All Chapters of My Favorit Servant: Chapter 61 - Chapter 70
106 Chapters
Bab 61. Jangan-jangan Hamil
Sampai di pintu dapur, Deondra tak melihat tanda-tanda gadis itu. Hanya ada beberapa pelayan yang sudah kembali memenuhi rumahnya. Mungkin Arinda istirahat, dari semalam dia melakukan semua tugas-tugas ini seorang diri. "Ada yang Anda butuhkan, Tuan Muda?" tanya Kepala Pelayan, menghampirinya di dekat pintu. "Kau melihat Arinda?""Oh, dia sedang bersiap-siap. Katanya ingin membeli sesuatu di luar. Dia sakit, wajahnya lumayan pucat tadi," ucapnya sopan. Deondra diam, menimbang sesuatu. Sekilas, di lihatnya gadis itu melangkah ke arah depan. Deondra berbalik, mengikuti langkahnya yang mulai sampai di pintu depan. Arinda yang tak menyadari langkahnya di ikuti Deondra terlihat tenang, dia menyeka keringat di dahinya dan memegang perutnya yang sedikit sakit. "Mau kemana?" Deondra bertanya, menghadang langkahnya ketika baru keluar dari pintu. Arinda yang tengah meremas perutnya menengadah, di hadapannya Deondra sudah
Read more
Bab 62. Menghilang
Hari semakin gelap, hujan juga semakin deras. Deondra menatap kearah depannya setelah lama berkhayal. Dia penasaran, kenapa gadis itu begitu lama? Apakah ada sesuatu yang terjadi padanya?Memutuskan keluar dari mobil, Deondra menatap kearah dalam sambil menutup pintunya. Melangkah masuk, beberapa pengunjung apotek langsung mengenalinya dan memberikan anggukan hormat. Deondra tak mempedulikan mereka, dia melangkah menuju pegawai apotek yang tengah menuliskan sesuatu. "Apakah ada seorang wanita kemari tadi?" Suaranya bertanya dingin, tak ada sopan santunnya meskipun wanita itu lebih tua. "Ya, beberapa menit lalu, Tuan Jefferson. Dia membeli obat penambah darah," balasnya sopan. Deondra menatap sekitarnya, berpikir mana tahu Arinda duduk di salah satu kursi untuk minum obat. Tapi nyatanya, gadis berambut cokelat itu tak dia temukan di setiap sudut. "Dimana dia sekarang? Kau melihat jalan perginya?" "Kesana, mungkin
Read more
Bab 63. Seakan Di Telan Bumi
Tangannya bergetar tak percaya hingga menjatuhkan alat testpack yang di pegangnya. Bahkan tubuhnya bergetar dengan menggigit jari-jari tangannya dan menatap kosong kearah depan. "Po-positif? Bagaimana bisa apa ini terjadi sama seperti yang di katakan pegawai apotek tadi? Aku, hamil?" Arinda menggeleng kuat, bahkan tubuhnya melorot jatuh. Memeluk lututnya, gadis bersurai cokelat itu menangis. Seluruh tubuhnya bergetar dengan sesenggukan yang semakin kuat. "Bagaimana ...? Bagaimana ini bisa terjadi? Kejadian itu sudah lama sekali, kenapa aku harus hamil?!" Meraung tertahan, dia tak bisa berpikir lagi. Hanya tangisan kehancuran yang keluar dari mulutnya, isak dan air mata mengiringinya sepanjang malam ini. "Bagaimana bisa ...? Bagaimana bisa ...? Kenapa kau melakukan ini padaku Deondra! Kenapa?" Tangisnya semakin menjadi, dia hancur, tak lagi punya masa depan. "Bagaimana aku akan menghadapi hari-hariku kedepannya? Ayah, Reta, Om Jack
Read more
Bab 64. Bertemu Sudash
