All Chapters of Audacity: Chapter 111 - Chapter 120
159 Chapters
110. Sweet
[POV Fany]----- Rose tidak keseleo. Setelah keluar dari barn dia melangkah seperti tikus curut. Menjijikkan, jadi dia hanya beraksi di depan Adrian. Aku mau tahu, apa pendapat Adrian mendengar hal ini. "Fany?" tegur Tuan Dohl ketika satu kakiku baru menapak tangga teras kayu. Dia tersenyum ramah melepas topi koboi. Sepatu boot kulit tinggi kotor oleh lumpur, sepertinya baru datang dari kandang di sisi lain rumah.  Dia mempersilahkanku masuk rumah. "Aku tidak tahu kamu datang juga ke sini, Nak. Mencari Adrian, ya?" Dia terkekeh.  "Tidak, tadi sudah bertemu dengannya di kandang sapi, Paman." "Bagus. Nan
Read more
111. Menuju Realita
[POV Adrian]----- "Mooo!" Suara itu mengawali tarian neraka yang harus kujalani. Banteng, sapi jantan, iblis bertanduk, terserah mau dipanggil apa, tapi yang jelas dia sangat liar. Dia berputar, meloncat, menendang-nendang ke belakang. Berbeda dengan mesin rodeo, ini rodeo hidup, tak ada pattern yang bisa dihafal. Sebagai makluk hidup dia bergerak semaunya sendiri. Aku berusaha semampuku bertahan di atasnya, tapi hewan ini aku kui, sangat brutal."Ayo Adrian, berusahalah Nak  ingat, tunanganmu menjadi taruhan. Jangan lepas!" Namun, peganganku pada tali di leher banteng lepas, dia berhasil melemparku ke samping. Ini ke
Read more
112. Realita Masa Lalu
[POV Adrian]----- Sekarang badanku segar dan wangi, siap menerima kenyataan apapun yang hendak Paman sampaikan. Sial, dadaku berdebar, debaran yang sama seperti ketika hendak bercumbu untuk pertama kali. Aku membuka pintu, mendapati Quincy tengkurap di tikar menggambar sesuatu di buku gambar.  Nyonya Downson menyambut dengan tawanya, dia duduk menemani anaknya. "Wah, kamu nampak berbeda dengan yang tadi." "Tampan, ya Bu!" Quincy terlalu jujur, dia tertawa khas anak kecil yang menggemaskan. Jujur aku suka tipe anak kecil yang penurut. Aku duduk di sebelahnya mengamati dua gambar sapi dan seorang pemain rodeo. Quincy kecil me
Read more
113. How
(POV Fany)----- Hasil test DNA mengatakan jika Adrian bukan anak dari ayahku. Terima kasih Tuhan, terima kasih.  "Kenapa menangis, Fan?" tegur Rose, mengamati wajahku. Ya Tuhan, aku tak sadar jika bulir hangat membasahi pipiku. Aku menggeleng, mengusap air mata sembari berusaha tersenyum. "Tidak ada apa-apa." "Jangan berbohong, apa ada hal yang--" Segera aku potong ucapannya, sebelum dia menerka-nerka hal aneh. "Nah, hanya saja nilai kuliahku anjlok, itu saja." Rose lanjut memasak hidangan terakhir, telur omelet susu dan daging. "Apa kuliah begitu menyusahkan?" "Hm
Read more
114. Bermain Hati
[POV Fany]----- Aku duduk di kasur mengeringkan rambut. Sesekali aku menoleh ke balkon. Dia tetap di sana. Semenjak pulang dari rumah Tuan Dohl, Adrian banyak diam seperti sekarang. Setelah mandi dia berada di balkon, duduk di kursi berselonjor kaki, tanpa melakukan apa-apa kecuali bernapas. Kasihan dia, kehilangan gairah hidup.  Jika dia begini, aku juga merasa sedih. Dari kecil aku selalu ikut merasakan kesedihannya. Seperti kala dia dimarahi Bibi setelah jatuh dari motor, saat kehilangan ayah, dan banyak lagi. Bagaimana cara untuk membuatnya kembali tersenyum dan kembali penuh gairah seperti sedia kala? Ketika masih kecil, aku dan Alfred biasa menghiburnya dengan komedi konyol, tapi sekarang … Alfred berada di negara bagian lain, s
Read more
115. Banteng Hitam Brutal
