All Chapters of Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu: Chapter 31 - Chapter 40
199 Chapters
Part 31. Hah ... Oom Ganteng
Meski kesal, Bram langsung beranjak dari duduknya. "Pak, nanti ada meeting pukul sepuluh dengan Bapak Santoso," ucap Shintia saat Bram keluar dari ruangan.Bukannya merespon ucapan Shintia, Bram malah balik bertanya pada sekretarisnya yang masih gadis itu. "Bapak Arjuna ada nelpon kamu lagi nggak?" tanyanya memastikan.Shintia mencoba mengingat tak lama kemudian, "Tadi sih nggak ada, Pak. Tapi …," Belum selesai Shintia berbicara, Bram langsung memotong pembicaraannya."Kenapa kemarin?" desak Bram dengan mata menatap tajam. Namun, belum sempat Shintia menjawab, dering ponsel Bram di saku celana sudah berdering nyaring."Huuffttt … untung teleponnya berdering di waktu yang tepat! Kalau tidak …," ucap Shintia dalam hati."Ya, Pak." Bram menjawab sambungan telepon dari Arjuna sambil melanjutkan langkah. Tak dia hiraukan lagi penjelasan yang belum selesai dari Shintia."Dimana kamu?""Saya sedang menuju kesana, Pak."Bram mempercepat langkah meski di dalam dadanya terasa sesak. Emosi yang b
Read more
Part 32. Wajah Devina Murung
Mata Devina tampak berbinar menatap layar ponsel. Seulas senyum pun terukir manis di bibir tipis merah jambu itu. Dia tampak menyisir pandangannya terutama ke arah pintu kamar utama."Halo, Oom Ganteng," sapa Devina ramah, tapi sambil berbisik. Tanpa memanggil Ratna, dia putuskan mengangkat telepon dari Arjuna. Ada semilir kenyamanan di hati Devina jika berurusan dengan berparas tampan ini."Hai, Cantik. Kok bisik-bisik? Mama mana?" Arjuna tak kalah ramahnya dalam berujar dengan Devina."Jangan keras-keras, Om. Nanti mama dengar. Mama lagi di kamar mandi. Mama nggak tahu kalau Nana angkat. Oom jangan bilang-bilang mama, ya!" ancam Devina, tetap dengan berbisik dia menjelaskan.Supaya selaras dengan Devina, Arjuna pun menyahuti dengan ikut berbisik. "Hmm … begitu. Okeey, Oom janji. Nana lagi apa?""Lagi nonton aja, Om. Oh iya, Oom ganteng, weekend ini Nana sama mama mau pulang kampung lho," pamer Devina semangat."Wah, ada keperluan apa memangnya di kampung, Na?""Nggak ada sih, Om. Cu
Read more
Part 33. Mobil Berjarak Tiga Meter
Setelah mengunci pintu utama, barulah Ratna sadar kalau putri cantiknya itu sedang tidak baik-baik saja. Devina tertunduk dalam. Dia berdiri di pojok teras. Dia pun menghampiri Devina."Nana … kenapa? Kok jadi nggak semangat seperti ini?" Ratna bertekuk lutut dan memegang kedua tangan mungil putri tercinta."Nana nggak kenapa-kenapa, kok, Ma." Suara pelan sedikit serak pun terdengar. Bersamaan dengan bulir bening yang jatuh. Tak bisa dicegah lagi, air mata yang menggenangi luruh juga. Tangisnya pecah.Tanpa bertanya lagi, Ratna pun memeluk erat tubuh Devina yang cukup berisi ini. Dia berikan pelukan hangat yang senyaman mungkin. Tak berapa lama, saat isakan tangis Devina mulai reda, barulah Ratna melepaskan pelukannya seraya mengusap pelan air mata yang masih tersisa di pipi mulus Devina."Ada yang salah dengan mama, Na? Apa Devina marah karena mama desak tadi?" Ratna mencoba menerka-nerka. Ratna memang sedikit panik, karena takut kesiangan sampai di Bandung. Apalagi jika menggunakan t
Read more
Part 34. Dicegat Sebelum Masuk Mobil