Arinda terbangun saat merasakan tetes-tetes air menyentuh kakinya. Seperti orang linglung, dia mengerjabkan matanya berulang, memastikan ruangan tempatnya terjaga. "Kamar mandi?" gumamnya, lalu menatap kearah samping. Disana ada testpack yang tergeletak, membuat tangannya terulur dan menggapainya. Gadis itu menutup mulutnya menahan tangis. Testpack itu benar-benar nyata. Dia tidak bermimpi, dia benar-benar hamil. "Kenapa? Seharusnya ini mimpi saja. Aku tidak seharusnya mengalami hal seperti ini," ucapnya lirih. Mual kembali menerpanya, membuatnya bangkit dan memuntahkan semua yang ingin keluar dari perutnya. Tidak ada apapun, hanya air bening yang keluar dan menyebabkan lehernya sakit. Menangis lagi, dia membasuh wajahnya dengan air mata yang tetap mengalir. Bersanggakan wastafel, dia menahan tubuhnya agar tidak jatuh. "Aku akan memastikannya ke dokter. Aku akan pergi." Melangkah
Read more
Bab 65. Anggota Keamanan
Arinda belum menjawab. Hanya tangis dan kehancuran yang di tampilkannya dari sorot mata sebagai jawaban. Sudash mengepalkan tangannya erat. Dia tak tega melihatnya menangis! Hal ini mengingatkannya pada sang Adik yang sudah lama tak di temuinya. Saat sang adik menangis dan mengadu padanya. Dia akan mengelap ingus dan air mata yang berantakan di wajahnya. "Tuan tidak akan percaya. Tidak akan ada yang percaya dengan apa yang menimpa saya. Bahkan Tuan Muda sekalipun," ujar Arinda, sesak dan lirih. Seperti di remas sesuatu, hati Sudash seperti berdenyut. "Apa yang sudah menimpamu, Arinda? Kenapa kau begitu hancur?" batinnya, masih memperhatikan Arinda yang menangis terisak. Setengah jam diam dengan mendengar suara tangisan Arinda. Sudash membiarkannya mengeluarkan sesak yang mungkin menyiksa dadanya. Menurut yang dia pelajari, jangan halangi wanita yang menumpahkan kesedihan dengan tangis. Walaupun tulang rusuk mereka lebih banyak dari
Read more
Bab 66. Bangun
Arinda menggeliat nyaman di atas ranjang, memiringkan tubuhnya, dia menatap jam di atas nakas. "Jam sepuluh," gumamnya sambil menguap. "Lama juga aku tidur." Beringsut bangkit, Arinda menatap kamar mewah yang di tempatinya. Dia ingat, menjelang subuh tadi dia bertemu dengan Sudash, hingga akhirnya sampai dan tidur di sini. Suara perutnya terdengar penanda lapar dan itu membuatnya teringat sesuatu. "Aku benar-benar hamil?" ujarnya pelan, menatap perutnya yang masih langsing. Mengusap wajahnya, dia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Seorang pelayan mengandung anak majikannya? Apakah tidak ada fitnah yang lebih nyata daripada ini? Bagaimana dia akan hidup kedepannya dengan cabang bayi di dalam perutnya? Apakah Deondra juga percaya jika dia mengatakannya? Tetes demi tetes air mata mengalir membasahi wajahnya. Sakit, itu yang dia rasakan kembali. Luka lamanya saja belum sembuh, sekarang begitu banyak luka yang bert
Read more
Bab 67. Kompensasi
"Tuan ...," ujarnya tersimpuh jatuh, di hadapannya Deondra tengah duduk di kursi kebesaran. Sorot mata tajam menatapnya, membuat Arinda menundukkan kepalanya menahan takut. Tiga pasukan yang membawanya menekan bahunya agar bersimpuh. Lalu beranjak keluar meninggalkannya. Pasukan senior yang diutus untuk menangkapnya, pasukan yang langsung menyeretnya hingga terlempar di depan Sang Tuan Muda seperti saat ini. Dia terbukti melarikan diri, dengan alasan bahwa dia mengunjungi ayahnya. Pasukan keamanan yang berjaga di lantai tempat ayahnya di rawat seakan tak mampu untuk mengatakan yang sebenarnya. Dia kasihan dan juga menyesal telah melaporkannya. Alhasil, gadis muda itu di bawa paksa bahkan sebelum tahu kondisi ayahnya yang baru bangun sejak lima bulan koma. "Puas kau lari dariku?" tanyanya dingin, menatap kepala Arinda yang tengah menunduk. Sejujurnya saat ini dia masih hangover, hanya saja dia bisa menguasai tubuhnya da
