Semua Bab Menikah Dengan Abang (Abang Angkat): Bab 61 - Bab 70
188 Bab
Saran
PoV Dira   Aku terpaku, bibir terasa kelu mendengar suara Ayu. Tidak menduga kalau Ayu ada di rumah Eva. Aduh, bagaimana ini?  “Mas, mau cari siapa?” tanya Ayu lagi. Aku menelan saliva. Sebelum menjawab aku berdehem. “Ini, Mbak, mau anter pesanan Ibu Maria," sahutku meninggalkan kotak yang berisi makanan. Sengaja aku mencari nama Maria, agar terkesan salah alamat. Aku sudah putuskan, tidak memberikan makanan ini sekarang.  Kening Ayu berkerut.   “Ibu Maria?” Aku yakin Ayu pasti heran.    “Siapa, Nak?” Salah satu target muncul dari balik pintu. Entah kenapa, kehadirannya membuatku salah tingkah. “Mas ini mau anter pesanan Ibu Maria. Emang di sini ada yang namanya Ibu Maria?”   “Maria? Gak ada. Di rumah ini gak ada yang namanya Maria. Mungkin Mas salah alamat.”  Pura-pura nge-cek alamat kembali.   “Oh iya, salah al
Baca selengkapnya
Tentang Mang Supri
PoV SudiraApa yang dibicarakan Mang Supri ada benarnya. Rasanya hatiku jadi lebih lega setelah mengobrol dengan tukang ojek online itu. “Makasih ya, Mang. Saya jadi sedikit lega. Saya akan pertimbangkan saran Mang Supri. Saya juga udah mantap, tidak akan membunuh siapa-siapa. Biarlah menjadi urusan istri saya dengan dua target.”Meski hidupku tidak baik, pernah menjadi simpanan tante-tante, suka morotin uang mereka, tapi untuk membunuh, selintas pun tidak pernah terpikirkan.“Mas Dira ini orang yang cerdas, pendidikan tinggi, penampilan keren, wajah tampan, pasti mudah buat ngelamar kerja di perusahaan besar.” Lagi-lagi Mang Supri memujiku dan memberi semangat.“Mang Supri bisa aja nih.” Kuhela napas, masih ada sesuatu yang mengganjal. “Ada masalah lain, Mas?” Laki-laki yang rambutnya mulai beruban seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan. Tapi untuk soal ini, tak perlulah
Baca selengkapnya
Anak Haram
PoV Silvi Setelah beberapa hari berpikir, akhirnya memutuskan pulang ke rumah. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman, justru bagiku tempat yang menakutkan. Bagaimana tidak? Jika kaki ini menginjakkan rumah yang terbilang mewah itu, segala caci maki serta omelan selalu kudapatkan tanpa tahu kesalahan apa yang telah aku perbuat. Belum lagi, tatapan Mama. Sedari dulu, tatapan Mama selalu seperti memendam kebencian. Seorang ibu yang semestinya menjadi tempatku berkeluh kesah dan bermanja, justru seolah menjadi tempat pelampiasan kemarahan.  “Neng Cipi mau Bang Ion antar?” tanya laki-laki yang kini telah menjadi tempatku berkeluh kesah. Meski perkenalan kami baru hitungan hari, entah kenapa, aku merasa seperti sudah mengenalnya sangat lama. “Gak usah, Bang.”“Tapi, Abang khawatir.” Sedikit banyak Bang Dion memang sudah mengetahui keadaan keluargaku.
Baca selengkapnya
Rencana Produksi
PoV Ayu Lima sampai sepuluh kali produksi dalam sehari? Apa tidak kebanyakan? Tidak capek?Aku bergidik ngeri membayangkannya. Astaghfirullah ... gara-gara omongan Abang, otak aku jadi ketuluran mesum.Kututupi wajah dengan kedua telapak tangan, menggelengkan kepala sambil menghentakkan kaki. “Yu, Ayu?”Membuka kedua telapak tangan, menoleh.“Kenapa?” “Gak kenapa-napa.” “Mikir mesum ya?”Astaga! Untuk kedua kalinya Abang bisa menebak pikiranku. “Ng-nggak kok! Emangnya Abang!!” Ketusku mengerucutkan bibir. Abang melirikku sambil tersenyum. “Jangan lirik-lirik, fokus ke jalan!! Nyebelin!!” Bersungut, membuang muka. “Abang gak bisa fokus kalau Ayu kayak gini.”Aku enggan menanggapi. Tetap memasang wajah k
Baca selengkapnya
Cemburu
PoV Ayu Pukul empat sore, Abang datang menjemput. Seperti biasa, dia pasti mampir dulu, ngobrol-ngobrol sama Ibu. “Minum kopinya, Bang?” Aku meletakkan secangkir kopi di hadapan Abang. Kemudian duduk di samping Ibu. “Bu, Dendy berasa lagi bertamu.” Bisik Abang pada Ibu. Ibu menoleh padaku, lantas tersenyum. “Bertamu jadi mantu.” Timpal Ibu. Lalu mereka tertawa. Ish! Ibu mulai berkelakar. “Canda, Cantiiik....” Melihatku bermuka masam, Abang angkat bicara. “Emang gitu Nak Dendy, kalau gadis mau nikah, bawaannya tuh sensitiiiiiff banget. Hati-hati lho.” Aku tetap diam. Menjadi penonton aksi dua orang yang aku kasihi. “Iya, Bu. Ayu belakangan jadi sering ngambek. Nangiiiiss ... terus.” “Ya kan Abang yang bikin Ayu nangis!!” Au
Baca selengkapnya
Istri Sudira
