Semua Bab Istri Lima Belas Ribu: Bab 111 - Bab 120
608 Bab
Bagian 113
“Doni, kamu antar Fani ke kampus, ya? Kan sekalian kamu ....” Pak Irsya menghentikan ucapannya. Dia menatap semua orang yang di sana, lalu kembali pada Doni. “Ya?”“Baik, Pak. Tapi, bagaimana dengan mobilnya?” sahut Doni.“Suruh karyawan toko antar mobilku ke sini. Nanti, aku kirim alamatnya.”Doni mengangguk.Karyawan toko? Seenak itu Pak Irsya nyuruh orang? Apa sebenarnya dia orang kaya?“Kamu jangan macam-macam, ya di mobil!” Fani mengancam Doni.“Mbak Fani duduk di belakang saja kalau takut.” Caranya memanggil Fani pun sangat sopan.“Ya sudah, cepat berangkat. Nanti kamu terlambat, Don.” Pak Irsya sepertinya mengusir mereka agar cepat pergi.“Bilang aja pengin cepat berduaan. Ayo, kita pergi,” sungut Fani kesal. “Nanti kamu bantuin aku angkat barangnya, ya!” Suara Fani masih terdengar saat mereka berdua sudah di dalam
Baca selengkapnya
Bagian 114
Wajah Mas Agam memerah mendengar ucapanku. Biarlah aku ungkit kesalahannya. Supaya dia sadar bahwa pertanyaannya tadi sangat tidak masuk akal.“Dan tentang perasaanku pada Pak Irsya, aku sangat mencintainya. Lebih dari cintaku sama kamu, dulu. Aku tidak pernah tahu seberapa banyak hartanya, tapi beliau selalu membahagiakan kami dengan membelikan barang-barang mahal. Sesuatu yang belum pernah kamu beri untuk kami.”Muka Mas Agam semakin merah. “Aku membelikan sesuatu untuk Dinta, Nia. Sebagai wujud permintaan maafku padanya. Di mana dia sekarang?”“Saya tidak akan membiarkan Dinta bertemu dengan orang yang bisa mencelakainya, Pak Agam. Maaf, mulai sekarang, mereka bertiga adalah tanggung jawab saya. Jadi, jangan harap, siapa pun bisa mencelakai Dinta.” Pak Irsya muncul dan kembali ikut bergabung duduk bersama kami.“Aku ayah kandungnya.”“Anda lupa, apa yang Anda perbuat kemarin?”&l
Baca selengkapnya
Bagian 115
AgamSebenarnya, dokter sudah mengatakan syarat untuk menjadi pendonor ginjal. Akan tetapi, keluargaku tetap memaksa ingin mencocokkan ginjal Dinta dan Aira. Jujur saja, ada rasa tidak rela ketika darah dagingku yang dikorbankan.Namun, yang meminta adalah kedua orang tuaku. Rida mereka diatas segalanya. Jadi, aku yakin, hal ini pasti akan membawa sebuah kebaikan dalam hidup kami. Karena apa yang diputuskan bapak adalah petuah tertinggi yang harus aku patuhi dan jalani. Toh, memiliki ginjal satu atau dua bagi Dinta, tidak ada bedanya. Justru dengan hal ini, mereka berdua akan menjalin sebuah hubungan yang dekat sampai dewasa.“Pokoknya, diperiksa saja dulu, Gam. Nanti, kalau sudah cocok, kita akan paksa dokter untuk mengoperasi. Itu hal yang gampang,” ucap ibu yang didukung Mbak Eka.“Tapi ada undang-undang dan aturan yang mengatur, Bu. Dan dokter tidak bisa melanggarnya. Kalau sampai terjadi mereka menyalahi aturan, kan, mereka juga ter
Baca selengkapnya
Bagian 116
