All Chapters of Terpaksa Jadi Pacar: Chapter 81 - Chapter 90
146 Chapters
Misi
"Sejak kapan, Ren?" Sejak Rendi turun dari mobil hingga senja hampir datang, kedua kawannya tak pernah berhenti menanyakan hal-hal mengenai Lara. Belum lagi tentang kedekatan keduanya di kantin saat jam makan siang datang. "Apaan, sih, Dim? Nggak bosen apa nanyain itu mulu? Gue yang ngedengerin aja, nih, cuma modal kuping nggak pake gerak itu capek pake banget. Kok elu yang itu mulut kagak berenti tanya. Apa nggak capek?" Kali ini Rendi mulai kesal. Jika sebelumnya ia mencoba untuk lebih sabar, sekarang sudah tiba saatnya untuk bertindak. "Ren, bukan masalah capek enggaknya. Ini masalah jiwa dan raga!" Saka bermonolog. Ia mengepal dan mengangkat tangannya hingga setinggi kepala. "Kalo kita nggak bisa dapetin Lara, paling nggak kita bisa ngedeketin kawan se-ganknya, Ren! Dia empat serangkai. Itu artinya masih ada tiga cewek cantik dan tajir kek Lara! Masing-masing satu buat kita!"
Read more
Segenk
"Ra, aku Dimas. Ini Saka. Kita temennya Rendi, loh. Temen sejak kecil." Lara tak tertarik untuk sekadar berbasa-basi. Ia punya prioritas sendiri jika bukan karena masalah hati. Ia sudah masuk ke mobil saat Dimas dan Saka hendak membuka percakapan lagi.  "Yaelah, Ra. Sombong bener. Elu tau nggak, Rendi itu kacung kita. Kalo elu kakak iparnya Rendi, itu berarti elu juga bagian dari kacung kita!" Mendengar celetukan Saka, Dimas pun menyikut lengan sang kawan. Diliriknya pula Rendi yang menatap nyalang. "Ngomong apaan elu, Sak!" Lara yang juga menangkap pengakuan Saka pun akhirnya membuka jendela mobil hingga tak bersisa. Ia sedikit mengangkat badan, lalu mencondongkan diri dan memanggil Saka mendekat. "Itu artinya kita emang beda kelas. Gue kacung kaya raya, sedangkan elu majikan tanpa harta. Jelas?" Sontak saja, Rendi langsung masuk ke belakang kemudi sembari menahan tawa. Cep
Read more
Rencana Tarissa
"Elu dari mana, Ri?" Pertanyaan Lara yang baru turun dari lantai dua membuat Ari terkesiap. Bak pencuri ayam yang ketahuan belangnya. "Cari kerja. Aku juga masih butuh makan, Ra." Lara kian meniti anak tangga sembari melipat tangan di dada. Ia mengernyit heran saat mendengar pernyataan Ari barusan. "Elu yakin? Bukannya kartu kredit masih ada di elu?" Ari mengunci bahasa. Diliriknya tangga dan sela yang menuju ke lantai dua. Ia takut, sosok Rendi mencoba menguping pembicaraan mereka. Ia masih diam sampai pintu kamar terbuka. Dibawanya masuk gadis yang beberapa hari ini membuatnya sedikit gila. Di dalam, ia langsung mengeluarkan kartu kredit yang tertera Lara. Kartu kredit berwarna hitam tanpa batas transaksi yang diimpikan banyak kalangan. "Tak kembaliin. Semua sudah kamu turutin. Modal usaha, sama njamin masa depan Rendi itu udah cukup buatku." 
Read more
Asix ke Eiffor
Ari mengernyit, memandang Rendi dengan tajam. Dilipatnya tangan di dada sembari menimbang-nimbang. "Bener cuma itu alasan koe tanya temen-temennya Lara?" Pertanyaan yang sama sudah dilemar Ari entah untuk yang ke berapa kalinya. Rendi yang sudah menjawab jujur pun enggan menguntai penjabaran. "Kalo elu kagak percaya, mending nggak usah tanya!" Rendi kembali merebahkan badan, lantas memeluk bantal guling sembari tak luput tatapannya pada sang kakak. Ari yang bergeming pun membalas pandangan Rendi. Keduanya saling bersitatap, meneguhkan opini masing-masing. "Udahlah, Ri! Elu gila, apa? Gue nggak kenal sama mereka. Dimas dan Saka yang tau tentang Eiffor ato apalah itu. Gue nggak peduli. Lagian, gue cuma mau bantuin mereka biar seneng. Itu doang." Kali ini Ari mencebik, lantas mulai melunak dengan mendudukkan diri pada beanbag berukuran besar. "Aku ora gendeng. A
Read more
Diam-diam Mengikuti
Ari sudah berada di rumah Lara sebelum jam menunjuk ke angka delapan pagi. Tepat seperti instruksi majikannya semalam. Demi mendapat uang dengan cara aman, Ari mau tak mau harus bekerja sebagai asisten rumah tangga yang merangkap banyak jabatan. Begitu menurut penjelasan singkat Lara setelah ia sampai. "Aku baru sadar, kalo koe emang mesti sendirian," seloroh Ari tanpa mau menahan jengah. "Gue emang selalu sendiri sejak mama pergi." Ari terdiam. Ia baru tahu bahwa gadis yang mulai bertahta dalam hatinya ini begitu kesepian. "Sejak umur?" "Delapan," jawab Lara singkat. "Udah, yuk, kita beli seragam kerja elu!" Ari mengernyit heran, lantas mengekori tuannya masuk mobil. "Aku yang nyetir, Ra." Mendengar tawaran Ari, Lara merasa begitu heran. "Ri, jan lupa, elu asisten gue di jam kerja!" Sontak Ari menggaruk kepalanya yan
Read more
Asix Diperam Kelesah
