Share

2. BERUSAHA MENJADI RATU

Setelah drama menyebalkan tadi selesai, aku kembali berkutat di dapur. Menyelesaikan masakan yang kubuat dengan penuh cinta. 

Aku mengaduk soto Betawi kesukaan Mas Rasha setelah menambahkan bumbu penyedap. Sungguh menyedihkan. Kukira malam ini kami akan melaluinya dengan penuh cinta seperti biasa, ternyata justru sebaliknya. 

Cincin berlian yang selalu menjadi hadiah pernikahan kami kini berubah menjadi bara api yang harus kugenggam kuat. 

Aku berhenti sejenak sembari mengatur gemuruh di dalam dada. Dadaku terasa sesak seolah oksigen enggan untuk sekedar bertahan di dalam rongga dadaku. 

Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya luruh juga bersamaan dengan tubuhku yang ikut meluruh ke lantai. Kugigit bibir bawahku sembari meremas kuat celemek yang masih menempel di tubuh ini. Suara tangis ini tak boleh keluar. Aku tak ingin orang lain tahu luka hatiku.

"Bunda?" sapa gadis kecil di hadapanku. 

Gegas aku mengusap sisa air mata di wajahku. Aku tak ingin Naura melihatku menangis. Kulirik jam yang menempel di dinding ruang makan. Jarum jam tepat menunjukkan pukul lima sore, waktu di mana Naura pulang dari mengaji.

Puteri kecilku mendekat sembari menatap lekat wajahku. 

"Bunda menangis?" tanyanya dengan penuh kekhawatiran. 

Aku menggeleng kuat seraya tersenyum. 

"Tidak, Sayang. Tadi nggak sengaja ada biji cabe yang masuk ke mata bunda. Makanya mata bunda perih," bohongku. 

Naura mendekat lalu memelukku. 

"Bunda nggak boleh terluka. Bunda nggak boleh sakit apalagi menangis. Naura sayang bunda," lirihnya. 

Aku kembali menangis seraya memeluk tubuh mungilnya begitu erat. Aku harus kuat demi anakku.

Tampak jelas ekor mataku menangkap sosok yang bertubuh tinggi sedang berdiri di depan kami. 

Aku memalingkan wajah saat tatapan kami bertemu. Dulu, aku pasti tersipu saat tatapan kami beradu. Sekarang, ada rasa muak melihat wajahnya. Bayangan pengkhianatan itu terus terngiang. 

"Naura," panggilnya pada putri kecil kami. 

Puteri kecilku menoleh lalu berlari menghambur ke pelukan ayahnya. 

"Ayah," serunya. Mas Rasha memeluk tubuh mungil Naura kemudian terus menciumi wajah cantiknya. 

"Ayah kangen, Sayang."

"Naura juga, Yah. Kok ayah lama baru pulang?" tanya Naura. 

Mas Rasha menoleh ke arahku seperti meminta jawaban. Aku memalingkan wajah kemudian berdiri kembali menyibukkan diri di ruangan kecil ini. 

"Ayah banyak kerjaan, Sayang. Maafin ayah, ya?"

Kembali aku menuangkan sop betawi ke dalam sebuah mangkuk besar sembari diam-diam menyimak obrolan seorang ayah dan puterinya. 

Dulu setiap Mas Rasha pulang dari perjalanan dinasnya, aku dan Naura akan saling bersaing untuk melepaskan kerinduan kami. Mas Rasha akan kewalahan saat kami menghambur ke pelukannya dan tak mau lepas. Sekarang situasinya sudah berbeda. Untuk melihat wajahnya saja aku tak bisa. 

"Bunda," panggil Naura. Aku lantas segera menoleh ke arahnya.

"Kok, bunda nggak peluk ayah?" 

Aku terkesiap, tak tahu harus menjawab apa. Tampak Mas Rasha tersenyum lantas segera berdiri. Tangannya ragu untuk menyentuhku. 

