All Chapters of Racun Mertua: Chapter 31 - Chapter 40
66 Chapters
Bab 30 (Menantu kurang ajar)
Pov Ibu "Apa itu Lin?" tanyaku pada Lina, yang baru saja pulang dengan membawa sebuah map. "Ini, Bu?" "Iya, map apa itu?" "Map yang berisi brosur dan penjelasan mengenai akademi kebidanan yang Lina mau, Bu. Bang Hasan mau lihat brosurnya," jawab Lina senang. "Hasan? Kamu sudah bilang ke Mas-mu soal itu?" "Sudah, Bu. Katanya, Mas Hasan akan mendukung apapun keinginanku. Makanya Mas Hasan minta brosurnya biar dicari uangnya," jelas Lina. "Oh syukurlah. Coba Ibu lihat, sini Lin," pintaku pada Lina mengulurkan tangan. Mataku rasanya hendak keluar. Brosur itu memampangkan dengan jelas biaya yang harus dibayar untuk akademi kebidanan Lina dengan total Rp 60.000.000,00. Bahkan kata Lina itu belum termasuk jika nanti ada beberapa alat praktek yang harus di beli. Nominal itu hanya untuk biaya pendidikannya selama tiga tahun, uang pembangunan, baju dinas, dan uang asrama. Dapat dicicil, namun jika dibayar tunai, akan dapat potongan 10% dari total keseluruhan. Sesak nafasku membayangka
Read more
Bab 31 (Rezeki tak terduga)
Pov IbuSudah sepuluh hari, Lina mendiamkanku sejak kami menolak pelan keinginan Lina untuk mendaftar di akademi kebidanan. Pun, Hasan juga meminta Lina untuk kuliah umum saja. Hasan pun tidak sanggup untuk membiayai pendidikan Lina di akademi kebidanan baik secara cicil maupun lunas.Setelah di total, untuk tiga tahun mengenyam pendidikan di akademi tersebut bisa menghabiskan biaya sampai dengan delapan puluh juta rupiah.Sungguh itu hanya mimpi dan angan-angan saja. Uang sebanyak itu sudah bisa membeli satu unit mobil second, atau membangun sebuah rumah minimalis. Jika Hasan atau aku memiliki uang sebanyak itu, pastinya lebih baik kujadikan modal usaha saja. Hidup kami kini benar-benar terancam. Susah sekali bagiku kini membagi gaji Hasan yang pas-pasan.Jam di dinding sudah menunjukan pukul 15.30.Sebentar lagi Hasan akan pulang, sedang aku belum masak apapun. Ke dapur aku untuk memeriksa bahan apa yang ada, niatnya aku akan memasak dengan bahan seadanya saja. Tapi ternyata cabai,
Read more
Bab 32 (Ibu dan Lina berfoya-foya)
Pov Hasan Entah bagaimana lagi aku menutupi semua kebutuhan Ibu, dan Lina.Padahal seharusnya gaji yang kudapat bekerja sangat cukup untuk membuat pikiranku tenang.Benar kata pepatah, hiduplah sesuai dengan yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan. Pak Satpam tempat aku bekerja, gajinya hanya setengah dari gajiku, tapi menurut pengakuannya cukup untuk rumah tangganya dengan dua orang anak yang bersekolah di tingkat sd dan smp. Bisa makan, bahkan bisa menabung lima ratus ribu setiap bulannya.Kuhela napasku, sesak. Setelah menerima telpon dari Ibu. Masalah yang tak kunjung selesai. Uang. Dan hari ini kulepaskan satu masalah, setelah mempertimbangkan dengan matang, kuputuskan untuk mengembalikan motor pada Mira. Biarlah motor ini kembali pada pemiliknya semula, daripada harus ditarik paksa leasing sedang hanya beberapa bulan lagi lunas.Setelah kukembalikan satu permasalahan selesai. Tinggal dua, kuliah Lina, dan arisan Ibu.Untuk
Read more
Bab 33 (Sebuah Kenyataan)
