All Chapters of Pesona Babang Ojol : Chapter 21 - Chapter 30
43 Chapters
Benda Keramat
Benar juga, mana ada ustaz pandai merayu? Heh, dia pasti ustaz gadungan. Penampilannya saja yang menipu, nyatanya dia dosen mesum dan pandai merayu. “Tunggu dulu!”Aku menoleh ke belakang, Pak Arfan meminta pelayan membungkus makanan.“Tolong bawa ini, Pak. Cacing di perut Syifa sudah berdemo,” ucapnya sambil melirik ke arah perutku. Peka sekali telinganya, bahkan dia bisa mendengar suara cacing di perut. Aku memang belum sarapan ketika datang ke sini. Dia tersenyum ke arahku, jangan-jangan dia tahu isi hatiku. Aku menyilangkan kedua tangan di dada. “Makasih, Nak Arfan.” Kami segera keluar sebelum dia membuka semua aibku. Aku dan ayah sudah sampai di luar, tetapi mobil angkutan umum yang tadi kami sewa sudah tiada. “Ayah coba cari dulu, ya! Mungkin dia memarkirkan mobilnya di luar.”Aku menghentak-hentakkan kaki kesal. Sepertinya supir angkutan itu tidak mau dibayar. Belum dikasih uang sudah kabur begitu saja. Dasar supir gak ada akhlak!“Fa, mobilnya sudah tidak ada. Gimana kita
Read more
Akting
Aku keluar dengan perasaan bahagia. Kututup pintu dan betapa terkejutnya aku kala melihat pemandangan di depan pintu kamar. Aku seperti sedang mimpi. Mana mungkin tamu tidur di lantai atas? Aku melihat sekeliling, ada beberapa kamar yang tertutup rapat. Nampak indah sebuah pemandangan di samping rumah. Aku mengintip dari jendela kaca yang besar. Ada taman bunga kecil dan gazebo. Tidak ada kolam renang, hanya ada kolam ikan. Aku menoleh saat mendengar seseorang membuka pintu ruangan di sebelah kamar yang kutempati. Seorang wanita berjilbab menghampiriku. Dia cantik sekali, kulit putih, hidung mancung, dan giginya gingsul. “Mbak Syifa, sudah ditunggu Mas Arfan di bawah.”“Mas Arfan?” Mengapa semua orang memanggilnya ‘Mas’?Wanita itu tersenyum kemudian memegang tanganku. Tangannya halus dan putih, tidak mungkin dia pembantu di rumah ini. “Iya, kami semua yang ada di sini memanggilnya ‘Mas’ karena dia laki-laki. Kalau wanita pasti dipanggil Mbak.”Mengapa aku lega mendengar jawabanny
Read more
POV Arfan
Aku baru saja pulang dari Yogyakarta satu minggu yang lalu karena diminta untuk menjadi dosen selama satu bulan ke depan. Ayah sibuk dengan bisnisnya di luar kota, sehingga dia memintaku untuk sementara menggantikannya. Aku sudah lulus S2 tiga bulan yang lalu, tetapi aku tidak lantas pulang karena ayah akan memintaku untuk segera menikah. Namun, aku selalu menolaknya dengan alasan pekerjaan. Mencari pekerjaan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, apalagi mencari jodoh. Aku sudah berusaha kesana-kemari, tetapi tidak satupun perusahaan menerimaku. Ayah selalu memaksaku menjadi dosen, sungguh hal yang membosankan bagiku. “Gaji dosen itu sedikit, bagaimana Aku menghidupi anak dan istriku?” Selalu itu yang kukatakan jika ayah memaksaku menikah. Akhirnya dia diam dan membiarkanku menempuh jalan sendiri. Sebagai seorang rektor, ayah dengan mudah dia bisa saja memberikan gaji yang banyak untuk anak kesayangannya. Tetapi aku menolak, aku lebih suka menjadi ojol, bisa cuci mata setia
Read more
Ikatan Batin
