All Chapters of Setan-Setan yang Merasuki Tubuh Suamiku: Chapter 51 - Chapter 60
133 Chapters
51. Hentikan!
"Bagas!" Leni tak mampu menahan diri saat putra semata wayangnya kini semakin bersikap di luar nalar. Jantungnya pun seolah berpacu semakin cepat lagi, ia tak percaya dengan apa yang di lihat oleh kedua matanya sendiri.  Bagas, putra semata wayangnya kini tengah melayang-layang di udara. Kedua matanya berubah menjadi merah dan mendelik tajam ke arah Pak Sungkono. Yang lebih membuat dia terkejut lagi, entah dari mana pak sungkono pun kini terlihat sudah menggenggam sebuah cambuk raksasa yang terlihat bersinar seolah terbuat dari lapisan emas. Terlebih ujung dari cambuk itu tengah melilit di salah satu kaki putranya.  Meski begitu, tak nampak rasa sakit sedikit pun di wajah putranya saat ujung dari cambuk itu kini melingkar kuat di salah satu pergelangan kakinya. Yang ada, Bagas malah terlihat menyeringai dan sesekali tertawa cekikikan dengan suara kecilnya yang tergengar lebih mirip sengan suara seorang wanita. Semakin lama didengar, suara cekikikan
Read more
52. Menyiksa hingga mati!
"Aku tahu kamu sembunyi di dalam!" Hardik pak Sungkono tajam. Dia kemudian meminta sesuatu pada pak Yo. Lalu pak Yo pun segera memberikan sebuah piring kecil yang terlihat berisi sesuatu di dalamnya.  "Ini merica dan minyak zaitun." Paham akan wajah kebingungan Andira dan Leni, Pak Sungkono pun menjelaskan perihal isi piring yang dipegangnya.  "Hah. Merica? Buat apa?" Batin Andira. Begitu pun dengan Leni, dia mengerutkan keningnya lantaran juga merasa aneh dengan salah satu bumbu dapur yang pak Sungkono bawa. "Ini bukan merica biasa. Merica ini sebelumnya sudah aku kasi dengan amalan-amalan di dalamnya. Jadi siapa pun yang menyentuh merica ini, dia akan merespon bahkan berteriak karena kesakitan jika memang ada yang tidak beres dengan tubuhnya." Jelasnya lagi pada Andira dan Leni.  "Masak iya sih, merica doang bisa ngusir hantu." Batin Leni menatap tak percaya dengan apa yang pak Sungkono jelaskan.  "Aaarrggh." Benar saja.
Read more
53. Si Mbah
Bruugh. Tubuh Tari terpental kuat hingga membentur tembok dengan sangat keras. Darah berwarna hitam pun menyembur keluar dari dalam mulutnya. Kepulan api serta asap tebal tiba-tiba muncul dan membakar semua sesajen yang ia siapkan sebelumnya.  Ukhuk, ukhuk. "Sialan! Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa biasa aku yang terluka?" Hardiknya kesal. Darah hitam yang membasahi bibirnya pun dia usap kasar dengan tangannya.  Dia segera beranjak untuk mengambil APAR yang ia simpan di dapurnya lalu segera memadamkan api yang masih melahap satu-satunya meja yang berada di kamar gelap itu. Dengan wajah yang masih terlihat kesal, Tari memungut serta membersihkan sisa-sisa puing yang hangus terbakar. Anehnya keris loroboyo pemberian sang pangeran Joko Boyo serta kain kafan yang ia curi dari pemakaman sebelumnya, semua luput dari kobaran api tersebut.  Tiitt, tiitt. Bel rumah yang berbunyi membuat Tari terkejut. Dia melirik jam t
