All Chapters of Akhir Yang Bahagia: Chapter 51 - Chapter 60
115 Chapters
Terbongkar
Rara menatap Jevan dengan senyum palsunya, ia menjawab, “Gue gak apa. Lo baru datang?” Jevan menyamakan langkahnya, “Iya. Gue tadinya ragu mau datang ke sekolah atau enggak,” ucap Jevan mengangkat bahunya. Rara terdiam mendengar ucapan Jevan. Ia menoleh sebentar pada lelaki di sampingnya. “Jev, pulang sekolah gue mau ngomong sesuatu,” kata Rara. “Ngomong apa?” tanya Jevan sembari menyapa murid yang tersenyum padanya. Rara menghela napas. “Lo ada waktu ga?” Rara malah balik bertanya. Jevan mengangguk, “Ada. Dimana ngomongnya?” “Di Kafe Real Taste. Lo keberatan ga?” tanya Rara. Jevan tersenyum kecil, “Sama sekali tidak, Ra.” Keduanya masuk ke kelas. Untungnya, guru pelajaran pertama hanya memberikan tugas dikarenakan sakit. Rara mendekati Sandra yang sibuk memainkan ponselnya. Ia ingin mengobrol dengan gadis itu. “Lo udah tugas yang kemarin?” tanya Sandra tanpa menatap Rara. “Udah. Tumben, lo gak nanya ke gue,” sahut Rara. Sandra berbisik pelan pada Rara, “Jawabannya ada di i
Read more
Efek Untuknya
Rara menatap punggung Jevan yang menjauh dari pandangannya. Rara menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangisnya. Sebenarnya, ia sudah siap akan tanggapan terburuk Jevan. Tetapi, rasanya tetap menyakitkan mendengar kata ‘kecewa’ dari Jevan. Suara langkah kaki terdengar masuk ke kafe. ‘Jangan nangis, Ra.’ Batin Rara. Rara menundukkan kepalanya, ia takut mengganggu pengunjung kafe lain. Rara dapat merasakan sesuatu menutupi kepalanya. Rara mendongkak, ia menemukan Naren menutupi kepalanya dengan jasnya. Tangan Rara hendak melepaskan jas hitam itu. “Jangan dilepaskan, Non,” bisik Naren pelan. Rara mengangguk. “Gue ingin pulang,” katanya pelan. “Saya ada perlu dengan manager disini. Nona bisa berjalan sendiri ke mobil?” tanya Naren peduli. Rara menatap Naren bingung, “Lo mau apa?” tanya Rara berusaha tak menangis. “Nanti saya jelaskan. Nona, perlu saya antar?” tanya Naren. “Gue sendiri aja. Kunci mobilnya mana?” tanya Rara mengulurkan tangannya. Naren memberikan kunci mobiln
Read more
Usaha Mereka
“Ren, gue emang jahat ya?” tanya Rara sendu. “Gue bahkan bikin orang tua gue bertengkar. Kadang gue mikir, sebaiknya gue gak perlu tahu tentang mereka.” Naren hanya berdiri tegap. Bingung untuk membalas ucapan gadis di depannya. “Atau sebaiknya gue bunuh di-“ Naren menarik tubuh Anes ke dalam dekapannya. “Jangan, Non…” ucap Naren pelan. “G-gue gak tahu harus gimana, Ren. Hidup gue makin kacau,” balas Rara menahan tangisnya. Naren menggeleng sebagai tanggapan. “Tidak, Non. Hidup Nona tidak kacau,” ucap Naren berusaha menenangkan gadis yang berada di dalam pelukannya. “Pertama, nyokap bokap yang bertengkar. Kedua, Jevan kecewa sama gue. Entah kesialan apa lagi yang terjadi sama gue…” ucap Rara parau. “Lo juga sering banget celaka kalau di dekat gue,” kata Rara pelan. Naren hanya dapat mengelus punggung Rara, berusaha menenangkannya. Ia tak mau salah berbicara. “Saya buatkan sarapan ya, Non,” kata Naren sembari melepaskan pelukannya. Kedua mata Rara sudah berkaca – kaca. Ia meng
Read more
Menemani