Syukurlah akhirnya dia pulang juga. Aku kembali mencuci perabot dapur yang kotor. Tadi pagi kami belum sempat beres-beres karena dikejar waktu. Aku hanya memasak nasi, sedangkan lauknya beli di warung. Kami masih punya sisa bubur untuk jualan nanti malam. Jadi, siang ini ayah bisa istirahat dengan tenang. Kulihat nasi tadi pagi masih banyak. Aku tidak perlu memasak lagi. Aku melihat sebuah bingkisan dari rumah Pak Shaka. Lumayan dapat sate ayam 20 tusuk. Aku mengambil sebuah piring dan mangkuk untuk menyajikannya. Piring untuk sate dan mangkuk untuk bumbunya. Namun, saat aku menuangkan bumbu, seperti ada yang menyenggol tanganku. Alhasil mangkuknya pecah. Untung saja bumbunya belum kumasukkan semuanya. Aku mengambil sapu dan membersihkan sisa pecahan mangkuk, tetapi nahas. Jari telunjukku terkena pecahan beling. Darah mengucur deras hingga tercecer di lantai. Aku segera mengambil obat untuk lukaku.“Ya Allah, Nak. Tangan kamu kenapa?”Ayah berlari menghampiri saat melihatku mengamb
Read more
Rumah
Heh? “Gak bisa lah, Pak. Yang ada tuh lelaki boncengin perempuan. Bukan sebaliknya.”Dia pasti mau modus. Kalau bisa naik mobil, kenapa mesti naik motor? Paling dia mau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. “Pasti kamu mikir kotor, dasar omes!” “Bapak tuh yang omes, pasti Bapak mau grayang-grayangin aku dari belakang, ’kan?”“Tuh ‘kan suuzon. Memangnya kamu mau aku yang di depan? Nanti kita sama-sama nyemplung ke got.”Benar juga katanya. Kalau masuk got malah tambah parah. “Ya sudah aku antar, tetapi jangan pegang-pegang!” Mendengar jawabanku, dia tersenyum semringah.Kemudian kami menikmati segelas es teh masing-masing hingga tandas. Sudah tidak ada obrolan lagi di antara kami, benar-benar canggung.Tidak lama kemudian datang seorang laki-laki memakai baju lusuh, banyak oli di bajunya. Nampaknya orang dari bengkel. “Kuncinya mana, Fan?”Pak Arfan memberikan kunci dan uang yang didapatkan dari Nia tadi. “Sekalian servis ya. Nanti antar ke rumah kalau sudah jadi.”“Tumben kas
Read more
Kepo
“Mama?” ucapku pelan.Pak Arfan nampak terkejut, dia membelalakkan matanya. Aku penasaran dengan nama ‘mama’ di ponsel ini. Sebenarnya ini ibu atau istrinya. Jangan-jangan dia sudah beristri, dan bunga-bunga itu milik istrinya.Angkat tidak, ya? Angkat aja lah, daripada penasaran. Kugeser tombol warna hijau dan panggilan terhubung.“Arfan, kamu pulang ke mana? Buruan balik ke rumah! Mama khawatir denger kabar kamu kecelakaan.” Aku segera menjauhkan ponsel dari telingaku. Kencang sekali suaranya. Khas emak-emak yang sedang memarahi anaknya.Aku harus jawab apa ini? Aku bingung. Bukankah Pak Arfan sudah sampai di rumah?“Maaf, Pak Arfan sudah sampai rumah. Saya yang—“ Ah sial, belum selesai aku berbicara dan ponselnya direbut Pak Arfan.“Aku pulang ke rumahku, Ma. Lebih dekat pulang ke sini daripada ke rumah mama.”Rumahku? Berarti ini rumah Pak Arfan sendiri? Hebat sekali dia, eh tapi bisa jadi dia dibuatkan rumah orang tuanya. Anak zaman now gak mungkin bisa bikin rumah sendiri di usi
Read more
Keceplosan
Duh, ‘kan aku keceplosan. Bagaimana ini? Semoga Nindi tidak curiga. Ah, kenapa aku jadi gugup begini. “Aku juga melihatnya tadi.”“Oh, ya?” tanya Nindi sembari penatapku penuh selidik.Aku harus segera menyembunyikan gamisku. Kalau dia memang melihatku, dia pasti akan mengenali gamis yang kupakai tadi. Di mana pula jilbabnya? Menyebalkan, kenapa bisa sampai tercecer seperti ini?Aku melihat ke arah kakiku. Baru saja aku berganti baju. Gamis warna ungu pemberian Pak Arfan masih tergeletak di dekat almari. Aku melempar asal gamisku ke bawah dipan. Untung saja Nindi membelakangiku.“Iya, aku ketemu di jalan sama Faiha.”Duh, mulut! Lincah amat bohongnya. Aku harus bilang apalagi ini? Faktanya memang akulah yang menantarkan Pak Arfan sampai ke rumahnya. Aku menyusul Nindi dan berbaring di sampingnya. Dipan dengan ukuran 200x180 cm ini cukup luas untuk kami berdua. Kami menghadap ke atas melihat genteng dan kayu. Sejenak kami termenung.“Fa, aku tuh ngefans ama Pak Arfan. Jadi, aku mau k
