Serina menemukan mata cokelat yang menatapnya hangat. Untuk pertama kalinya sejak lima tahun, ada pria yang mendekapnya dengan perasaan cemas, bukan karena gairah. Kendati napasnya berlarian, Serina merasa tenang begitu saja. Apa ini? Mengapa dirinya bisa merasakan ketenangan dan kenyamanan bersama seorang pria?“Tenanglah, Serina … aku ada di sini.”Suara yang dalam, lembut, dan membuai itu menarik Serina sepenuhnya dari ketidaksadarannya. Ia berhenti berdelusi. Ia berhenti ketakutan. Ia membiarkan dirinya lengah. Didekapnya lelaki itu lebih erat lagi. Dia sandarkan kepalanya pada bahu yang lebar itu. Rasa aman yang dia dapatkan menghadirkan kerut tidak suka pada dahi Serina. Mengapa ia harus merasakan semua perasaan itu pada lelaki ini? “Tak apa, Serina. Itu hanya mimpi.”Sayangnya Serina tidak sedang bermimpi. Saat ia membuka mata, langit-langit putih dari kamar ini terjamah oleh matanya ketika tiba-tiba ia melihat wajah Ibu yang dipenuhi dendam melayang di atas tubuhnya dan me
Tanjung mendudukkan Serina di kursi kayu, tepat di depan meja di mana ia meletakkan kantong makan malam mereka. Dengan telaten lelaki itu membuka dan menatanya di atas meja. Nasi goreng yang mengepul langsung menyambut Serina. Tanjung mengeluarkan banyak bungkusan dan kotak makan di hadapannya. Berbagai makanan pinggir jalan menyapu pandangan Serina. “Ini yang belum sempat kau makan tadi pagi. Maaf soal yang tadi, makananmu tumpah semua.”Rasa senang merebak di hati Serina. Ia merindukan makanan jalanan yang seperti ini. Maka, ia mendongak, memberikan senyum tanda terima kasihnya pada Tanjung.Tanjung terpaku. Ada rasa panas yang tiba-tiba merambat di dadanya. Senyuman itu terasa tulus, tanpa kelicikan dan rencana misterius, tapi terlihat sangat cantik. Tanjung berdeham. Rasa gugup mendadak menyerangnya. “Kau bisa makan?”“Tentu saja, aku bisa pakai tangan kiri.”Serina menunduk untuk memasukkan satu suapan ke mulutnya. Tanjung memperhatikan rambut panjang Serina yang terjatuh di b
Serina mengedikkan bahu santai. “Tidur saja.” Lalu ikut berbaring membelakangi Tanjung. Tanjung menatap langit-langit kamar. Plafon putih yang dihiasi noda-noda hitam itu membuat Tanjung menghela napas. Rasanya ia masih berada di tengah jalan. Tujuannya masih sangat jauh. Dulu dia berjalan sendirian tanpa arah, dalam kebingungan dan keputusasaan, sekarang ada seseorang yang ikut berjalan bersamanya.Ia menoleh pada Serina yang berbaring miring dengan punggung yang kaku. Awalnya ia menggantungkan harapan pada wanita ini, tapi sekarang Tanjung merasa harus melindunginya. Narumi tak boleh menyentuh Serina. Ia tak ingin Serina bernasib sama seperti ibunya. “Ugh ….”Mendadak punggung Serina bergetar. Tanjung menoleh cepat. Dilihatnya Serina yang tengah mencengkeram seprei dengan kuat. Dari bahunya yang naik turun, dia tampak tersiksa. Tanjung mengepalkan tangan, menahan diri untuk tak melangkahi batas. Detik berikutnya napas Serina terputus-putus. Rintihannya terdengar jelas. Tanjung b
Serina tak tahu, jika menyentuh dan disentuh oleh seorang pria akan memberinya sensasi seperti ini, seolah ada sesuatu yang menggelitik dirinya dari dalam. Tanjung adalah pria pertama yang memberinya rasa seperti ini. Ia penasaran, sejauh apa rasa asing itu akan ia rasakan. Maka, Serina melangkah lebih nekat. Disapunya rahang tajam yang maskulin itu. Dipertemukannya kedua mata mereka. Serina yang penasaran dan Tanjung yang sibuk mempertahankan kendali diri.“Kau bisa melakukannya, melihat diriku lebih jauh,” bisiknya, seperti dewi pengoda yang amat lihai.Tanjung memejamkan mata rapat-rapat. Jelas-jelas wanita ini baru saja membangun tembok yang sangat kokoh. Mengapa sekarang ia mengundang Tanjung untuk masuk begitu saja? Ia bahkan membuka pintu lebar-lebar untuk Tanjung. Tanjung sama sekali tak mampu memahami alur pikiran Serina. Napas Tanjung saling bertabrakan. Akal sehat dalam kepalanya seolah perlahan-lahan menyusut. Mengapa Serina bisa semenawan ini? Apa yang terjadi padanya