Suara ketukan pintu dan salam terdengar di antara derasnya hujan dan gemuruh petir.Kembali aku menajamkan pendengaran. Memastikan bahwa pintu rumahku lah yang diketuk. Setelah yakin ada orang disebalik pintu, pelan aku beranjak. Jam di dinding sudah menunjukan pukul 00.30 dini hari.Setengah mengantuk dan setengah sempoyongan aku berjalan membuka pintu, dari siang aku memang merasa sudah tidak enak badan. Sedikit aku menyibak gorden jendela, untuk mengintip ke luar. Bang Hasan, berdiri diluar sana dengan tubuh basah kuyup dan gemetar. Ragu aku antara membuka kan pintu atau membiarkannya saja.Bagiku, aku memang bukan lagi istrinya, tapi menurut hukum dan agama. Kami masih sah sebagai suami istri. Berlawanan antara perasaan dan logika. Akhirnya aku memilih menggunakan perasaan. Perasaan sebagai manusia yang berakal. Tidak mungkin aku membiarkan manusia lainnya di luar rumahku dalam keadaan basah kuyup di tengah malam buta begini.Aku memang kesal dan benc
Read more
Bab 34 (Mengambil semua barang)
Hari ini aku tidak masuk kerja, tadi aku sudah menelpon Ratih, dan pihak HRD.Pada Ratih aku menceritakan semuanya tanpa kurang satu apapun.Sejam lagi Ratih akan tiba di rumahku, dia sedang izin meminta pulang cepat, karena ingin menemaniku ke rumah Nenek dan membuat laporan. Awalnya aku sudah menolak, aku bisa pergi sendiri karena motorku sudah di kembalikan Bang Hasan, tapi Ratih bersikeras ingin mengantarku, ia tidak mau aku menghadapi semua ini sendiri. Aku beruntung memiliki Ratih, saat ini, dan semoga selamanya.Bang Hasan sudah pergi sedari tadi, dengan berjalan kaki. Ponselnya padam tak hidup lagi setelah ku banting. Beruntung sebelum menemui Bang Hasan yang sedang sholat, aku sudah mengirim screen shoot percakapan ia dan adiknya ke ponselku. Tadinya ia ingin meminjam ponselku untuk meminta jemput pada adiknya, namun aku tidak memberikannya, pun kunci motor yang sudah kupegang. Aku tidak akan mengalah lagi kali ini. Bukan perihal uang
Read more
Bab 35 (Belanja perabotan baru)
Hari ini aku tidak masuk kerja, tadi aku sudah menelpon Ratih, dan pihak HRD.Pada Ratih aku menceritakan semuanya tanpa kurang satu apapun.Sejam lagi Ratih akan tiba di rumahku, dia sedang izin meminta pulang cepat, karena ingin menemaniku ke rumah Nenek dan membuat laporan. Awalnya aku sudah menolak, aku bisa pergi sendiri karena motorku sudah di kembalikan Bang Hasan, tapi Ratih bersikeras ingin mengantarku, ia tidak mau aku menghadapi semua ini sendiri. Aku beruntung memiliki Ratih, saat ini, dan semoga selamanya.Bang Hasan sudah pergi sedari tadi, dengan berjalan kaki. Ponselnya padam tak hidup lagi setelah ku banting. Beruntung sebelum menemui Bang Hasan yang sedang sholat, aku sudah mengirim screen shoot percakapan ia dan adiknya ke ponselku. Tadinya ia ingin meminjam ponselku untuk meminta jemput pada adiknya, namun aku tidak memberikannya, pun kunci motor yang sudah kupegang. Aku tidak akan mengalah lagi kali ini. Bukan perihal uang
Read more
Bab 36 (Affair Lina)
Benar dugaanku. Perhiasan peninggalan Nenek dan Ibuku, kini tak ubahnya bagai sebuah narkotika yang mencandukan bagi Ibu Bang Hasan. Dugaanku tidak meleset sedikit pun. Ibu kembali. Sebanyak apapun uang yang ia terima dari hasil menjual berlian Ibuku, tentu hanyalah akan menjadi uang hantu di makan setan. Segera habis dalam waktu singkat, dan saat habis Ibu pasti akan berusaha untuk mendapatkannya lagi. Terlebih aku yang tidak sama sekali melaporkan apapun sehingga mungkin Ibu merasa aku tidak menyadari perbuatannya.Setelah Ibu pergi, aku tersenyum puas.Cepat kubuka ponselku. Rekaman Ibu dari cctv yang kupasang benar-benar sempurna. Apalagi di bagian teras. Benar-benar seperti pencuri handal. Sang otak pelaku yang sedang mengawasi anak buahnya membuka kunci. Tapi biasanya pencuri di rumah orang akan membuka kunci rumah dengan paksa. Berbeda dengan Ibu, yang membuka kunci rumahku dengan tukang kunci. Sebab Ibu bukan pencuri asli, Ibu hanya pencuri gadungan yang mencur
