All Chapters of Istri Lima Belas Ribu: Chapter 101 - Chapter 110
608 Chapters
Bagian 103
Listin, nama gadis yang akhirnya menjadi pendamping hidup keduaku. Pernikahan kami tanpa cinta. Karena sejujurnya aku hanya mencari sosok yang bisa menerimaku apa adanya.Ada hal yang menyakitkan di awal pernikahan kami. Ternyata, perempuan itu—usianya kala itu terpaut sepuluh tahun denganku—sudah tidak perawan. Di malam pertama, dirinya menangis, memohon agar aku tidak menceraikannya.“Mas, kita sama-sama memiliki kekurangan, tidak ada manusia yang sempurna. Bimbinglah aku agar menjadi wanita salehah.”Ucapan tulusnya, mampu membius hati ini. Seketika, rasa marah itu luluh.Tiga tahun menjalani biduk rumah tangga, dia selalu bersikap lemah lembut terhadapku. Hingga suatu hari, saat mengambil yang tak sengaja tertinggal di rumah, kudapati Listin tengah bercumbu dengan seorang pemuda yang seusia dengannya. Pada saat bersamaan, aku juga mengetahui kalau dirinya hamil.“Aku diperk*sa, Mas.” Ia berusaha membela diri.
Read more
Bagian 104
Kuparkirkan mobil dan segera menuju posisi di mana Agam dan anak buahku berada. Berjalan cepat melewati lorong rumah sakit yang sepi pengunjung. Rumah sakit ini milik swasta, sehingga malam hari pun poliklinik buka praktik.Dari kejauhan, kulihat mereka sedang mengobrol. Aku mempercepat langkah sembari berusaha mengendalikan emosi. Aku sangat berharap bisa bertemu dengan Dinta.Melihat kedatanganku, Agam segera mengulurkan tangan untuk mengajak bersalaman. Demi mencari tahu keberadaan Dinta, kusambut uluran tangan dari mantan suami Nia itu. Padahal, bila menuruti kata hati, ingin sekali menarik kerah bajunya dan mendaratkan pukulan di wajah Agam.Kulirik papan pada pintu ruangan poli rumah sakit. Di sana ada tulisan nefrologi, poliklinik tempat pemeriksaan pasien dengan masalah ginjal.“Apa kabar, Pak Agam? Lama tidak bertemu,” tanyaku berusaha ramah.“Alhamdulillah, baik, Pak Irsya. Pak Irsya sedang ada acara apa di sini?”
Read more
Bagian 105
“Nia! Kamu keterlaluan! Dinta ini anaknya Agam. Kami hanya meminta ginjalnya, kamu malah mempersulit seperti ini. Kamu mau saya laporkan sama polisi, hah?” Kakak Agam berteriak memaki Nia, tepat di hadapanku.Dari ucapannya, aku bisa mengetahui kalau perempuan ini memiliki pendidikan yang minim. Makanya, dia berbicara asal. Karena faktor intelegensi yang sangat rendah, membuatnya berbicara tanpa memikirkan akal dan kebenaran. Orang dengan tipe seperti di tidak bisa dihadapi dengan adu mulut. Jelas, hanya akan membuat hati semakin panas.“Inilah sebabnya, kamu tidak bisa diterima baik oleh keluarga kami dari dulu. Kamu jelas jauh berbeda dari Rani. Dasar perempuan egois!” lanjutnya lagi sambil menatap sinis Nia.“Mau sampai kapan kamu bertindak seenaknya, Nia? Udah Agam pergi tanpa membawa harta sedikit pun, sekarang kamu melarang yang Dinta untuk jadi pendonor Aira. Di mana hati nurani kamu, Nia?” Ibu Agam ikut menyalahkan Nia
Read more
Bagian 106