Tanjung membeku. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia mendengar pujian sevulgar itu. Serina memandangnya dengan tatapan misterius, seolah mengundang Tanjung untuk menjelajah di dalam matanya. Serina menyampirkan rambut melewati bahu, memperlihatkan dadanya yang kelewat indah, menggoda mata Tanjung untuk terpaku di sana. “Kau bisa melakukannya kapan pun kau mau.” Senyum itu mengembang dengan santai, sangat mengganggu.“Apa yang kau katakan, Serina?” Sekujur tubuh Tanjung menegang.“Kau tahu, kalau kau terus bersikap baik seperti ini, aku akan bersikap lebih baik lagi. Aku bisa memberikan semua milikku padamu.”Tanjung seolah sedang berada di sarang iblis. Berbagai godaan menyerangnya dari berbagai sisi. Jantungnya berdenyut cepat sampai terasa sakit. “Aku bisa mengorbankan apa pun untukmu.” Tatapan itu semakin intens, mencoba meruntuhkan dinding pertahanan Tanjung. Serina tetap diam, seolah menunggu Tanjung bergerak lebih dulu. Sedang Tanjung mengepalkan tangan, menahan gejolak pa
Rasa-rasanya ia sudah lama tertidur. Saat Serina membuka mata, tangan hangat yang mendekapnya telah pergi. Ia menoleh ke samping hanya untuk menemukan sisi ranjang yang kosong. “Sudah bangun?” Kelopak matanya bergerak-gerak dengan kerutan kening bingung. “Jam berapa ini?”Serina berusaha bangun, menemukan Tanjung yang duduk di kursi meja bundar semalam sambil membaca koran dengan gaya aristokratnya. Lelaki itu melirik arloji mahalnya. “Jam dua siang.”Mata Serina membulat. Jam dua siang? Dia tidur selama itu? Serina ingat dirinya yang tertidur awal malam sampai tengah malam, lalu tertidur lagi sampai siang. Alam mimpinya tak membrontak seperti biasanya.Tanjung melipat surat kabarnya, lalu berdiri dan sekonyong-konyong menggendong Serina. Mendudukkannya di kursi. “Makanlah dulu. Perutmu pasti kosong.” Serina baru sadar jika di atas meja ada makanan. Kali ini masakan China yang sepertinya sudah agak dingin. “Aku memesannya satu jam lalu. Supaya saat bangun, kau tak perlu menunggu
Di pagi buta, Tanjung terbangun oleh suara bel. Dengan pelan dia turunkan jari-jari Serina dari rahangnya. Semalam entah alasan apa yang membuat Serina malah bermain-main dengan wajahnya.Tanjung bergerak sepelan mungkin agar tak membangunkan Serina. Ia mengatur selimut agar tetap menutupi tubuh Serina hingga sebatas dada. Bunyi bel semakin cepat. Tanjung segera membuka pintu sebelum Serina terganggu. Siapa yang datang di pagi buta begini? Apakah Markus atau staf hotel?Bukan keduanya. Saat pintu terbuka, Tanjung malah berhadapan dengan seorang wanita bertubuh mungil yang menatapnya tajam.Garis-garis rahang yang tegas dan bibir yang menipis. Meski bertubuh kecil, jelas auranya tidak biasa. “Mana Serina?”Suara yang dingin dan tegas sekilas mengingatkan Tanjung pada Narumi. Sorot mata yang mengancam itu tidak jauh berbeda dengan yang sering kali Narumi layangkan padanya.“Anda siapa?”“Bangunkan dia.”Kening Tanjung mengerut. “Saya perlu tahu identitas Anda.”Tatapan itu kian menaja
Tanjung mendengar decakan kesal dari balik punggungnya. Ia tahu pasti seberapa berambisi Serina untuk menyingkirkan Narumi. Rasa-rasanya wanita tinggi semampai itu tidak lagi melawan Narumi untuk Tanjung, tapi untuk dirinya sendiri. Alih-alih memudarkan tatapan tajamnya, Izora tetap menyorot Tanjung dengan dingin. “Itu tindakan yang benar. Lawan musuhmu sendiri, jangan mengandalkan wanita.” Kata-kata itu menusuk terlalu dalam ke jantung Tanjung. Harusnya ia menyadarinya sejak awal. Dia terlalu putus asa sampai akhirnya mengambil jalan bodoh dengan memanfaatkan seorang wanita. “Ayo kita pulang.” Pandangan Izora menembus melewati tubuh Tanjung, pada Serina yang masih menggertakkan gigi di ranjang. “Aku tidak mau.”“Berhenti bermain-main, Renata.”Serina terpaku. Saat Izora memanggil nama aslinya, maka wanita itu sudah amat marah. Tak ada celah untuk membantahnya. Yang lebih mengesalkan lagi, Tanjung malah berbalik, mendekati ranjang dan bersiap menggendong Serina. “Tidak perlu dia