PoV Ayu Cemburu? Abang cemburu sama siapa? Perasaan aku tidak memuji-muji lelaki lain.“Abang cemburu sama siapa?” tanyaku heran. Laki-laki yang duduk bersebrangan denganku malah membuang muka, seolah enggan menatapku. “Dira," sahutnya singkat. “Dira? Kenapa?” “Karena Ayu kenal banget dia.” Suaranya masih tertahan tapi aku tahu, ada nada tidak suka dibalik itu. “Bang, Ayu kan temenan ama Dira udah lama. Ya, Ayu tahu dia. Kenal dia.”Abang bungkam. Napasnya memburu. Apa iya, aku terlalu mengenal Dira? Apa Iya, omongan aku bikin Abang cemburu?“Ya deh ... Ayu salah. Ayu ... minta maaf ya, Bang?” Menatapku, bibirnya tersenyum. Senyuman terpaksa. “Lain kali, jangan bicarain laki-laki lain di depan Abang. Apalagi cowoknya pernah suka ama Ayu.”&nb
Baca selengkapnya
Deal
PoV Ayu Dira menarik diri, terkejut mendengar pertanyaan Abang. Bibirnya dipaksakan tersenyum tapi aku tahu, kalau itu hanya untuk menghalau rasa gugup saja. “Ra-Ratih Herlina siapa?” Dira mengusap tengkuk. Membuang muka ke arah lain. Merunduk. Abang masih menatap intens mantan ketua BEM itu. “Gue gak suka berbelit-belit. Apa lo tau sikap Herlina sebenarnya?” Dira menoleh sekilas, lalu membuang pandangan lagi. Seolah tak mau beradu pandang dengan Abang dan aku. “Ratih Herlina alias bini lo itu, seorang pem-bu-nuh!!” Spontan kedua mata Dira membeliak. Abang menyandarkan tubuh ke sofa sambil bersedekap. “Gue yakin, lo tau dia di mana sekarang.” Lelaki berlesung pipit di depanku tetap bungkam. Seperti menahan beban yag berat. “Oke! Kalau lo gak mau jawab pertanyaan gue, terpaksa ... lo harus jawab pertanyaan dari Polisi. Ayok, Yu! Kita pulang! Mampir dulu ke kantor polisi.” “Bang, tunggu!!!” Abang dan aku yang sudah berdiri, duduk kembali. Memandang serius pada Dira. “Dira, kamu
Baca selengkapnya
Peringatan
PoV Ayu Senang rasanya melihat Abang dan Dira berjabat tangan erat. Semoga saja kedepannya Abang gak cemburu sama Dira lagi. “Makasih ya, Bang.” Ucap Dira. “Oke!” Dua lelaki itu melepaskan tangan masing-masing. “Oh iya, Yu. Saya punya kabar tentang Silvi.”  “Silvi? Kabar apa?”Sudira melirik arloji. “Hmm ... kalau saya cerita, kemaleman gak?”Abang ikutan melirik arloji.  “Penting gak?”  “Menurut saya penting, Bang.”Abang terlihat gusar. Memandangku sejenak. “Hmm ... Dira, sori. Ceritanya lain kali aja ya? Ini udah malem. Kami gak enak kalau pulang kemaleman. Atau kalau gak, kamu kirim pesan aja,” usulku, sesekali melirik arloji. Penasaran juga sebenarny
Baca selengkapnya
Menguping
PoV Ayu Kuurungkan kaki melangkah ke kamar, berbelok ke ruang keluarga, menguping pembicaraan Bunda dengan Abang, di balik tembok pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga. Menempelkan telinga pada dinding, agar lebih jelas terdengar. “Bunda gak boleh larang Ayu ke rumah Ibu. Kasihan Ayu, dia kan baru ketemu ibu kandungnya.” Abang memulai pembicaraan. Suaranya terdengar jelas. Mungkin karena sudah malam, berbicara pelan juga akan menggema. “Kamu gak tahu apa-apa, Nak. Justru Bunda larang dia ke sana, karena khawatir terjadi sesuatu pada Ayu.” Terjadi sesuatu? Sesuatu apa? Aku terus menempelkan telinga pada dinding pembatas. “Terjadi sesuatu? Sesuatu gimana?” Pertanyaan Abang menwakilkan pertanyaanku. Cukup lama Bunda menjawab. “Nak ... Eva itu ... pernah gi-la!” Aku terhenyak mendengar kata terakhir Bunda. Gila? Apa aku salah dengar ya? Masa sih ibu pernah gila? Apa Bunda lagi becanda ya? “Gila? Maksud Bunda?” “Ya ampun, Nak ... gila, gak waras. Eva pernah mengalami gang
Baca selengkapnya
Mencari Informasi
PoV Silvi Suara yang keluar dari mulut Mama bagai sengatan aliran listrik. Sudah jelas, kehidupanku di dunia ini memang tidak inginkan. Tidak berarti bagi mereka. Sekarang aku mulai mengerti, kenapa Mama dan Papa membedanku dari pada Syifa dan Putri. Kedua adikku. “Sekarang lebih baik kamu pergi!!! Jangan pernah kembali lagi! PERGI!!!”Perih, sakit hati ini ya Allah .... sosok Ibu yang selalu kurindukan, yang selalu kudoakan, kenyataannya dia sangat membenciku. Meski lemas persendian, memaksakan diri untuk berdiri. Menarik napas, menyeka air mata, lalu meraih telapak tangan Mama. “Jangan sentuhhh!!! Anak pembawa sialll!! Pergiiii!!” Mama menepis kasar tanganku.  “Ma ....”  “Pergii!!” Tak ada lagi kasih sayang dari sorot kedua matanya. Bukan tak ada lagi, memang sedari dulu tidak pernah kuli
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
19
DMCA.com Protection Status