Read more
Bab 37 (Surat Panggilan)
Pov Hasan Aku baru saja sampai dirumah ketika kudapati sebuah motor matic berwarna putih biru terparkir di teras rumah. Ternyata masih baru dan tanpa plat. Milik siapa ya, mungkin tamu Ibu atau Lina."Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam, San. Lembur kamu ya," jawab Ibu dengan wajah yang sumringah.Ku perhatikan sekeliling. Ada yang berbeda."Ibu beli sofa baru?""Iya, bagus kan, San. Empat juta saja. Empuk banget loh, coba sini duduk," ujar Ibu menarik bahuku untuk duduk."Apa di luar itu juga motor yang baru Ibu, ambil?" tunjukku ke luar."Iya, cantikkan. Buat Lina," jawab Ibu sumringah.Aku merasakan ketakutan yang mulai melingkupi jiwa."Uang dari mana, Bu? Cash?" tanyaku lagi."Oh ya nggak lah," Ibu tertawa, "kredit, sore tadi diantar. Dp lima juta.""Ibu pakai uang penjualan berlian Ibunya Mira?" tanyaku."Kamu sudah makan? Ibu masak loh hari ini. Mulai sekarang kita nggak be
Read more
Bab 38 (Sudah Cukup)
Matanya tajam menatap perutku yang membuncit."Ka-ka-kamu hamil, Mir?" tanya Bang Hasan tak lepas menatap.Aku memilih tak menjawab dan berbalik pergi. Tapi Bang Hasan lebih cepat dengan menangkap lenganku."Jawab, Mir!" tanyanya dengan suara meninggi."Ya, aku hamil. Dan selama ini aku baik-baik saja tanpamu. Silahkan pergi," jawabku sengit.Tiba-tiba Bang Hasan luruh ke lantai dan menangis sembari memegang kedua kakiku dan menciuminya. Aku mundur beberapa langkah. "Kakimu membengkak, Mir?"  Ia mendongakkan kepalanya melihatku."Bukan urusanmu Bang. Urus saja keluargamu.Pergi!""Kenapa kamu menyembunyikannya dari Abang, Mir? Kenapa kamu tidak mengatakan apapun pada Abang? Abang berhak tahu, Mir.""Kau tahu ataupun tidak, tak kan mempengaruhi apapun, Bang. Selama ini aku baik-baik saja tanpamu.""Bolehkah, Abang menyentuhnya?" ujar Bang Hasan mengulurkan tangannya. Refleks aku menepis tang
Read more
Bab 39 (Menemui Nenek)
Setelah mengancam akan mengambil anakku semalam. Bang Hasan masih saja terus menghubungi. Seperti saat ini, ponselku terus berdering karena panggilan darinya. Sungguh sangat mengganggu tidurku. Anak mami dibawah ketiak Ibu[Pagi, Mir. Belum bangun ya?]Apa-apaan dia. Aku memilih tak menghiraukan pesannya.[Jangan lupa sarapan dan minum susunya ya. Maaf]Huh, dasar plin-plan. Benar-benar keturunan Ibunya. [Tapi Abang serius, akan ucapan Abang jika kamu tetap ingin bercerai. Kamu tahu Abang sangat menantikan bayi itu]Kali ini aku memilih membalasnya. [Ya, begitupun aku, mari berperang] Ya, kini aku memilih berperang, bahkan sedari dulu pun sudah berperang. Berperang melawan batin, bertahan atau lepaskan. Dan sekarang aku memilih melepaskan. Setelah melepaskan pun, kini masih tetap berperang, berperang mengambil kembali apa yang sedari awal adalah milikku, dan kedepannya akan berperang demi mempertahankan milikku
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status