Aku tidak menanggapi ucapan beliau. Lebih memilih pergi untuj mencari Rani. Dia ada di dapur, sedang mengupas bawang untuk memasak ayam. Kini, dia berjualan mie ayam di depan rumah.“Ran, denger-denger, kamu habis dapat warisan, ya?” tanyaku, penuh hati-hati.“Iya, Mas. Kenapa?”“Boleh pinjam lima ratus ribu?” tanyaku, ragu.Selama ini, aku tidak pernah merepotkannya. Kupikir, sekaranglah saatnya dia membalas segala sikap baikku selama ini. Lagipula, aku hanya meminjam.“Maaf, Mas, aku tidak berani. Kan, itu uang pemberian orang tuaku.”Tak kusangka, penolakan yang kudapat. “Ya sudah, tiga ratus ribu saja. Mas cuma punya uang seratus ribu, Ran. Kan, kamubisa ambil dari hasil dagang mie ayam.”Aku duduk di meja makan, menunggu dia memberiku hutang. Namun, dia tak kunjung menyahut. Bahkan, sudah sepuluh menit aku menunggu, tak kunjung ada jawaban.“Ran, gimana?&rdq
Baca selengkapnya
Bagian 118
Danis berani meminta banyak hal pada Pak Irsya. Padahal, saat aku masih di sini, anak itu tidak pernah menuntut apa pun. Apa karena aku selalu mengekang Nia untuk tidak membeli segala sesuatu yang tidak menjadi kebutuhan pokok? Diriku tertampar oleh perilaku di masa lalu.Ingin rasanya menarik paksa lengan Pak Irsya dan menyuruhnya keluar. Lalu mengatakan bahwa mereka adalah milikku.Akan kurajut kembali maghligai rumah tangga yang telah hancur menjadi sebuah istana yang indah. Namun, tentu Nia tidak akan mau. Binar matanya begitu bahagia saat berdampingan dengan Pak Irsya tadi. Wajahnya memancarkan aura yang berseri-seri. Beda dengan dulu, saat masih menjadi istriku.Hati ini kembali tertampar saat mendengar Danis memprotes Pak Irsya membelikan kalung pada Dinta. Spontan saja tangan ini merogoh saku celana dan mengambil sebuah benda yang kupersiapkan sebagai bentuk permintaan maafku pada Dinta.Aku memang payah. Kupandangi benda murahan di telapak tangan
Baca selengkapnya
Bagian 118
“Papa, ayo. Katanya mau ke mal.” Danis berteriak sambil berlari melewati tubuh ini tanpa menyapa.“Mas, pulanglah! Dan jangan pernah kembali ke sini.” Nia mengusirku. “Aku yakin, keluargamu sangat menantikanmu di rumah. Jangan sampai, kebersamaanmu dengan mereka, terganggu oleh urusan kami. Pergilah. Kehadiranmu sangat tidak diharapkan oleh Dinta dan Danis.”Kulihat Dinta sudah memegang lengan Pak Irsya dengan erat. “Papa, aku takut.”“Selama ada papa, tidak akan ada siapa pun yang menyakiti Kakak. Sekarang, kita siap-siap pergi, ya? Nanti beli mainannya pas adek gak lihat.”Ucapan Pak Irsya pada putriku terdengar sangat akrab. Orang yang tidak mengenal, tidak akan tahu bila mereka bukan ayah dan anak kandung.Sepertinya, aku memang harus tahu diri. Bahkan, Pak Irsya ikut melewatiku, tanpa menyapa. Hanya Nia yang masih mau berbicara terhadapku.“Aku pamit, Nia. tolong berikan
Baca selengkapnya
Bagian 119
 “Mas, berhenti bersikap konyol. Aku harap, kamu tidak menjatuhkan harga dirimu lagi dengan tetap berada di sini, atau datang lagi kemari esok dan seterusnya. Lagipula, aku tidak ingin ada yang mencarimu ke sini. Kamu dengar ya, Mas, aku tidak mau lagi berhubungan denganmu ataupun kaluargamu.”Meski kata-katanya sungguh menyakitkan, setidaknya hanya Nia yang masih mau menyapaku. Karena pada dasarnya, dia memang wanita yang baik.“Nia, tolong izinkan aku memeluk Dinta. Sekali ini saja. Bila memang pintu rumah kamu sudah tertutup untukku. Setidaknya, kedatanganku kali ini tidak sia-sia.”Nia terlihat menghela napas panjang. “Mas, Dinta punya perasaan. Dia sendiriyang tidak mau bertemu denganmu. Sudahlah, Mas, nikmatilah hasil dari apa yang kamu perbuat dulu. Saat kamu seolah tidak peduli pada mereka, anak-anakku berusaha menerima, kan? Kami lewati masa-masa sulit tanpa merengek apa pun padamu. Masa kamu yang sudah dewasa, malah b