Pada sebuah klinik perawatan, kini Ari dan Lara menghentikan langkah. Lara sudah mendaftarkan dua nama yang akan melakukan tindakan. "Elu butuh vitamin biar seger. Jadi, kita ke sini dulu. Gue juga butuh soalnya." Pernyataan yang membuat Ari makin geleng-geleng kepala. "Aku ini cowok, Ra, mana pantes ikut masuk kek ginian?" Lara melipat tangannya di dada, lantas mulai memasang wajah garang. Matanya meredup, tapi memancarkan aura bak ratu yang ingin dimenangkan. Tatapannya berubah tajam, belum lagi gestur tubuhnya seolah-olah berkata bahwa perintahnya tak dapat ditolak. Sontak saja, Ari yang memang merasa inilah kewajiban sebagai ART yang harus menuruti permintaan majikan, lekas menganggut setuju. "Oke, Nona." Lara menyungging senyum, lantas ikut duduk menunggu giliran. Dikeluarkannya ponsel dari handbag dengan shoulder strap bak kulit ular. Pesan berantai dari Derissca dan Lalita
Read more
Setelan ART
Lara ternganga. Ditatapnya pria yang telah dinanti selama lima menit terakhir. Pria yang sebelumnya orang yang paling dibenci, kini menjelma menjadi sosok yang dengan lancangnya merajai hati. Ia bersiul, lalu memainkan jemarinya yang saling bertumpu. "Well. Emang dari dulu kalo ada uang pasti abang sayang." Yang dipuji hanya bergeming. Sembari sedikit berpose ia juga memamerkan wajah dan tubuh atletisnya pada Lara. "Gini-gini, banyak yang suka sama aku, Ra." Lara mencebik, tetapi juga tak menolak pernyataan Ari. Ia mengitari asisten rumah tangganya yang baru. Sembari menganggut ia menelisik tiap sudut yang mungkin bisa menjadi cela. Sayangnya, hingga Ari jengah, Lara tak menemukan apa-apa. "Oke. Kita balik!" Ari yang sudah lelah menemani Lara seharian di pusat perbelanjaan pun hanya bisa menurut dan mengekor. Ia bahkan tak bisa percaya, sosok sombong nan arog
Read more
Tamu Tak Diundang
Lara memaku pandang pada sosok yang tengah memaki dari kejauhan. Ia masih berusaha untuk tak tersulut emosi demi tak terciptanya perang. Sembari menyendoki makan, ia terus menatap awas. "Mau gabung?" tanya Ari. Demi mendengar tawaran Ari pada Tarissa, sontak saja Lara menendang kaki pegawai barunya. Sementara Ari, ia merasa tak sedang diberi banyak pilihan hingga harus menawarkan bangku untuk diduduki Tarissa. "Elu nggak punya malu, ya, Ri?" Pertanyaan Tarissa terdengar hingga ke seluruh ruang restoran. Kompak, para pengunjung pun memerhatikan ketiganya. Ari yang sadar akan tatapan banyak orang pun langsung menarik kursi, meminta Tarissa untuk duduk bersama. Sementara Lara, ia enggan bersuara. Melihat situasi yang tak diinginkan, bagus baginya untuk menguasai keadaan. "Minum dulu, Tar. Kita bisa, kok, ngomong baik-baik." Ari menyodorkan air jeruk dingin miliknya. 
Read more
Arogan
Melihat bidikan kamera yang dikirim Lara pada ruang obrolan grup Asix, sontak saja Derisca dan Lalita terperangah. Keduanya bahkan tak mampu mempercayai kemampuan penglihatannya. "Kalian makan bertiga? Makan nasi Padang?" ketik Derisca cepat. Tak perlu dinanti, balasan Lalita tak kalah mengejutkan. "Gue mesti mandi kembang tujuh rupa." Melihat dua kawan yang memberi respons selain terkait Tarissa pun Lara mencebik. Diletakkannya ponsel dalam hand bag.  Meski setengah porsi nasinya dilahap Ari, Lara rupanya masih terlalu dini untuk menyimpulkan ia kebanyakan mendapat kudapan. Terlebih, emosinya yang meningkat pun mempengaruhi selera makan yang terbilang cukup mengejutkan. Tarissa hanya menyeringai. Ia sama sekali tak menyentuh apa pun selain air jeruk dingin yang disodorkan Ari. Matanya masih terus menelisik tiap sudut lekukan si pria di seberangnya. Seme
Read more
Berubah
Lalita sudah menunggu di rumah Lara, sejak  dua jam yang lalu. Ditemani Derisca, duo Asix itu mulai melempar tanya tanpa tahu hendak menuntut jawab pada siapa. "Gue nggak yakin dia beneran makan itu makanan. Menurut elu?" tanya Lalita membuka percakapan. Sejam lebih keduanya menunggu di rumah Lara. Kunci cadangan yang memang khusus dipegang Lalita membuat keduanya bisa leluasa masuk tanpa harus menunggu sang empunya datang. "Gue juga. Mungkin itu piring si Ari sama Tarissa. Tapi, ngeliat Tarissa yang nggak nyelipin rambut ke belakang telinga, keknya dia nggak makan. Bener nggak, sih?" "Jadi, menurut elu, Lara bener-bener makan itu makanan penuh lemak?" Lalita menggeleng pelan. Ia bahkan enggan memercayai hal ini. Deru mobil terdengar memasuki halaman depan rumah Lara hingga dua sejoli tadi langsung beranjak. "Kalian ke mana, aja? Kita nungguin lumayan lama." Lara mengernyit,
Read more
PREV
1
...
7891011
...
15
DMCA.com Protection Status