Aku meminta Doni untuk membawa pulang Dinta lebih dulu. Sekarang, aku hanya bersama Nia di dalam mobil. Aku masih terdiam, memberikan ruang untuknya meluapkan segala emosi dalam dada. Hanya isak serta sedu sedan yang kudengar sepanjang kami bersama. Kini, mobil sudah di jalan raya, keluar dari kawasan rumah sakit.Di jalan yang agak lengang, kutepikan kendaraan.“Menangislah yang kencang, Nia. Jangan ditahan. Ungkapkan semua rasa kesal dan emosi kamu. Jadikan malam ini sebagai malam terakhir kamu menangis karena mereka. Karena setelah ini, aku janji, tidak akan ada satu pun orang yang bisa menyakitimu.”Hanya kalimat ini yang bisa kuungkapkan untuk mengurangi kesedihan serta beban wanita di sampingku. Tenggorokan ini tercekat. Meski pernah disakiti dua kali dalam pernikahan, tetapi yang dialami Nia ini jauh lebih berat dari yang pernah menimpaku.Sekitar seperempat jam, kami bersama dalam bisu. Nia masih menangis. Kali ini, dengan suara yang a
Read more
Bagian 107
Pagi harinya, aku langsung pamit pulang. Sudah dua hari tidak ke sekolah, jadi aku harus berangkat. Siang nanti, aku akan ke toko perhiasan untuk membelikan mas kawin yang paling indah untuk Nia. Meski baru pernikahan di bawah tangan, tetapi aku harus memberikan sesuatu yang membuat Nia merasa berharga.“Pak Irsya, wajahnya semringah sekali hari ini. Dua hari tidak berangkat, ke mana aja, Pak?” Bu Parmi, guru senior di sekolahku ini rajin menggoda. Maklum, usia beliau jauh di atasku, jadi berani seperti itu.“Masa, sih, Bu? Biasa saja, ah. Saya bahagia, karena saya bertemu dengan Bu Parmi setelah dua hari tidak berangkat,” candaku pada wanita berusia di atas lima puluh tahun itu.“Bohong sekali, Pak. Ayo, ke mana, tuh? Atau jangan-jangan, sedang mempersiapkan sesuatu, ya?” godanya, lagi.Aku tersenyum malu. Memang benar, orang kalau merasa bersalah akan sulit berkilah.Sejenak, aku ingat sesuatu hal. Malam tadi,
Read more
Bagian 108
 “Mbah, ada cicak. Aira mau nyanyi.” Anak kecil di sampingku berceloteh girang saat melihat hewan merayap di tembok.“Mana, mana? Oh, itu? Iya, ada cicak.” Ibu Agam ikut menimpali.“Cicaknya ada berapa itu, Mbah? Ada banyak. Aira pengin nyanyi.”Aku berdeham, berharap tamuku tahu, kalau aku tidak suka. Kulirik Agam yang menatapku segan.“Bu, tolong Aira dibawa keluar,” pinta mantan suami Nia pada ibunya.Kakak Agam yang beranjak dan meraih tubuh keponakannya, lalu membawa pergi.“Jadi, kedatangan kalian ke sini untuk menghasut saya?” Aku bertanya untuk memastikan.“Bukan menghasut, Pak. Kami ingin menyelamatkan Pak Irsya dari Nia. Dulu saja, waktu masih hidup dengan Agam, sukanya mengekang. Perempuan tapi mengatur suami, kan, itu tidak baik, Pak. Tidak menurut sama imam, itu bukan istri baik, kan? Kami sampai kehilangan akal mengatasi sifatnya. Makanya, Agam memili
Read more
Bagian 109
Sejurus kemudian, wanita yang sebentar lagi akan kunikahi menempelkan keningnya pada kamera. Lalu, kucium layar gawai sekarang sekarang adalah keningnya. Cukup lama diriku melakukan hal bodoh itu. Hingga tawa Nia menyadarkan anganku. Ternyata, kamera sudah mengarah pada seluruh wajahnya. Setelah panggilan berakhir, aku segera bersiap-siap untuk mandi karena hari sudah sore. Malam hari selepas magrib, dengan ditemani Doni, aku berangkat ke rumah Nia. Tak lupa membawa satu set perhiasan sebagai mas kawin. Doni pemuda yang sangat sopan, dia tidak pernah berani menggodaku. Sikapnya sangat menunjukkan kalau dirinya seorang yang terpelajar. Meskipun hanya pernikahan siri, aku harus tampil dengan sempurna. Memakai baju batik berwarna coklat dengan celana hitam. Tak lupa, sebuah peci tersemat di kepala ini. Sejenak kupandangi diri di balik cermin. Tidak jauh dengan Dorry Harsa. Hanya beda usia saja. Begitu sampai di rumah Nia, suasana sudah ramai. Padahal, ak