Sandra meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya, meminta Naren untuk tidak mengeluarkan suaranya. Sandra berbisik pelan, “Gue mau main sama Rara.” Naren menatap Sandra, kemudian ia menarik tangan gadis itu agar bisa leluasa berbicara. “Lo tahu darimana alamat Rara?” tanya Naren menatap gadis di hadapannya curiga. Sandra terkekeh kecil, “Santai dong. Gue suruh orang buat cari tahu,” kata Sandra. “Oh terus ketemu alamat ini ya,” ujar Naren. Ia kemudian menyandarkan tubuhnya di dinding. Sandra menoleh pada Naren, “Lo kok pakai baju begitu?” tanya Sandra penasaran. Sandra menatap Naren dari atas ke bawah, laki – laki itu hanya memekai kemeja formal dan celana formal. “Kaya orang abis pulang kerja,” komentar Sandra jujur. Naren menatap dirinya sendiri, ia menggaruk tengkuknya. “Terserah gue,” balas Naren singkat. “Lo ada masalah sama Rara?” celetuk Sandra. Naren menggeleng. Matanya sesekali melirik belakang Sandra, khawatir Rara selesai di taman belakang. “Terus ngapain nginti
Read more
Panik
Naren turun dari mobil sedan, ia memberikan kunci mobilnya ke penjaga yang berjaga di pintu depan. “Tolong ya,” kata Naren. Ia melangkahkan kakinya ke lift yang berada di perusahaan Kidan. Salah satu pegawai masuk ke lift dengannya. “Mau ke lantai berapa?” tanya wanita itu tersenyum ramah. “Lantai paling atas,” jawab Naren. Wanita itu tampak terkejut. Ia menekan nomor 17, kemudian menekan nomor 5. Wanita itu melirik Naren terus – terussan hingga lelaki itu jengah akan kelakuannya. “Anda mau mengatakan sesuatu?” tanya Naren. Wanita itu tersenyum manis, “Kalau boleh tahu Kakaknya kerja di bagian apa? Saya baru melihat pertama kali,” katanya dengan nada penasaran. Naren menatap wanita itu datar, “Saya pengawal. Saya memang jarang kesini,” sahut Naren dingin. Sebelum wanita itu mengatakan sesuatu, Naren menyela, “Sebentar lagi lantai lima,” infonya. Ting Suara lift terbuka. Wanita cantik itu keluar, ia tersenyum sopan pada Naren sembari melambaikan tangannya. “Kaya anak magang,”
Read more
Pelarian
Rara melambaikan tangannya pada Sonia. Ia berpisah dengan sahabatnya karena berbeda arah. Sonia sudah menawari Rara untuk diantar. Sayangnya, gadis itu menolak. Rara melangkahkan kakinya ke halte bus. Rara menyalakan ponselnya yang sejak tadi ia matikan. Ia mengerutkan keningnya ketika layar ponselnya tidak menyala. “Jangan bilang habis,” gumam Rara sembari menekan tombol hidup di ponselnya. Rara meneguk ludahnya kasar karena ponselnya tak kunjung menyala. Ia memperhatikan sekelilingnya jalanan terlihat sepi. Ia menatap jam tangannya, sudah jam 9 malam. Rara duduk di kursi yang ada di halte bus. Ia menghela napas, perasaannya tak tenang. “Gue harus kemana?” tanya Rara bingung. “Gue gak tahu rumah Sonia.” Ia tidak membawa uang sedikitpun. Rara tadi membayar ojol dengan isi dana yang masih tersisa. “Apa gue ke rumah lama aja?” monolog Rara. Akhirnya, Rara memilih untuk ke rumah kecilnya. Tidak sampai 15 menit, Rara sudah sampai di rumah lamanya. Beruntung, kediaman lamanya dekat.
Read more
Hukuman
“Mereka ngapain?” tanya Rara menatap dari teras rumah para pria yang kemarin sempat membuatnya takut. Bibi Nia dengan takut menjawab, “Bibi bingung jelasinnya.” Rara menoleh pada Bibi Nia, “Aku harus nanya ke Naren?” tanya Rara. Ia mencari sosok Naren yang tidak dapat ia temukan. “Naren sedang berlari selama lima puluh keliling,” sahut Bibi Ica yang sejak pagi memperhatikan kegiatan kelima pengawal itu dan Naren. “Lima puluh? Terus mereka berapa?” tanya Rara menoleh pada Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanannya. “Bibi tidak tahu, Non. Naren selalu lebih banyak dibanding bawahannya, itu sebagai bentuk hukuman untuknya sendiri,” jawab Bibi Ica. “Tapi, dia bisa pingsan,” gumam Rara khawatir. “Apa Nona akan tetap melihat kegiatan mereka?” tanya Bibi Nia. Rara memandang mereka semua dari jauh. Ia menatap pohon rindang yang kira – kira bisa membuatnya berteduh. “Aku bisa lihat dari situ gak?” tanya Rara sembari menunjuk pohon rindang itu. “Aku akan ambil kursi dulu.” “Nona yakin?”