Satu jam perjalanan, Arjuna menepikan mobil sportnya di sebuah restoran. Meski Ratna meminta untuk tidak mampir, Arjuna tetap bersikeras. Tentu, bukan tanpa alasan Ratna menolak. Selain terkesan merepotkan, Ratna ada sesuatu yang dia takutkan.Mobil yang mengikuti mobil Arjuna pun ikut menepi. Dia memarkir agak terpisah oleh empat kendaraan lainnya. Tak lama Arjuna, Ratna, dan Devina masuk. Dia pun ikut masuk ke dalam restoran itu. Hanya saja dia memilih untuk duduk di lantai satu, sedangkan Ratna, Arjuna, dan Devina memilih menikmati hidangan di lantai dua."Nana mau makan apa? Pesan aja! Biar kenyang dalam perjalanan apalagi Jakarta-Bandung macet kalau akhir pekan begini," jelas Arjuna saat Devina membaca buku menu yang diberikan pelayan.Devina memperlihatkan tanda oke dengan tangan kanannya pada Arjuna. Tak lupa senyuman manis selalu tersematkan saat dia menatap Arjuna. "Oke, Oom ganteng. Nana sih nggak masalah macet, biar bisa lama-lama di perjalanan," celetuk Devina polos tanpa
Read more
Part 35. Mencari Cara Lain
Pergerakan Arjuna dan Ratna hampir bersamaan berhenti. Kemudian, mereka sama-sama menoleh ke sumber suara tak jauh terdengar di belakang. Mata keduanya terbelalak sempurna menatap lelaki berpakaian serba hitam itu yang perlahan membuka kacamata dan masker secara bergantian."Mas Bram," sentak Ratna kaget bukan main. Dia melirik pada Arjuna. Mereka beradu pandang."Bram? Kenapa dia bisa di sini?" Arjuna turut bertanya-tanya meski dalam batin saja.Bram berjalan mendekat dengan seulas senyum yang sulit diartikan. Gurat wajahnya tampak lentur tak mengisyaratkan amarah sama sekali.Ratna berusaha bersikap biasa-biasa saja. Meski kehadiran Bram sangat tidak dia inginkan saat ini. "Mas Bram juga di sini?" tanya Ratna."Ya, seperti yang kamu liat, Rat," sahutnya sembari melirik Ratna dan Arjuna bergantian."Suatu kebetulan ya, Pak. Kita bisa bertemu di sini," tambah Bram kemudian."Ya … kebetulan yang pas," balas Arjuna santai."Anda itu manusia licik Arjuna, berkedok pahlawan di depan Ratna
Read more
Part 36. Hatinya Terbakar Api Cemburu
Melihat Devina mengalihkan pandangan pada Ratna, Bram pun seolah paham."Bisa banget kamu ngambil kesempatan ini, Mas!" umpat Laras dalam hati. Kehadiran Bram sangat mengganggu relung hatinya. Dan, bukan semata karena ada Arjuna."Gimana, Rat? Boleh aku ajak Devina makan siang bareng? Mumpung juga soalnya," ucap Bram dengan nada memelas. Parahnya, dia malah tidak menawari Ratna dan Arjuna untuk ikut. Bram melirik sekilas pada Arjuna. Mata keduanya beradu pandang, penuh arti."Ya, nggak masalah kalau hanya sekedar makan siang, Mas. Soalnya aku juga mau istirahat lepas itu," sahut Ratna agak berat.Perempuan manapun memang akan sulit melupakan apa yang pernah diperbuat oleh orang yang pernah dia sayang. Menerima pasangannya dari bukan siapa-siapa, menerima pahit saat bersama, serta perlakuan mertua yang seenak hati saat anaknya sukses, memang butuh waktu untuk melupakan perlakuan buruk itu semua. Terlebih hal itu sangat menyakitkan bagi Ratna, dia terima setiap hari selama bertahun-tahu
Read more
Part 37. Dia Pengganggu
Bram kembali meletakkan ponselnya, urung menggubris panggilan video call istri sirinya itu."Kok tidak diangkat video callnya, Pa? Biar Tante Laura tahu kalau papa lagi sama Nana." Celetukan Devina membuat Bram terbatuk."Nanti aja Papa video callnya. Papa lagi nggak mau diganggu siapa-siapa." Bram beralasan supaya Devina merasa bahagia. Namun, yang terjadi ucapan Devina malah menyerang batin Bram"Ooo … jadi Tante Laura itu pengganggu ya, Pa? Tapi kenapa papa lebih memilih Tante Laura ketimbang mama?"Wajah Bram memerah bagai udang rebus. "Sudah, Devina. Kita nggak usah bahas Tante Laura ya! Kamu lanjutin aja makannya!" pinta Bram mengalihkan topik.Devina tak lagi protes, dia lanjut menikmati hidangan."Papa boleh tanya sesuatu nggak sama Devina?" Bram kembali bersuara setelah beberapa menit hening tanpa suara."Papa mau tanya soal apa?""Devina kok manggil Bapak Arjuna dengan sebutan Oom Ganteng sih? Kenapa nggak manggilnya Om Arjuna aja?" tanya Bram penasaran."Kan Oomnya emang gan