Read more
54. Siapa?
Braakk. "Astaghfirullah." Bagas terperanjat dari lamunannya. Detak jantung Bagas pun tiba-tiba bermaraton hingga membuatnya mengusap-usap dadanya. Ditatapnya pintu yang tiba-tiba saja terbuka dan menghantam tembok dengan sangat keras itu. Tubuh Bagas seketika termangu di tempat, ia baru saja teringat sesaat setelah pulang dari kediaman pak Sungkono tadi, dia langsung mengunci pintu itu. Lalu sekarang, pintu itu malah terbuka dengan sendirinya. Bagas bergegas beranjak dari duduknya untuk memeriksanya, kalau-kalau ada maling yang berusaha untuk menerobos masuk ke dalam rumahnya. Kedua matanya langsung menyapu area halaman rumahnya, namun tak mendapati siapa pun di sana. Handle pintu rumahnya pun dia cek dan tak ada kerusakan sedikit pun di sana. "Aneh, aku yakin pintu ini sudah aku kunci tadi." Gumamnya sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Semilir angin malam tiba-tiba menerpa tubuhnya yang masih berdiri di
Read more
55. Tumbal
Mentari pun mulai menampakkan parasnya, memancarkan hawa hangat menyelimuti seluruh permukaan bumi. Di salah satu desa di pinggiran timur kota seorang wanita muda terlihat tengah terburu-buru menuruni mobilnya, lalu segera berlari memasuki sebuah rumah bambu yang sederhana.  "Mbah, apa yang terjadi?" Tanyanya pada seorang pria tua yang tengah duduk di salah satu kursi ruang tamunya sedang menikmati sebatang rokok yang ia selipkan di antara kedua jarinya.  "Sejak awal, kamu selalu terburu-buru." Jawabnya santai pada wanita muda itu, yang tak lain adalah Tari. Sesekali pria tua yang biasa dipanggail mbah Kaji itu terlihat menyesap dan menghembuskan asap rokoknya ke atas.  Mendengar penuturan mbah Kaji, Tari berusaha untuk lebih tenang. Dia mendaratkan bokongnya di atas salah satu kursi, tak jauh dari tempatnya berada saat ini. "Begini, aku..."  "Aku tau." Sanggah mbah Kaji sebelum Tari berhasil menyelesaikan kalimatnya. "Dia dibantu
Read more
56. Tumbal pertama
Biasan mentari mulai menyurut, malam pun datang kian menyingsing bulan. Tari terlihat sudah siap untuk melancarkan aksi pertamanya. Sesekali dia menghirup udara dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan untuk mengurangi rasa gugupnya. Malam ini adalah kali pertama dia merencanakan tindakan kriminal hingga menyebabkan hilangkan nyawa seseorang. Tapi karena jiwanya sudah diselimuti dengan hawa nafsu serta bisikan setan, Tari pun tak mengindahkan resiko yang mungkin saja bisa merenggut nyawanya karena pasal pembunuhan berencana. Keringat dingin kini mulai memabasahi tangan serta wajahnya. Pakaian serba hitam, topi serta sarung tangan hitam pun sudah melekat di tubuhnya. Jika dilihat sekilas, dia lebih mirip dengan seorang pria. Terlebih selembar masker pun juga ia gunakan untuk menutupi wajahnya dari sorotan kamera cctv yang mungkin akan menangkap pergerakannya.  Dengan menaiki sebuah sepeda motor matic sewaan, dia pun memasuki kawasan minimarket. Tari lalu m
Read more
57. Sosok penunggu
Beberapa saat kemudian Tari merasakan tidak ada perlawanan lagi dari gadis itu, ia kemudian melepaskan tangan serta rangkulannya.  Bak sebuah karung beras, Tari menyeret tubuh gadis itu ke arah meja yang tak jauh dari tempat dia berada sekarang. Tari lalu mengeluarkan seikat tali tambang yang sebelumnya ia sembunyikan di balik jaket hitamnya. Dengan bersusah payah, Tari mengangkat gadis itu ke atas meja kayu itu. Lalu dia segera mengikat kedua tangan serta kaki gadis itu ke setiap sudut meja masing-masing sisinya, hingga gadis itu pun jadi terlentang dengan kedua kaki mengangkang. Sapu tangan yang sebelumnya ia gunakan untuk membius gadis itu ia gunakan kembali untuk mengikat bagian mulutnya agar tidak bisa berteriak.  Tari lalu mengeluarkan dua buah kantong plastik yang kemudian ia ikatkan di kedua pergelangan tangan gadis itu. Lalu ia duduk di tanah dan bersila untuk memulai ritualnya.  Tangan kanannya kemudian mengeluarkan se
