kami tunggu karena kami sama-sama menyukai dunia sepak bola. 

Satu jam lebih berlalu, mataku semakin memberat. Aku yang sudah tak tmbisa menahan kantuk akhirnya menyerah.

"Mas, adek tidur duluan ya?" pamitku.

Mas Rasha mengangguk seraya menyeruput kopi hitamnya. 

"Dikit lagi mas nyusul, Dek."

Aku beranjak berjalan menuju kamar. Kuhempaskan tubuh ini di atas pembaringan. Mata ini semakin memberat hingga tak sadar aku terlelap. 

*

Aku terbangun saat ingin buang air kecil. Gegas aku berlari kecil menuju toilet. Setelah menunaikan hajat, samar terdengar suara orang yang sedang tertawa. 

Kakiku melangkah pelan, kutempelkan telinga ini di daun pintu, suara itu semakin terdengar.

"Sha, aku kangen momen seperti ini sama kamu. Jadi ingat waktu kita masih kuliah dulu."

"Ah, kamu bisa aja, Nay."

"Aku serius loh, waktu itu kamu suka kan sama aku? Sayangnya Rafa udah keduluan sama kamu." Nayla tertawa lepas membuat hati ini memanas. 

"Itu kan dulu, Nay."

Lama mereka berdua terdiam, aku semakin dibuat penasaran. 

"Aku cinta kamu, Sha."

Duar! Kalimat itu akhirnya keluar dari mulutnya. Aku membuka pintu dengan emosi yang sudah berada di ubun-ubun. Keduanya menoleh ke arahku. Tampak wanita itu menggenggam tangan suamiku. 

Aku berjalan ke arah mereka lalu menepis tangan wanita itu dengan kasar. Dadaku terasa begitu nyeri melihat posisi mereka yang sangat dekat. Bau parfum semerbak menusuk indera penciumanku. Mataku memanas kala melihat kimono yang dipakainya cukup menantang. 

"Mas, ayo tidur!"

Tanpa permisi aku mwnarik kuat tangan suamiku lalu membawanya masuk ke dalam kamar kami. 

"Oh, jadi dia mantan kamu? Pantas kamu bela-belain dia buat tinggal bareng kita. Ternyata itu sebabnya."

Aku meninggalkannya yang masih mematung di dekat pintu. Kuhempaskan tubuh di atas pembaringan ini. Begitu sakit saat mengetahui semuanya. Ternyata Nayla adalah wanita yang selama ini kucari. Wanita yang telah membuat Mas Rasha jatuh hati kemudian meninggalkannya begitu saja. Dia cinta pertama suamiku. 

Aku menangis sesegukan. Mas Rasha memeluku dari belakang seraya terus mengucapkan kata maaf.

"Maaf, Sayang, mas sudah menyakiti hatimu. Mas janji akan membawanya keluar dari rumah ini," bisiknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status