Semua Bab Akhir Yang Bahagia: Bab 11 - Bab 20
115 Bab
Sikap Yang Palsu
“Maksud lo apa?” Rara mengerutkan dahinya mendengar perkataan Naren. “Bukan hal penting,” jawab Naren pendek. Naren meninggalkan Rara sendirian. Rara menatap punggung Naren yang menjauh dari pandangannya. Rara tak berniat mengikuti langkah Naren, ia kembali fokus menonton acara televisi. Tetapi, pikiran Rara malah ke perkataan Naren beberapa menit lalu. “Gue emang gak tau apa –apa,” keluh Rara dalam hati. Rara melangkahkan kakinya ke kamarnya. Ia membersihkan terlebih dahulu dan akhirnya ia tertidur di kamarnya. Suara kicau burung di pagi hari membangunkan Rara. Selimut tebal masih menutupi tubuhnya dengan baik, Rara duduk di ranjangnya. Ia masih enggan beranjak dari ranjang. Rara mengambil segelas air putih di nakas yang terletak di samping ranjangnya. “Gak bisa tidur nyenyak…” gumam Rara pelan. Kemarin malam, entah karena perkataan Naren yang membuatnya penasaran, ia jadi terbangun tengah malam. Sebelum kembali tertidur, pikirannya k
Baca selengkapnya
Rasa Peduli Yang Sama
Rara menatap toko kecil yang biasanya ia datangi sepulang sekolah, untuk melakukan kerja sambilan. Rara menghela napas perlahan, berusaha menampilkan senyuman. Ia menatap jam tangannya, biasanya Sonia masih melakukan kerja sambilan. Rara tak mengetahui siapa yang menggantikan dirinya saat Sonia mengajar les privat. “Selamat datang!” ucap Sonia yang menyambut pelanggan datang. Sonia menatap Rara yang tersenyum tipis dan melambaikan tangannya dengan canggung. “Ra? RARA?!” Sonia keluar dari kasir dan menatap Rara dengan wajah bahagia dan terkejut yang bercampur menjadi satu. “Lo kemana aja?” Sonia memeluk Rara dengan erat. “Ceritanya panjang,” Rara melepaskan pelukan Sonia. “Gue siap denger cerita lo,” ucap Sonia semangat. Rara tersenyum kecil melihat rasa semangat Sonia. “Yang jaga kasir siapa?” “Loh orang yang jaga di luar siapa?’ tanya Sonia menatap dua orang lelaki yang berdiri di depan pintu masuk toko. Rara menoleh k
Baca selengkapnya
Guncangan
“Jevan? Kamu ngapain disini?” tanya Ibu Windia, yang ternyata adalah Ibu Rara.”Kamu pakai baju apa? Kok sama kaya Naren?” “Oh ini,” Jevan menggaruk rambutnya yang tak gatal. Ia mengalihkan pandangannya ke sekitarnya, entah menatap permen, kotak rokok, atau produk kecantikan yang tesusun rapi di rak. Intinya, Jevan tidak ingin terlalu lama berkontak mata dengan Ibu Windia. Ibu Windia menatap Jevan dan Naren bergantian, menuntut penjelasan. Keduanya bingung harus menjelaskan seperti apa. “Naren,” panggil Ibu Windia. Naren yang sedari tadi menunduk, mengangkat wajahnya, “Ya?” “Kamu sekarang menjadi kasir?” tanya Ibu Windia menatap Naren jijik. “Tidak, Nyonya. Saya sebe-“ “Saya sedang belajar mengambil kerja sambilan, lalu Naren menemani saya,” sela Jevan cepat. Ibu Windia makin mengerutkan keningnya, “Bukannya Naren masih bekerja dengan Zarhan? Kalau saya tak salah, tugasnya menjaga anak saya.” Jevan salah menjawab
Baca selengkapnya
Malam Yang Berbeda