Read more
Wanita Itu
Pagi ini langit nampak indah, secerah wajahku yang sedang berbahagia. Aku sudah berada di toko sembako milik Pak Herman. Toko buka mulai pukul 06.00-17.00. Aku selalu masuk shift pagi, sehingga sudah bisa pulang setelah Zuhur kemudian membantu ayah berjualan. “Mbak, telurnya 2 kilogram sama terigu 3 kilogram.” Seorang ibu-ibu muda penjual kue selalu menjadi langgananku setiap hari. “Enggak sekalian sama margarin, Bu?” Biasanya dia akan membeli berbagai bahan pengembang makanan dan pelengkapnya. Toko ini selalu rame setiap hari. Pak Herman bahkan memperkerjakan 4 orang karyawan di tokonya. Aku masuk shift pagi bersama Udin. Dia yang membantu menata belanjaan dan aku yang melayani serta menulis catatan belanjaan. Sedangkan di kasir sudah ada Pak Herman yang setia menunggu recehan.“Margarinnya masih, Neng. Kemarin sudah beli satu dus.”Seperti halnya toko grosir, harga barang akan semakin murah jika membeli lebih dari 3 pcs. Aku memberikan nota di kertas kemudian Udin yang menata da
Read more
Ide Gila
Wanita yang kutemui tadi pagi adalah wanita yang pernah berjumpa di makam waktu itu. Ternyata dia sengaja meminta ayahnya untuk melamar Pak Arfan. Dunia sudah terbalik. Namun, tidak satupun pesannya yang dibalas Pak Arfan. Benar-benar lelaki cuek bebek. Dia tidak mau memberikan harapan palsu, tetapi sepertinya wanita itu tidak terima.“Syifa, jangan kelamaan melamun! Nanti kesambet.” Ucapan ayah membuyarkan lamunanku. Duh, kenapa aku jadi bengong begini? Sebaiknya aku menanyakannya langsung kepada Pak Arfan. Aku berdiri dan hendak masuk ke rumah. Malam Jum'at biasanya sepi pembeli.Aku mengambil ponsel di kamar, ada sebuah pesan dari ‘cewek barbar'. [Otewe.]What? Dia udah di jalan. Aku segera berdiri di depan cermin melihat penampilanku. Dia bilang ingin melihatku memakai baju sexy, enak saja! Aku mengenakan celana jeans hitam dan jaket abu-abu gambar kelinci di punggung. Lumayan longgar dan tidak ketat. Aku keluar saat mendengar bunyi motor gede. “Siapa, sih, malam-malam begini
Read more
Nackal
Aku sangat penasaran dengan kado yang diberikan Pak Arfan. Perlahan kubuka kotak berwarna pink itu, dan ternyata isinya .... Benar-benar keterlaluan! Baru saja dia terbangkanku ke awan, kini sudah dia hempaskan. Ingin rasanya aku memakinya. Dasar cowok nackal! Belum juga jadi suami, dia sudah memberikanku baju tidur seperti ini. Aku menenteng sebuah gaun tipis warna violet. Kemudian berdiri di depan kaca. Begitu mengerikan, tipis seperti saringan teh. Tidak ada lengannya pula. Ayah pasti akan mengira anaknya menjadi gembel jika memakai pakaian kurang bahan seperti ini.Aku melipat kembali gaun itu. Tanpa sengaja aku melihat label harganya. Ya Allah, mahal banget baju beginian. Kalau beli daster udah dapat 5 biji. Pemborosan sekali. Kemudian kuambil gamis warna mocca di bawahnya. Sangat manis dan elegan. Banyak payet berbentuk bunga dan manik-manik yang bling-bling. Ternyata bajunya berat, ada nih kalau satu kilogram. Aku sudah tidak sabar menunggu hari itu tiba. Kulihat pantulan d
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status