"Ayo, bunda, peluk ayah!"

Sedikit ragu aku menghambur ke pelukan suamiku. Aroma tubuhnya menusuk indera penciumanku. Dulu, aku begitu menyukai aroma tubuhnya. Seolah menjadi candu untukku. 

Dulu, setiap berada dalam pelukannya, akan menghasilkan getaran dan desiran hebat. Sekarang semua terasa hambar. Bayangan tubuh Mas Rasha yang sudah dijamah oleh wanita lain menghantuiku. Tiba-tiba aku merasa jijik disentuhnya. 

Aku  segera melepas pelukan yang hanya berlangsung kurang dari satu menit itu. Aku segera mundur. Tampak wajah Mas Rasha berubah. 

"Mas?"

Kami bertiga menoleh ke arah sumber suara. Perempuan itu berdiri di sana dengan wajah ditekuk. Pasti dia sudah melihat semuanya. 

"Dia siapa, Bunda?" tanya Naira dengan polosnya. 

Aku melirik sekilas ke arah Mas Rasha yang tampak kebingungan. 

"Eum, di-dia–"

"Halo, anak manis. Kenalkan aku tante Nay." perempuan itu berusaha akrab dengan puteriku. 

Naura beringsut mundur kemudian berlindung di belakangku. Sepertinya Naura ketakutan melihat tampang perempuan itu yang tampak acak-acakan. 

"Tante siapa? Kenapa tante ada di sini?"

"Jangan takut, cantik. Tante nggak jahat kok. Tante kan peri."

"Peri jahat!" balas puteriku dengan lantang. 

Aku bersorak di dalam hati. Rasain!

Nayla tampak salah tingkah. Aku berusaha menahan agar tawaku tak meledak. 

"Kok peri jahat? Tante peri baik, kok." 

Rupanya Nayla tidak menyerah. Senyum palsunya tergambar jelas di wajahnya. 

"Ibu guru selalu bercerita, kalau peri jahat selalu muncul untuk mengganggu keharmonisan raja dan ratu."

Kami terkesiap mendengar penuturan puteriku. Mas Rasha mendekat lalu mengelus lembut rambut panjang Naura. 

"Sayang, itu cuma dongeng," bujuknya. 

"Naura nggak mau ayah diculik oleh peri jahat!" pekiknya.

Hatiku terenyuh mendengar penuturan puteriku. Aku tahu, Naura begitu menyayangi ayahnya. 

Kusejajarkan tubuhku pada gadis kecil yang masih betah bersembunyi. 

"Sayang, dia bukan peri jahat. Dia tidak akan menculik Sang raja."

Aku berusaha meyakinkan puteriku. Aku tak ingin dia tahu kelakuan busuk ayahnya. Jika dia tahu, Naura pasti akan membenci ayahnya. 

"Janji?" tanya Naura lagi. Kami berdua mengangguk. 

"Raja dan ratu akan terus bersama. Peri jahat tidak akan bisa menculik sang raja. Itu kata Ibu Guru."

Aku memeluk tubuh puteri kecilku. Aku yakin, Naura belum mengerti semuanya. Biarlah. Justru itu lebih bagus. Aku tak ingin membuatnya kebingungan. 

'Bunda berjanji akan menyelesaikan semuanya. Bunda akan kuat demi kamu, Sayang,' bisikku di dalam hati. 

Aku melepaskan pelukan. "Sekarang puteri cantik di luar dulu, ya? Bunda ratu mau menyiapkan masakan dulu untuk nanti malam." 

Naura mengangguk antusias dan terus meloncat kecil. Tangannya kemudian meraih tangan ayahnya lalu membawanya menjauh dari dapur. Langkahnya terhenti saat menyadari Nayla ikut bersamanya. 

"Tante kenapa ikut juga?"

"Memangnya kenapa?" tanya Nayla. 

Naura menoleh sekilas ke arahku lalu kembali menatap Nayla. 