Read more
58. Ritual terakhir
Sosok hitam besar tiba-tiba keluar dari keris yang Tari pengang. Seluruh tubuhnya di penuhi bulu hitam yang sangat lebat, kedua mata merahnya melotot seolah akan keluar. Beberapa gigi besar yang lebih mirip dengan gading anak gajah pun terlihat menjulang ke atas dan ke bawah hingga mulut mahluk itu pun terlihat sangat lebar.  "GGRRRRRH. AKU LAPAR." Seru sosok hitam besar itu dengan suara beratnya.  Tari pun reflek melangkah mundur, saat sosok mahluk besar itu tiba-tiba menatapnya tajam dengan kedua mata besar miliknya yang berwarna merah. Sesaat kemudian, bau anyir darah mengalihkan perhatian mahluk besar tersebut.  "Sruurrp." Dengan sangat lahapnya, sosok besar berbulu itu menyeruput darah yang menggenang di leher gadis itu. Gadis itu berusaha meronta saat mahluk mengerikan itu dengan cepat menjilati kulit lehernya. Namun sayang karena rasa takutnya pada sosok mengerikan itu, seluruh tubuhnya malah semakin melemah, bulu kuduknya pun me
Read more
59. Banaspati
Deru suara angin yang berhembus membelah gelapnya malam, tak mengurangi semangat kedua orang warga yang sedang melaksanakan tugas patrolinya mengelilingi kampung di desa Cempaka. "Min, kamu ngerasa nggak sih kalau malam ini suasananya beda banget?" Ucap Sapri yang membalut tubuhnya dengan sarung kotak-kotaknya, hingga terlihat kepala dan kakinya saja. "Beda gimana Pri? Kayaknya sama saja." Ucap Amin sembari memukul kentongan pos ronda yang ia bawa. "Beda Min, malam ini tuh rasanya dingin banget beda sama malam kemarin." Seru Sapri lagi lalu memeluk tubuh Amin dari belang. "Iih, apaan sih Pri. Lepas nggak? Jangan macem-macem kamu ya, aku masih demen sama awewek tauk!" Ketus Amin yang melepas pelukan temannya dengan kasar. "Ye, kamu kira aku nggak normal? Gini-gini aku masih berselera sama istriku." Hardik Sapri tak terima. "Lagian, ngapain kamu peluk-peluk aku segala?" Tanya Amin tak mau kalah. "Dingin kali Min, badanmu kan penuh lemak. Bagi dikit aja
Read more
60. Media santet
*** Beberapa jam sebelumnya.    "MINUM DARAH ITU!" Suara besar itu kembali menggema di kedua telinga Tari.  Dengan ragu, Tari mengambil baskom kuningan yang berisikan darah itu. Baru saja dia mendekatkan baskom itu ke arah wajahnya, bau anyir seketika menyeruak menusuk indra penciumannya. Tari menatap lekat cairan yang berwarna merah pekat itu. "Haruskah aku minum darah ini?" Batinya. Membayangkannya saja sudah membuat isi perut Tari bergemuruh dan terasa di aduk-aduk. "MINUM SEKARANG!" Titah suara besar itu lagi. Mau tidak mau Tari akhirnya terpaksa harus meminumnya. Ia menarik nafas panjang lalu menahannya di tenggorokan, lalu dengan cepat ia mulai meneguk cairan kental berwarna merah itu. Ditegukan pertama rasa asin mulai menyapu lidahnya, bau anyir pun tak mampu ia tahan hingga membuat perutnya mulai terasa mual.  Namun Tari berusaha untuk tetap bertahan, hingga ditegukan berikutnya Tari justru merasaka
Read more
PREV
1
...
45678
...
14
DMCA.com Protection Status