“Lo mau ikut dulu sama gue?” tanya Jevan. Rara menatap Naren, meminta persetujuan. “Silakan, naik mobil Jevan. Saya akan mengikuti dari belakang,” ucap Naren sembari memakai helmnya. Rara tersenyum tipis, “Makasih ya.” Rara masuk ke mobil Jevan. Naren mulai menyalakan mesinnya. Naren mengangguk ke Sonia yang melambaikan tangannya. Sonia menatap ketiga teman barunya, ia tersenyum senang. Sonia merasa kalau lingkungan Rara menjadi lebih baik. Jevan melirik Rara yang duduk di sampingnya. Rara menyandarkan tubuhnya ke kursi, ia menghela napas. “Hari ini berat ya?” tanya Jevan fokus menyetir. Rara mengarahkan tubuhnya ke Jevan, “Yah, gue kaget. Gak siap sama sekali. Gue pikir pertemuan dengan nyokap gue bakalan hangat dan terharu. Ternyata…kenyataannya gak seindah yang gue bayangin.” “Tante Windia sebenarnya baik, cuman dia emang gak suka kalau bergaul dengan orang rendahan,” ujar Jevan. Rara menimpali, “Itu gak baik
Baca selengkapnya
Pertemuan Pertama
“Lo udah sarapan?” tanya Rara sembari membukakan pintu untuk Naren. “Sudah,” jawab Naren sembari duduk di lantai depan meja lipat kecil. Rara memang tidak mempunyai meja untuk makan. “Bener?” tanya Rara membawa sandwich buatannya ke meja lipat kecil. “Iya,” ucapan Naren tidak sesuai dengan isi perutnya yang berbunyi. Rara yang mengunyah gigitan pertama, melirik Naren sekilas, tanpa sadar ia menahan tawanya. Naren bergumam pelan, ia sedikit malu. Rara menggeser piringnya, ia menatap Naren. “Makan aja Ren. Ini masih ada satu lagi.” “Boleh?” tanya Naren ragu. “Iya boleh, lo santai aja,” kata Rara tersenyum. Naren mengambil sepotong sandwich itu dalam diam. Ia menatap Rara yang sibuk membaca buku sambil memakan sandwichnya. “Lo sebaiknya makan aja dulu,” kata Naren memberi saran. Rara menoleh, “Ini kebiasaan gue kalau mau ulangan.” “Emang hari ini ada ulangan?” tanya Naren mengerutkan keningnya.
Baca selengkapnya
Hati Yang Terbuka
“Lo ngelewatin ulangan,” kata Naren melirik Jevan yang baru bergabung dengannya di kantin. Jevan mengangguk, “Gue udah minta waktunya entar pas pulang, buat nyusul ulangan.” “Rara mana?” tanya Jevan menatap sekelilingnya. “Sama Sandra, lagi ke toilet,” jawab Naren sembari sibuk memainkan ponselnya. “Sandra?” Jevan mengerutkan keningnya, ia baru mendengar nama itu. “Murid baru di kelas. Tadi pagi, baru aja datang,” Naren menyimpan ponselnya saat es tehnya datang ke meja. “Nama lengkapnya bukan Sandra Carissa kan?” tanya Jevan. “Gak tau, gak peduli gue,” balas Naren cuek. “Salah sih nanya ke lo,” komentar Jevan. “Jevan, lo udah selesai urusannya?” Rara baru saja datang diikuti Sandra yang mengambil duduk di samping Naren. “Udah, Ra,” Jevan melirik murid baru yang sibuk memainkan ponselnya. “Sandra?” Sandra mengangkat wajahnya, matanya membulat saat melihat sosok Jevan. “Jevan?” “Kalian kena
Baca selengkapnya
Rencana Baru
“Naren, jalan lo jangan cepet – cepet dong,” ucap Sandra sembari berusaha menyamakan langkah kakinya dengan Naren. Naren melirik Sandra sebentar, ia mendengar ucapan Sandra. Tetapi, Naren memilih tidak peduli dengan ucapan Sandra. “Lo emang deket ya sama Rara?” tanya Sandra penasaran. “Apa hubungannya sama lo?” Naren berbalik bertanya. “Gue cuman penasaran aja,” jawab Sandra mengangkat bahunya. Naren tak menanggapi lagi ucapan Sandra. “Sandra,” seseorang memanggil Sandra. “Iya?” sahut Sandra. “Lo dipanggil TU. Untuk ngurus masalah kepindahan lo,” ucap orang yang memanggil, Linda namanya. “Oke. Makasih ya,” ucap Sandra tersenyum. “Sama – sama,” Linda berlalu dari hadapan Sandra. Sandra menatap Naren yang ternyata menunggunya sejak Sandra mengobrol dengan Linda.  Sandra tersenyum melihat Naren, ia mendekati Naren dengan semangat. “Lo tau TU dimana?” tanya Sandra. “Tau,” jawab N