"Harusnya tante yang di sana. Bunda ikut bersamaku."

Kami tersentak mendengarnya. 

"Tantenya butuh istirahat, Sayang. Kan tante Nay lagi hamil. Nanti dede bayinya sakit."

Hatiku sakit begitu mendengar penuturan Mas Rasha, akan tetapi segera kutepis. Aku tak boleh terlihat rapuh di depan mereka. 

"Naura nggak mau, Ayah. Tante Nay harus menggantikan bunda di dapur!"

Naura menarik tangan Nayla lalu membawanya tepat di sampingku. Tangan mungilnya perlahan menarik tanganku. Sebelum melangkah, aku melepas celemek yang masih menempel di tubuh ini lalu memakaikannya di tubuh perempuan itu.

"Masak yang enak ya! Raja dan ratu mau istirahat dulu," bisikku tepat di telinganya. 

Matanya melotot ke arahku, ujung bibir ini terangkat.

"Yuk, Bunda!" 

Kami berdua meninggalkan Nayla yang berdiri mematung dengan mimik menahan amarah. 

Baru beberapa langkah kami bertiga meninggalkan dapur, Nayla tiba-tiba berdiri di depan menghentikan langkah kami.

"Tante kok nggak di dapur aja?" tanya Naura dengan sedikit kesal. 

"Bayi yang ada di dalam sini adalah calon adik kamu, Naura. Jadi, kamu pasti tidak ingin calon adikmu terluka kan?"

"Nay!" tegur Mas Rasha. 

"Adik?" tanya Naura polos.

Gegas aku menarik lengan Nayla lalu membawanya menjauh dari puteriku. Bagaimanapun, aku tidak ingin Naura tahu. 

"Apaan sih?!" Nayla menyentak tangannya. Pandangan kami beradu.

"Apa maksudmu?"

"Nggak ada. Aku cuma ingin Naura tahu dan ikut menerima kenyataan seperti ibunya," jawabnya santai. 

Aku mencengkram bahunya dengan kuat. 

"Kamu kalau ingin selamat, jangan bertingkah di sini!" ancamku.

Dia menyeringai. "Kenapa? Kamu takut?"

"Ada satu hal yang harus kamu tahu. Aku bukan perempuan yang lemah. Kamu salah jika menganggapku seperti itu. Hanya saja permainan belum dimulai, Nayla."

"Kamu pikir aku takut?" tantangnya. 

"Kamu sudah mengibarkan bendera permusuhan. Selama ini kamu sudah main gila dengan suamiku. Tapi, kamu tidak tahu, hal gila seperti apa yang bisa aku lakukan untuk perbuatan hina kalian!" 

Raut wajahnya berubah pias. Aku mendorong sedikit tubuhnya ke belakang kemudian berlalu. 

"Auw!" pekik Nayla. 

Aku yang baru saja melangkah spontan menoleh ke belakang. Nayla terus memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit dengan mimik kesakitan. Tubuhnya perlahan luruh ke lantai. 

"Mas!" teriaknya. 

"Mas, tolong!"

Aku hanya bisa mematung. Dari arah berlawanan, Mas Rasha datang menghampiri lalu merangkul perempuan itu. Ada yang berdenyut nyeri menyaksikan pemandangan di depan mata.

"Kenapa, Nay?"

"Sakit," rengeknya dengan suara yang dibuat-buat.

"Apa yang terjadi?" 

Nayla menatapku dengan tatapan permusuhan. 

"Dia mencoba mencelakaiku, Mas," tuduhnya. 

Aku yang sudah menebak drama yang akan terjadi hanya bisa tersenyum kecut. Memuakkan.

"Dek? Kamu apakan Nayla?" 

"Aku tidak melakukan apapun, Mas."

"Dia lagi hamil. Harusnya kamu tidak berusaha mencelakainya!"

