Saat bangun, kulihat sekeliling berbeda dengan terakhir kulihat. Bertepatan dengan itu, Mas Lian masuk ke ruangan tempatku berbaring. Wajahnya memerah, aku jadi takut terjadi sesuatu yang tidak-tidak. "Mas," panggilku. "Dek," jawabnya. Wajahnya merah, sepertinya habis menangis. "Ini di mana, Mas?" tanyaku. "Kamu di klinik, Dek," jawabnya sambil menitikkan air mata."Kamu kenapa nangis, Mas? Apakah aku sakit parah?" Bukannya menjawab, Mas Lian malah semakin tergugu. Membuatku menjadi panik dan serba salah. Sebenarnya, apa yang terjadi? "Dek," panggilnya. "Iya, Mas? Kenapa? Bilang aja. Nggak papa," jawabku. Jika memang benar aku sakit parah, lengkapnya sudah semua ini. Tak kunjung hamil, ditambah kini aku sakit. "Kamu nggak sakit, Dek," ucap Mas Lian. "Lalu?" tanyaku tak sabar. "Kamu hamil, Dek!" Aku menghembuskan napas lega. Hamil ternyata. Eh? "Ha-hamil, Mas?" tanyaku. Mas Lian mengangguk, membuat pelupuk mata penuh dengan air. Ya Allah, aku hamil? Sesuatu hal yang telah
Pagi hari. Aku tengah membuka warung pukul setengah tujuh pagi. Ini semua karena Mas Lian yang membuat peraturan baru, buka warung pukul setengah tujuh dan tutup jam lima sore. Ada-ada saja memang. Padahal habis magrib sampai pukul delapan pun warung masih ramai biasanya. "Tumben kamu baru buka, Fir?" tanya Wiwin sambil menghampiriku. "Iya, Win, kesiangan." Wiwin mengangguk, lalu meminta telur setengah kilo. Lalu pembeli segera berdatangan. Ada yang mau beras, telur, mie, dan lain-lain.Mas Lian dengan sigap membantuku. Ia menyuruhku duduk dan menerima uang dari pembeli, sisanya biar ia yang mengambilkan."Tumben amat ini yang ngelayanin dua-duaan." "Iya, Bu." "Alhamdulillah, Bu, istri saya sedang hamil. Makanya saya bantuin." "Alhamdulillah, kamu hamil, Fir?" tanya Wiwin. Aku mengangguk. "Iya, Win. Alhamdulillah." Pembeli mengucapkan selamat, membuat diri ini begitu bahagia. "Karena istri saya hamil, maka yang belanja di atas dua puluh ribu, saya diskon goceng!" Mereka la
POV 3Peluh membanjiri dahi Helmi. Ia tak menyangka, jika hari ini merupakan penentuan nasib sialnya. "Mungkin Bapak salah orang!" ucapnya pada petugas. "Jelaskan saja nanti di kantor. Sekarang, ikut kami. Bawa dia!" ucap salah satu dari mereka ke yang lain. Mereka membawa Helmi menuju kantor polisi. Berbagai prasangka sudah memenuhi hati dan juga otak lelaki yang dulu pernah menelantarkan ibunya itu. Sampai di kantor polisi, Helmi disuruh duduk dan menghadap ke salah satu petugas yang tengah mengetik sesuatu. Ia akan diwawancara terlebih dahulu. "Saudara Helmi, benarkah anda dan saudara Dono saling mengenal?" tanya petugas yang bernama Aryo itu. "Tidak, Pak. Saya ini baru saja dari kampung." "Baik. Sejak kapan anda di kampung?" "Satu tahun yang lalu," jawah Helmi disertai kebohongan. "Di mana anda tinggal?" "Kampung saya?" "Ya!""Purwokerto.""Sebelumnya?""Di Bogor." Aryo mengangguk-anggukan kepala. Ia tengah berusaha membuat pertanyaan yang nantinya akan menguak rahasia
"Halo, Mas," ucap Imah saat panggilan ia angkat. "Mah, apakah benar jika Helmi di penjara?" "Apa?!" Mendengar pertanyaan kakaknya, Imah berteriak sehingga membuat beberapa orang di sekitarnya menatap. "Iya, makanya Mas menelepon, takutnya itu penipuan."Imah yang sudah berpindah tempat pun menceritakan hal kemarin, saat Helmi berpamitan akan ke Jakarta untuk bekerja. Tak lupa, ia pun mengatakan soal Helmi yang meminjam uang padaya. "Ya Allah Helmi, ada saja ulah yang dia buat. Lalu sekarang bagaimana, Mah?" tanya Cahyo. "Imah juga bingung, Mas. Kalau misal Imah dan Mas Suryo ke sana, nanti bagaimana dengan Ibu? Kalau Bagas sih, bisa dititipkan di rumah Mama."Cahyo pun menggaruk kepalanya yang tak gatal. Jika Imah dan Suryo berangkat ke Jakarta, masa iya Ibu dan bapaknya satu rumah? "Ya sudah, nanti biar Mas bicarakan dengan Ratih. Semoga dia mau ikut ke Jakarta," ucapnya. Bukan ia tak bisa pergi sendiri, namun jika membawa istri dan anaknya, itu akan membuatnya sedikit lebih t
"Dek, kenapa?" Lian segera bangkit dan menepuk-nepuk pipi istrinya. "Perutku sakit, Mas! Aah!" teriak Fira. Lelaki yang sebentar lagi akan menjadi ayah itu pun panik. Apalagi saat ia melihat darah merembes ke seprai. Dengan sigap, ia mengambil kunci mobil dan memanasinya, lalu membangunkan Pak Burhan dan membopong Fira ke dalam mobil. "Apakah sudah waktunya, Li?" tanya Pak Burhan. "Iya, Pak. Ayo kita ke klinik." Mereka tergesa berangkat ke klinik, sementara di dalam Fira sudah terus mengerang. "Cepat, Mas!""Iya, ini juga udah cepet, Dek!" jawab Lian. "Istighfar, Nduk. Jangan dibawa teriak. Tarik napas, hembuskan." Fira mengikuti instruksi bapaknya, namun nyeri di perutnya semakin terasa. Hingga sepuluh menit kemudian, mereka sampai di klinik. "Mbak, jangan tutup dulu!" teriak Lian sambil turun dari mobil karena melihat klinik itu akan ditutup. "Tapi, Pak, ini sudah malam. Waktunya tutup." "Tolong panggilin bidannya, Mbak. Istri saya mau melahirkan. Darahnya udah keluar."