Read more
Loker
Rara tertawa meremehkan, “Sok tahu lo,” tanggap Rara. “Saya perlu menjelaskan semuanya tentang mereka sekarang ya,” kata Naren menatap kedua pelayan yang berdiri di belakang Rara. Lelaki itu mengkode kedua pelayan itu untuk memberi jarak untuk keduanya. “Kita permisi dulu ya, Non,” izin Bibi Ica. Bibi Ica dan Bibi Nia berlalu dari samping Rara. Rara menatap kelima pria itu. “Kalian boleh istirahat dulu,” kata Rara menyinggungkan senyumnya. Terdengar helaan napas lega dari kelima pengawal itu. Naren menatap datar kelima pengawalnya, “Tidak. Berdiri di depan pohon rindang itu,” perintah Naren. “Naren!” sentak Rara kesal. Naren menoleh pada Rara sebentar, kemudian matanya kembali fokus menatap bawahannya. “Kalian ngapain disini?” tanya Naren dingin. Kelima pengawal itu berlari kecil ke bawah pohon rindang. Kemudian berdiri di depannya, menatap pohon rindang itu. “Jadi, kita mulai darimana?” tanya Naren. Ia menatap ekspresi Rara yang kesal. Rara menghela napas panjang, “Lo gak kas
Read more
Surat
Jevan menyamankan posisi duduk di mobilnya. Ia membuka kotak itu perlahan. ‘Ini barang masa kecil gue ya.’ Batin Jevan menatap mainan mobil – mobillan yang dibelikan sang Ibu saat ia menginjak usia lima tahun. Jevan mengeluarkan berbagai mainan masa kecilnya. Dimulai dari mobil mainan, action figure favoritnya, dan robot yang bisa berubah menjadi mobil. Jevan tersenyum sendu melihat mainan masa kecilnya. Jevan mengambil surat yang terletak di paling dasar kotak itu. Jevan menarik napas panjang kemudian mengeluarkannya perlahan. ia berusaha mengatur detak jantungnya. Sret Halo Jevan, anak kebanggaan Ibu Kalau surat ini ada di kamu dan dibuka olehmu, artinya kamu sudah berhasil menemukan tempat terpencil ini. Jalanannya rusak ya. Kamu pasti kesulitan menghadapi rintangan. Mobilmu tidak apa, kan? Jevan menutup surat dari Ibunya. Ia terkekeh kecil membacanya. “Mobil aku gak apa, Bu,” tanggap Jevan sembari kembali membuka surat dari Ibunya. Sayang… Ibu minta maaf ya sudah meni
Read more
Menemui Setelah Masalah
Naren membungkuk sopan pada pria di depannya. “Maaf, saya datang terlambat,” kata Naren sopan. “Apa saja yang kamu lakukan dari kemarin?” tanya pria itu dingin. Naren mengangkat kepalanya. “Saya sibuk akan tugas –“ Prang Naren menahan napasnya melihat atasannya melemparkan vas bunga ke lantai hingga pecah. “Kamu! Akhir – akhir ini kerjamu berantakan!” sentak pria itu kesal. Naren menundukkan kepalanya mendengar emosi yang meledak dari atasannya. “Saya memang salah. Tapi, saya sudah mendapatkan rekomendasi tempat untuk makan malam,” kata Naren pelan. “Ambil itu, Na,” perintah Tuan Zarhan pada sekertarisnya yang bernama Naziah. “Baik, Bos,” sahut sekertaris itu sembari mendekati Naren. Naziah memberikan map pada Tuan Zarhan. Sekertaris itu mengambil posisi berdiri di samping atasannya. Tuan Zarhan membaca dengan tenang isi map itu. Pria setengah abad itu tak mau melewati detail yang ada dari masing – masing tempat. “Saya akan kesini dengan keluarga inti,” terang Tuan Zarhan me
Read more
PREV
1
...
45678
...
12
DMCA.com Protection Status