Dadaku kembali bergemuruh saat Mas Rasha terang-terangan membentakku di depan perempuan itu. Semudah itu kah dia percaya?

Aku tidak menyangka Mas Rasha bisa berubah seperti ini. Entah pelet apa yang dipakai perempuan itu. Kamu dibutakan cinta, Mas!

"Kalau perempuan itu ingin tenang di rumah ini, harusnya dia tahu diri!"

Perempuan itu terus merengek dan bahkan memeluk tubuh suamiku. Hati ini terasa panas dibuatnya. Namun, aku harus bisa menahan gejolak di dalam dada. Aku harus bermain cantik.

"Dek–"

"Seorang gundik tidak pantas untuk diperlakukan layaknya ratu," desisku.

"Ainun!"

"Mas urus saja gundikmu itu!" 

Aku berlalu meninggalkan mereka menuju kamar tidur. Sesak di dalam dada terus menghimpit rongga dada. 

Aku membanting tubuh ini di atas tempat tidur. Air mata yang sedari tadi kutahan luruh begitu saja. Aku menangis sejadi-jadinya, meluapkan segala emosi yang sejak tadi berusaha kupendam.

Beruntung kamar ini sudah terpasang kedap suara. Mereka tidak akan mendengar tangis piluku. 

Aku memandang setiap sudut kamar ini. Di ruangan ini, kami menghabiskan malam-malam bersama. Delapan tahun pernikahan bukanlah waktu yang singkat. Bagaimana mungkin aku bisa menerima kenyataan pahit ini?

Aku meraba ruang kosong yang ada di sampingku. Bayangan tubuh Mas Rasha muncul seketika. Tubuh yang menjadi candu untuk kupeluk di setiap malam yang kami lalui.

Sekarang semuanya berubah. Bukan hanya aku yang memiliki raganya. Ada perempuan lain yang juga kini berhak memiliki. Nayla.

Aku berusaha menutup mata untuk mengistirahatkan pikiran, bukannya tenang, ingatan empat tahun silam datang menyapa. 

Setelah menerima kehadiran Nayla di rumah kami, aku membawanya ke kamar tamu. Tampak raut kecewa yang ditampilkan, tapi aku tak peduli. 

"Silahkan istirahat. Kamar mandinya ada di dekat dapur." Aku beranjak setelah Nayla mengangguk. 

Langkahku kembali menuju kamar, dari.jauh kuperhatikan tubuh suamiku yang sedang terbaring di atas ranjang masih dengan pakaian kantornya. 

Aku mendekatinya kemudian memandang lekat wajahnya. Rasa takut itu kembali saat mengingat bagaimana Nayla berusaha merapatkan tubuhnya pada suamiku. Apa yang sedang dia rencanakan? 

Aku menggeleng kuat, berharap itu hanya pradugaku saja. Aku menidurkan Naura di samping suamiku. 

Aku melangkah ke arah dapur, mendapati tumpukan bekas makanan yang belum sempat kubersihkan. Lengan baju kugulung ke atas lalu mulai mengerjakan pekerjaan rumah.  

Malam mulai menyapa. Aku dan Mas Rasha seperti biasa menyantap makan malam bertiga. Namun, kali ini berbeda. Ada sosok baru yang hadir di tengah-tengah kami.

"Dek, kok, Nayla belum keluar juga ya? Panggilin, gih!"

Aku beranjak dari kursi lalu mengetuk pintu kamar tamu. 

"Nay, makan malam, yuk!" ajakku. Namun, tak ada sahutan. 

Berulang kali aku mengetuk, hal.yang sama terjadi. Aku menyerah kemudian kembali ke meja makan. 

"Loh, Nay mana, Dek?" tanya Mas Rasha yang sibuk menyuapi Naura. 

"Adek udah ketuk pintunya berkali-kali, Mas, tapi nggak ada jawban."

Mas Rasha  melepas sendok yang ada di tangannya kemudian berdiri. 