Read more
Part 38. Kafe Hotel
Ratna menjauhkan ponselnya untuk melihat jam di layar ponselnya yang sudah menunjukkan pukul delapan malam."Boleh, Mas. Tapi aku nggak bisa lama-lama.""Setengah jam aja paling. Aku tunggu di dekat lift!"Sambungan telepon berakhir atas persetujuan kedua belah pihak.Selang beberapa menit keduanya hampir bersamaan keluar dari kamar masing-masing yang kebetulan bersebelahan."Gimana Devina? Jam berapa tadi tidurnya, Rat?" tanya Bram membuka pembicaraan setelah keduanya memesan minuman."Aman aja. Lepas Magrib dia udah tidur kok, Mas!""Oh, sudah sejak tadi aku pikir baru tidur.""Devina kalau kecapekan emang begitu. Cepat tidurnya."Seorang pelayan perempuan datang dengan sebuah nampan di tangannya, secangkir kopi hitam dan lemon tea hangat. Kemudian, dia menaruh di atas meja."Terus, Bram gimana? Dia ada hubungi kamu?" tanya Arjuna penasaran."Aku nggak ngecek sih. Kenapa emang, Mas?""Nggak cuma nanya aja."Keduanya tampak canggung seperti orang kehilangan bahan pembicaraan."Diminum
Read more
Part 39. Nikah Secara Negara
Bram menatap Laura dengan tatapan kurang suka. Dia memang sengaja berkutat di depan laptop guna menghindari perbincangan lebih dalam dengan Laura. Badannya yang di rumah tapi pikirannya menerawang ke Ratna yang masih berada di Bandung.Bram seolah membayangkan Ratna bermesraan dengan Arjuna seperti yang pernah dia lakukan sewaktu memperkenalkan Laura pada mantan istrinya itu."Kok kamu gitu natap aku, Mas? Kayaknya kemarin itu cuma pura-pura ya! Jangan-jangan kamu lagi ngerencanain sesuatu?" tuduh Laura tanpa tembakan meleset. Laura tak suka berbasa-basi kala moodnya sudah berantakan. "Lau, please. Jangan mancing-mancing masalah. Bisa nggak sedikit aja kamu ngertiin aku. Posisi aku di perusahaan itu Manajer, pasti sibuk. Nggak bakalan kenal sama waktu senggang. Kok kamu makin ke sini makin riweh.""Mas, sibuk kamu yang mana nggak aku ngertiin. Lagian aku cuma minta waktu buat ngobrol aja. Emang nggak bisa? Dulu aja, kamu bela-belain telat pulang ke rumah demi bisa ngobrol sama aku. Se
Read more
Part 40. Alun-Alun Kota
Darah Wati seolah berhenti mengalir. Bagai disambar petir tanpa aba-aba."Tidak, jangan sampai itu semua terjadi. Kenapa sekarang dia jadi bahas-bahas hamil? Bram gimana sih!" umpat Wati dalam hati."Iya, Ma. Kenapa emangnya? Kok kaget begitu?" Laura seolah peka dengan tingkah yang terlihat.Wati hanya berusaha mengulas senyum, "Mama pikir kamu sama Bram mau nunda dulu, apalagi Bram juga baru pisah sama Ratna. Berkasnya di pengadilan 'kan juga belum beres.""Ya nggak masalah kali, Ma. Aku hamilnya juga sembilan bulan, nggak mungkin juga dong selama itu beresin berkas di pengadilan.""Terus status anak kamu gimana nanti? Kalian 'kan nikahnya secara siri?""Ya nikah lagi dong, Ma. Abis semua urusan persuratannya beres di pengadilan. Nanti baru ajuin buat nikahan aku secara negara," sahut Laura enteng. Wati ngerasa dadanya semakin sesak hampir tak ada rongga untuk dia menghela napas."Apa nggak ditunda lagi aja dulu program hamilnya, Lau?" Wati tak bisa menahan diri, rasa ketakutan terla
Read more
PREV
123456
...
20
DMCA.com Protection Status