Baca selengkapnya
Menjadi Dekat
Jika dilihat dari luar, kafe RealTaste terlihat seperti kafe pada umumnya yang menonjolkan suasana nyaman dan sederhana. Lokasinya strategis membuat banyak yang mengunjungi kafe ini, baik dari golongan pelajar, mahasiswa, ataupun orang dewasa. Cat dinding berwarna biru langit dipadukan dengan hiasan kayu menambah kesan hangat dalam kafe. Rara yakin menu disini ramah di kantong pelajar seperti dirinya. Buktinya, pelajar dari sekolah elit lain tampak asik menikmati suasana di kafe. Rara duduk di kursi paling ujung, ia tidak ingin menjadi pusat perhatian. Seorang pelayan mendekati Rara dan menyerahkan buku menu. “Saya boleh nunggu teman saya dulu?” tanya Rara menatap pelayan. Pelayan itu tersenyum ramah, “Baik. Nanti silakan panggil saya kalau anda ingin memesan.” Pelayan itu berlalu dari hadapan Rara. Rara membuka buku menu itu perlahan. Matanya melotot melihat harga yang tertera di buku menu itu. Rata – rata harga yang tertara adalah dua digit pertama.
Baca selengkapnya
Keamanan
Naren menatap orang yang ia panggil ‘Tuan Besar’ itu. Naren hanya dapat menatap punggung yang tampak tegas itu dalam keheningan, karena pria di hadapannya masih sibuk mengurus tumpukan berkas.“Ada apa Naren?” tanya pria itu sembari menyimpan berkasnya.“Saya ingin membuat laporan mengenai apa yang terjadi hari ini,” ujar Naren sopan.“Saya mendengarkan,” balas pria itu.“Hari ini, Nona Rara bertemu Sandra, ia adalah murid baru di kelas kami. Sandra bertanya mengenai identitas saya, dan Nona Rara mengatakan kami hanya teman SMP. Kemudian, Sandra bertanya mengenai mengapa anda tidak membawa Nona Rara saat perayaan perusahaan Jarvis. Nona Rara menjawab kalau ia sibuk,” ucap Naren menjelaskan.“Wah, pintar juga anak itu,” komentar pria itu pendek.“Tuan Besar, saya ingin menyelidiki lebih jauh mengenai Sandra Carissa. Kemudian, Nona Rara khawatir kalau ada yang bertan
Baca selengkapnya
Bayaran
“Ada apa, Bi?” tanya Naren menatap wanita berumur itu. “Bibi belum bilang kalau hari ini pelayan khusus Nona Rara, Bi Ica dan Bi Nia pulang jam sepuluh malam,” ungkap Bi Santi menatap Naren. “Nona Rara sudah bilang ke saya. Tapi, apakah ini sudah dibahas dengan Tuan Besar?” tanya Naren. “Ah itu…” Bi Santi tampak berpikir. Naren menghela napas, ia menepuk pundak Rara. “Nona,” “Jangan bangunkan Nona Rara,” cegah Bi Santi. “Saya gak bisa ngobrol dengan benar kalau Nona Rara masih disini,” balas Naren kembali berusaha membangunkan Rara. “Saya kan su-“ “Bi, bisa bantu saya bangunkan Nona Rara?” sela Naren. Bi Santi akhirnya mengalah, ia mendekati Rara dan menepuk pelan pipi Rara. Rara yang merasa terganggu berusaha bangun dan mengumpulkan kesadarannya. “Uhh…Naren? Bi Santi?” Rara tampak kebingungan. “Nona, ayo saya antar ke kamar,” ucap Bi Santi lembut. “Tidak Bi. Saya saja yang mengantar Nona
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status