"Ya sudah, kamu lanjutin makannya, nanti mas yang ajak. Mungkin dia masih malu."

Aku yang tak sedikitpun menaruh curiga membiarkan suamiku pergi menemui wanita itu. 

Lama Mas Rasha belum juga kembali. Aku yang baru saja menyusulnya mengurungkan niat saat Mas Rasha kembali bersama wanita itu. Tapi, tunggu. Pakaian tidurnya begitu tampak tipis hingga menampakkan pakaian dalamnya. 

Tubuhnya dibalut kimono berbahan tipis dengan belahan dada yang hampir menampakkan bagian yang harus ditutupi. 

Saat Nayla duduk di hadapan kami, wangi parfumnya tertangkap jelas oleh indera penciumanku.  

Aku tak berhenti menatap wanita yang ada di depanku. Rambutnya yang tadi terurai digulung hingga menampakkan leher jenjangnya. Dadaku bergemuruh hebat. 

"Panas ya, Mba? Sampai pakaiannya tipis gitu," sindirku. 

Mas Rasha yang sejak tadi sibuk menyendokkan makanan ke dalam mulutnya terhenti. Wanita itu tersenyum kaku. 

"Eh, iya, maaf. Nanti aku ganti."

Nayla mencuri pandang ke suamiku, wajahnya tertunduk saat matanya menangkapku yang sedang menatapnya. Langkahnya berdiri lalu menjauh dari kami. 

"Kok, mas nggak tegur tadi?" tanyaku. 

"Ya, mana mas tahu kalau setipis itu, Dek," jawabnya santai. 

"Kenapa mas lama banget tadi?" cecarku. 

"Nayla malu, mas paksa-paksa tadi. Lagian lampu kamarnya tadi mati, mana mas lihat semuanya."

"Bohong! Pasti mas menikmatinya," tuduhku.

"Astaghfirullah, Dek. Mas di luar. Mas tahu batasan meskipun dia sahabat mas."

Aku kembali terdiam berusaha percaya. Tak lama kemudian Nayla kembali dengan baju lebih sopan yang tadi. Kami melanjutka makan tanpa ada suara. 

Saat aku tengah mencuci piring, Nayla masuk ke dalam dapur lalu seenaknya meletakkan bekas makanannya begitu saja. Tanpa ada niat untuk mencucinya. Padahal keadaan dapur sudah kembali bersih. 

Aku masih menahan kesabaran, kucuci bekas piringnya. Tak masalah, hanya dua buah, pikirku. 

Saat selesai berkutat di dapur, aku yang hendak bergabung di ruang keluarga mendadak menghentikan langkah saat kudapati Nayla dan suamiku tengah tertawa lepas. Nayla tak berhenti memukul lengan suamiku dan sekali-sekali mencubitnya.

Hati sungguh panas melihatnya. Aku melangkah tergesa-gesa lalu duduk di antara mereka. 

"Sofa luas begini, kok, dempet-dempetan?" sindirku. 

Mas Rasha lalu merangkulku lalu mencubit gemas pipi ini. Sekilas kulihat wajah masam Nayla. 

"Sayang, sakit tahu!" protesku. 

Mas Rasha terbahak, "Mas suka pipi kamu. Jadi pengen–"

"Uhuk!" Nayla terbatuk, spontan kami berdua menoleh ke arahnya. 

"Kenapa, Nay?" tanya suamiku. 

"Eng-enggak, kok, Mas. Anu, aku mau minum, tenggorokanku kering," ucapanya kemudian berlalu. 

Mas Rasha tak mempedulikan, kembali pipiku dicubit lalu menciumnya gemas. Naura yang ada di pangkuan mas Rasha terus berceloteh lalu memukul-mukul lengan ayahnya. Tangan  Mas Rasha kemudian merangkul tubuh kami berdua. Ekor mataku menangkap ada sosok yang berdiri mematung di sana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status