Read more
Bagian 110
Aku hendak menjawab, tetapi ada kedua anak di bawah umur yang tidak sepatutnya mendengar obrolan kami. Aku hanya mendengkus sebal. Ibu dari kedua anak itu malah tersenyum lebar dan menggoda.“Tunggu hukumanku nanti,” ancamku sembari menyeringai.“Papa mau hukum Ibu? Ibu salah apa?” tanya Dinta cukup keras, hingga terdengar oleh neneknya.“Dinta, Danis, katanya mau beli es krim sama tante?” Sepertinya, ibu dari Nia cukup paham, apa yang sedang kuinginkan, jadi berusaha memberikan uang waktu untuk kami berdua.“Dinta, papa punya sesuatu untuk Dinta.”Aku teringat sebuah benda yang kubelikan untuknya. Bagaimanapun, yang kunikahi adalah janda yang memiliki anak. Jadi, bukan hanya tentang hubunganku dengan Nia. Aku juga harus bisa membuat mereka nyaman dengan hadirnya orang baru di tengah-tengah mereka.“Apa itu?” tanya anak perempuan itu, penuh antusias.“Ada di antara perh
Read more
Bagian 111
NIA Pria itu akhirnya sah menjadi suamiku. Meski belum tercatat di KUA, tetapi bersentuhan dengannya saat ini sudah tidak menjadi dosa bagi kami berdua.Bahagia? Aku sangat bahagia. Tiada kata-kata yang mampu menggambarkan rasa hati ini. Kini, aku memiliki seorang pria tampan yang baik dan melindungi kami bertiga. Masalah pangkat dan kedudukannya, aku tidak peduli. Bilapun dirinya memiliki kelebihan akan hal itu, kuanggap hanya faktor kebetulan semata. Lagipula, awal pertemuan kami hanya karena masalah kerjasama bisnis.Diberikan sebuah mas kawin yang sangat indah merupakan kebanggaan tersendiri bagiku yang sudah janda. Pak Irsya orang yang pandai membawa diri. Sadar, bahwa menikahiku—kata pepatah beli satu dapat tiga—dirinya mencoba untuk tidak menciptakan suasana yang membuat Dinta merasa diabaikan.Saat lelaki berstatus duda itu mengucapkan ijab kabul, aku sengaja mendengarkan dari kamar. Aku tidak ingin ada yang melihat saat
Read more
Bagian 112
 “Aku punya sesuatu yang spesial untuk kamu.” Bisiknya di telinga ini. Selain suka memanggil namaku, dirinya juga hobi berbisik di telinga.“Menjauhan dikit. Aku lagi cuci piring.”Bukannya pergi, malah semakin mengeratkan lingkaran tangannya.“Mas,” panggilku manja. Dan memintanya untuk menjauh dari tubuhku menlalui kedipan mata. “Menjauh, nanti anak-anak lihat, bagaimana?”“Baiklah, aku tunggu di kamar, ya?” Sedetik kemudian, dirinya sudah berbalik dan menjauh dari aku.“Bu, Adek mau bobok sama Kakak. Tapi, boleh main HP, ya?” pinta Danis saat aku masuk ke kamar mereka.“Kakak pakai HP Ibu, Danis pakai HP papa. Ini.” Pak Irsya muncul dengan membawa dua benda pipih dan memberikannya pada mereka.“Tutup pintunya, Bu,” pinta Danis dan aku segera menutupnya.Kini, diriku sudah berada di dalam kamar dengan ranjang baru yang besar.
Read more
PREV
1
...
910111213
...
61
DMCA.com Protection Status