Baca selengkapnya
Bagian 120
“Rani, aku mau meminta uang yang dulu kupinjam ke BRI untuk kamu buka usaha. Sekarang, aku sedang butuh modal buat beli mesin jahit.” Tepat satu minggu setelah aku belajar dan mulai bisa menjahit, kuutarakan keinginanku pada istri Iyan.“Lho? Kan, aku yang sekarang membayar setorannya, Mas.” Rani menjawab sambil mengupas bawang.“Kan, baru kemarin kamu nyicil. Dulu, aku pinjamkan sepuluh juta, dan sudah kusetori jumlahnya empat jutanan lebih. Aku minta empat juta saja.”“Itu, Mas Agam tanya sama Mas Iyan aja. Aku tidak tahu urusan hal itu,” jawabnya, tanpa mau menatap wajahku.“Kan, kamu baru dapat warisan. Bisa, lah, diambil segitu buat aku. Gak apa-apa, kan?” tanyaku jengkel.“Kenapa Mas Agam ungkit-ungkit terus warisan aku, sih? Itu hak aku, Mas. Mas Agam gak ada urusannya sama hal itu.” Rani seakan terusik dengan permintaanku.“Aku tahu, itu milik kamu. Tapi, a
Baca selengkapnya
Bagian 121
“Jangan berkata seperti itu, Gam. Ini adalah ujian dari Allah untuk meningkatkan keimanan kita. Jangan pernah menyesali apa pun. Dalam agama kita, tidak ada karma.”“Terserah Bapak mau berpikir apa tentang semua ini. Yang pasti, aku tidak akan melakukan hal bodoh itu lagi. Kalau Bapak memaksa, silakan Bapak ambil tindakan sendiri. Tapi, kupastikan, aku akan pergi dari sini selamanya dan tidak akan lagi menghubungi Bapak. Satu lagi, Bapak harus siap-siap berurusan dengan Pak Irsya,” ancamku, serius.“Terus siapa lagi yang bisa menolong Aira, Gam?”“Bapak saja kalau begitu,” jawabku ketus. Setelahnya, aku kembali melanjutkan kegiatan menjahitku.Tak berselang lama, muncul Mbak Eka dari kamar. Dia duduk di bawah kursiku dengan wajah cemas.“Gam, coba telepon masmu. Beberapa hari ini, tidak.bisa dihubungi. Mbak udah coba hubungi temannya, katanya, dia tidak kembali ke tempat kerja. Mbak khawatir dia
Baca selengkapnya
Bagian 122
 “Aku harus bagaimana lagi, Bu? Sudahlah, ini jalan yang terbaik. Di antara Iyan atau Rani yang akan memberikan ginjal pada Aira. Itu pun kalau ibu masih menginginkan cucu ibu sembuh.” Kataku sewot, sembari berdiri dan melangkah masuk ke kamar.“Coba sekali lagi kamu ke rumah Nia untuk—”“Untuk bunuh diri, Bu? Biar aku dibunuh sama suami Nia? Kalau begitu, coba saja Ibu yang ke sana. Aku capek jadi boneka. Giliran aku pusing gak punya uang, semua kupikirkan sendiri.” Tidak ingin debat berlama-lama, kututup pintu kamar dengan suara keras. Biar ibu paham.Kubaringkan tubuh lelah di atas kasur. Entah mengapa, semenjak kutahu Nia menikah dengan Pak Irsya, hati begitu kosong. Terlebih, saat sendiri seperti seperti sekarang. Bayangan perilaku di masa lalu terekam jelas dalam otak.Kumiringkan tubuh, menatap sisi kosong di sampingku. Dulu, aku pernah mengisi malam penuh gairah dengan ibu dari Dinta dan Danis. Kini,
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1011121314
...
61
DMCA.com Protection Status