[POV Adrian]----- Beberapa hari berlalu, selama itu aku berlatih keras untuk kompetisi rodeo bodoh yang menyita banyak waktu juga tenaga. Aku benci diriku karena terjebak dalam hal tak penting ini.  Selain itu aku juga selalu menjalankan kewajiban merawat hewan ternak Tuan Zul. Dia telah memberi kesempatan padaku membawa Fany ke sini, untuk membahagiakannya, apapun alasannya aku harus menepati janji, kan.  Hari ini membuatku berdebar. Hari H pembuktian hasil latihan selama seminggu. Semoga menang. Aku berdiri menghadap cermin, menarik topi koboi di kepala, supaya lebih hot dilihat. Aku harus tetap menjaga penampilan, siapa tahu ada ... apa penting sekarang? Wanita bukan prioritasku lagi. Aku melepas topi. Tiba-tiba suara tawa Fany terdengar
Read more
116. Banteng Liar
[POV Adrian]----- "Wow, kamu datang!" Dengan sombongnya Clint mendekat, bersama teman-teman yang pernah nyaris kuhajar. "Aku kira kamu bakal kabur." "Nah, bagaimana mungkin aku kabur. Aku ingin melihat kekalahanmu, sobat." Dengan sombong dia terkekeh. Kakinya menginjak pagar bawah, kedua tangan melipat ke atas pagar  dia mengamati banteng besar yang bergerak liar mengikuti irama musik. "Big Marko, banteng tua yang brutal. Sebaiknya kamu mundur sobat, kalau tidak mau jatuh dan terinjak badan besarnya." Sok perhatian. "Kenapa, takut?" "Ya, aku takut melihat tunanganmu sedih ketika dia tahu selangkanganmu terinjak banteng." Teman-temannya tertawa mendengar ucapan ini.&nb
Read more
117. Akhir Taruhan
[POV Fany]----- Aku menutup mulut supaya angin tidak masuk dan suaraku tidak keluar. Bukan hanya diriku yang kaget, tapi semua orang di sini. Ya Tuhan, siapa yang menyangka Adrian mampu bertahan selama lima menit sembilan detik bermain rodeo. "Dia bukan orang Texas, kan?" bisik seorang wanita duduk di kursi baris depan kami. Wanita di sebelah menggeleng. "Aku rasa dia natural." Suara dengung mic membuat semua menoleh. MC berucap dengan penuh semangat. "Adrian Bened! Lima menit sembilan detik! Siapa sangka kita menemukan koboi non Texas yang mampu menandingi Clint!" Semua penonton banyak yang membeku, lalu MC bertepuk tangan, barulah semua tersadar, ikut bertepuk tangan sambil bersiul.&nb
Read more
118. Pembelajaran
[POV Fany]------ "Jangan mendorong mereka ke ujung jurang Clint." Senyumnya melemahkan siksa Clint pada pergelanganku. Entah siapa dia, sungguh aku tak tahu. Clint memeluknya. Kecupan lembut mendarat ke kening gadis itu. Aku semakin tak mengerti, ke mana perginya sikap mendominasi tadi? Adrian hinggap ke sisiku. Jari-jarinya menyusup ke sela-sela jariku-jariku. Tentu aku balas meremas semua itu. "Adrian, aku rasa kami pernah bertemu. Aku ingat wajah gadis itu--" Adrian mendesis, menyuruhku diam.  Clint merangkul gadis itu. Pandangan mereka mengejekku dan Adrian. "Ini pengalaman buat kalian. Secemburu apapun dengan pasangan
Read more
119. Cuddling
[POV Fany]----- Aku bangun dalam keadaan enteng. Ketika membuka mata mendapati Adrian berada di samping membuatku tersenyum. Punggungnya yang penuh tato, luka cakar tadi malam, aroma cinta. Aku masih perawan. Ya, aku masih perawan. Adrian Bened tidak mengambil, dia berkata, 'Semua itu untuk suamimu, nanti ketika aku menjadi suami baru kuambil.' Siapa sangka dia bisa bicara seperti itu. Lalu apa yang dia lakukan? Tangan, bibir, jari, dia membuatku melayang berapa kali memakai semua itu. Tentu aku membuatnya melayang dengan punyaku. Sekarang aku semakin nyaman. Kupeluk dia erat. Hangat punggungnya menjalar ke kulit badan bagian depan. Suara detak jantung yang teratur, elusan lembut pada punggung telapak tangan, sungguh, ini bukan mimpi, tapi mimpi
Read more
PREV
1
...
1011121314
...
16
DMCA.com Protection Status