Setahun sudah Helmi mendekam di penjara, selama itu pula tak ada satupun keluarga yang menjenguknya. Hanya Friska dan Maman yang beberapa kali datang menjenguk, itupun hanya untuk mengejeknya. Seperti kali ini, pasangan suami istri itu datang lagi. Helmi menatap mereka datar. Hatinya masih tak menyangka jika selama ini hanya menjadi 'boneka' dalam permainan Priska dan Maman. "Kamu dipenjara empat tahun. Masih ada sisa tiga tahun. Selamat menikmati hidupmu, Helmi.""Apa sebenarnya masalahmu denganku, Man?" tanya Helmi geram. Maman mendecih, sementara Priska asyik main ponsel di sebelah Maman. "Kamu lupa, sudah dzolim pada keluargamu?" "Itu urusanku, Man! Kamu tak berhak ikut campur!" teriak Helmi lantang. "Memang, tapi aku sudah menganggap Bu Fira sebagai adik saya sendiri. Ia begitu baik, tapi kamu malah seenaknya mengambil uang hasil panen. Kamu manusia, kan?" Helmi menggeletukan giginya. Manusia di hadapannya itu tak ubah layaknya serigala berbulu domba. Selama ini, Maman ter
"Ibu!" Mereka berteriak kompak. Pak Burhan yang sedang duduk bersama dengan Naura pun terlonjak saat mendengar teriakan anaknya. Cahyo dengan sigap menggendong ibunya ke ranjang dan Ratih pun mengoles minyak angin. Beruntung, anak Fira tidur di dalam box bayinya. "Bu, sadarlah, Bu!" "Ibumu kenapa, Nduk?" "Ibu pingsan, Pak.""Iya, tapi kenapa? Pasti ada penyebabnya." Mereka semua terdiam, bingung hendak menjawab seperti apa? "Anu, Pak." "Emm." Pelan, Bu Ana membuka matanya. Ia mengerjap beberapa kali hingga akhirnya tangisnya pun runtuh. Pak Burhan mendekat, sedikit khawatir dengan mantan istrinya itu. "Pak!" "Kenapa, Bu?" "Helmi, Pak! Dia sebenernya di penjara!" Pak Burhan terdiam, wajahnya tegang mendengar anak kesayangannya meringkuk di balik jeruji besi. "Apa betul itu, Cahyo?" "Ambar?" Tak mendapat jawaban dari Cahyo, Pak Burhan bertanya pada menantunya. Pelan, Ambar pun mengangguk. Anak yang lain tak sanggup menatap ke arah sang bapak. Mereka khawatir, jika bapakn
"Jangan teriak, Pak. Adek bayi lagi tidur. Pak, selama ini, sudah berapa kali, Mas Helmi menyusahkan kami, terutma Bapak? Sudah puluhan kali. Dari ia masih sekolah sampai setua ini. Kami hanya ingin memberi efek jera pada Mas Helmi. Mbak Ratih melarang bukan karena ia tega, tapi karena ia pun merasa kesal dengan kelakuan adik iparnya. Bapak hitung saja, sudah berapa uang yang dikeluarkan oleh Mbak Ratih untuk Mas Helmi?""Itu kan juga uang Cahyo." "Bapak lupa, jika butik Mbak Ratih sangat ramai sewaktu di Bangka? Mas Cahyo hanya punya ruko pakaian yang disewakan sebulan sebesar satu juta lima ratus. Mas Cahyo pun di sana ikut mengelola bisnis Mbak Ratih, sementara pekerjaan sampingannya hanya tukang antar paket. Jadi, tujuh puluh lima persen keuangan mereka itu dari Mbak Ratih." Pak Burhan nampak diam sebentar, tangan Fira masih tertaut erat di tangan Pak Burhan. "Pak, jangan begini. Fira pun mendukung usul dari Mbak Ratih karena tak ingin kejadian lalu terulang lagi." "Betul kata