Read more
Bab 68. Jangan Menangis Sendiri Lagi
Arinda sampai di halaman setelah berjalan melewati para pegawai di dalam gedung ini. Berselisih dengan seorang wanita berjas dan rok selutut, wajahnya datar menatap Arinda dari atas sampai bawah. "Apa?" Arinda bertanya tak senang, saat wanita itu seakan sengaja menghalangi langkahnya. Tatapan mereka beradu, sebelum akhirnya wanita yang terlihat mapan itu tersenyum. Dia mengulurkan tangan dengan wajah yang berubah menjadi ramah. "Selamat, Nona. Anda berhasil memasuki ruangan tertinggi di gedung ini. Anda adalah wanita kedua yang pernah memasukinya setelah Nona Anne," ucapnya sopan, penuh penghargaan. Arinda menyipit, menatapnya malas. Dia melepaskan tautan tangannya yang di jabat wanita itu sambil menghembuskan napas kasar. "Aku tak pernah berniat memasukinya, mereka yang memaksaku!" ujarnya, menunjukkan beberapa pasukan yang masih berkeliaran di sekitar halaman. "Walaupun begitu, selamat. Saya akan mengant
Read more
Bab 69. Memutar Balikkan Fakta
Lama keduanya berdiam diri dalam keadaan berpelukan. Arinda menahan kantuk yang menyerangnya dengan mengerjabkan mata. Dia mendongak, menatap ayahnya yang seperti sedang tertidur. "Tidurlah, Ayah .... Arin janji akan datang lagi, kita akan kemoterapi dan membuat ayah bisa berjalan," gumamnya sambil mengusap pipi ayahnya yang terdapat luka bakar di sana. Luka itu sudah mengering, ayahnya mendapat perawatan dengan baik dari pihak rumah sakit ini. Karena mereka seakan menghargai perjuangannya yang rela melepaskan diri dari kuliah hanya untuk menjadi pelayan. Banyak suster yang membicarakannya, mereka kagum dengan perjuangan Arinda yang jika di lakukan bukanlah suatu yang mudah. Arinda bergerak, bangkit melepaskan pelukannya. Mata ayahnya juga terbuka saat menyadari itu, dia menatap anaknya yang sedang memakai tas. "Kamu mau kemana?" Arinda menoleh, tak menyangka bahwa ayahnya bangun. Menatap mata ayahnya, dia menunduk dan
Read more
Bab 70. Maaf Yang Tak Terucap
Merebahkan tubuhnya di atas ranjang, Arinda menatap langit-langit yang masih sama seperti beberapa bulan terakhir. Dia menghela napas, seraya mengarahkan tangannya keatas perut dan mengusapnya pelan.  "Apakah kamu memang ada?" Pertanyaan ragu kembali dia lontarkan kesekian kalinya. Sekali lagi wanita itu menghela napasnya berat, seakan menanggung beban yang tak tertahankan.  "Jika memang ada, Bunda mohon jangan tunjukkan apapun tentang keberadaanmu pada orang-orang di rumah ini. Ayahmu, Bunda membencinya, Nak .... Dia bukan pria yang bertanggung jawab, buktinya sampai sekarang dia tak pernah meminta maaf," ucapnya dengan air mata yang mulai berurai.  "Bunda akan membuatmu hadir ke dunia ini. Mungkin kamu lahir karena kesalahan, mungkin kamu hadir karena kelemahan Bunda. Hanya saja Bunda janji, kelemahan dan kesalahan itu takkan pernah kamu alami." "Bunda dan Kakekmu akan melakukan apapun padamu nanti. Kita akan hidup sederhana saja, di
Read more
PREV
1
...
56789
...
11
DMCA.com Protection Status