Semua Bab GAIRAH YANG TERTAHAN: Bab 71 - Bab 80
164 Bab
BAB 71 Masa Tenang
"Mbak Dyan kok diam saja?" tanyaku sambil tersenyum. "Ayo masuk, Mbak. Suamiku sudah mengajak kita untuk pulang sama-sama. Atau Mbak mau jalan kaki?"Sengaja sekali aku tidak menyebut nama Mas Rendi, melainkan aku panggil dengan kata 'suamiku'. Ternyata senang rasanya menjadi orang yang tidak terlalu baik pada orang yang memang tidak baik padaku."Mah, ayo naik," ucap Ryo sambil menarik tangan Ibunya. "Aku duluan deh, ya."Baru saja tanganku hendak membuka pintu depan, Ryo merengek pada Mbak Dyan."Mah, aku mau duduk di depan sama Papa."Apakah aku akan mengalah? Oh, tentu saja tidak."Ryo, kalau di depan biar Mama Tia saja, ya."Biasanya aku atau bahkan Ryo sendiri selalu memanggilku dengan sebutan Tante, tetapi kali ini aku sengaja menyebut diriku dengan panggilan Mama.eski padahal aku selalu tahu jika Mbak Dyan selalu mengajarkan Ryo agar dia seolah bersikap pada orang lain denganku.Aku langsung masuk ke dalam mobil, tepatnya di samping Mas Rendi. Terlihat wajah kesal Mbak Dyan s
Baca selengkapnya
BAB 72 Deal!
"Jadi kamu ingin rumah yang mana, Tiana?" tanya Pak Anggara setelah tiga jam lebih kami melihat tiga tipe rumah berbeda di sebuah kompleks perumahan yang tidak jauh lokasinya dari kantor."Setiap rumah, apa potongannya sama, Pak?" tanyaku balik.Sebelumnya aku dan Pak Anggara sudah berkompromi masalah hal ini untuk berpura-pura berakting kalau Pak Anggara memang selalu seperti itu pada beberapa karyawan yang akan diberikan bantuan dana saat membeli rumah.Hal ini memang tentu saja akan menimbulkan kecurigaan, hanya saja Mas Rendi sama sekali tidak mempermasalahkan, ia juga tidak banyak bicara apalagi disaat aku bilang jika Pak Anggara akan memberikan bantuan sepuluh sampai dua puluh persen dari harga rumah tersebut.Itu memang sudah aku pikirkan, utamanya agar Mas Rendi tidak akan curiga sebab nantinya Mbak Dyan pasti akan mempengaruhi dia perihal kedekatanku dengan Pak Anggara yang mungkin terasa berlebihan.Jika masalah uang disaat Mas Rendi memang akan banyak mengeluarkan budget en
Baca selengkapnya
BAB 73 Ada Kesempatan
Tiba-tiba saja raut wajah Mbak Dyan berubah, kegugupan pun tidak bisa ia tutupi begitu saja. Dia sudah berani memercikan api di hubunganku dengan Mas Rendi, sekarang baru saja aku membeli bensinnya, ia sudah mulai panik sendiri, padahal belum aku tuangkan agar api itu bisa begitu besar. Cukup untuk melahapnya.Itulah jika ucapan tidak sesuai dengan perbuatan. Saat kali pertama bertemu denganku, dengan kesombongannya Mbak Dyan bisa menikah dengan pria yang jauh lebih baik secara finansial dari Mas Rendi. Sampai-sampai ia mengumbar sendiri dengan membandingkan kehidupan rumah tangganya, seolah tengah mengejekku yang mendapatkan Mas Rendi, ditambah Ibu Mertuaku yang tidak pernah sehari pun libur untuk mencampuri urusan rumah tangga kami. Dan lihatlah sekarang, bak menjilat ludahnya sendiri. Dia menginginkan kembali ke kehidupan Mas Rendi yang sudah jauh lebih baik. Aku pun paham, mengapa Mbak Dyan tidak meminta Mas Rendi untuk menceraikan aku terlebih dahulu, karena dia sudah memenangka
Baca selengkapnya
BAB 74 Tidak Direncanakan
"Gak, ah. Rumah baru, semuanya perabotan di dalamnya juga harus baru. Toh bakal pakai uang hasil kerja aku, kok. Aku sama Mas Rendi udah sepakat, rumah dibeli pakai uang Mas Rendi, kalau isinya baru aku nyicil beli dari gajian tiap bulan. Barang-barang aku dari rumah lama yang sekarang ada di rumah Ibu, kalau memang dibutuhkan pakai aja, Mbak. Biar gak boros beli-beli barang baru. Kasian Mas Rendi baru beli rumah, masa harus beli ini itu juga. Sebisa mungkin jangan jadi istri yang menambah beban suami. Iya kan, Mas?" Aku langsung bersandar dipundak Mas Rendi, seperti sedang bermanja-manja. Sengaja membiarkan Mbak Dyan melihatnya dari belakang.Sebelum berpisah nanti, akan aku pastikan Mbak Dyan tidak akan mendapatkan apa yang dia inginkan dari gaji Mas Rendi yang sudah besar. Biarkan ia sibuk melunasi rumah juga untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya untuk Ibu. Sehingga tidak ada uang lebih untuk Mbak Dyan berfoya-foya.Tak lama kemudian, kami pun sampai di sebuah restoran mewah. Temp
Baca selengkapnya
BAB 75 Mengkhawatirkanku
Jelas aku tidak mengerti penjelasan apa yang diinginkan oleh Evelyn. Padahal semuanya sudah dibahas dimeja tadi soal mengapa aku dan Pak Anggara bisa makan bersama dengan Suamiku pula. Aku menceritakan tentang aku yang akan membeli rumah. Dan sekarang penjelasan apa lagi yang harus aku katakan padanya?"Wanita yang bernama Dyan itu.""Mbak Dyan? Kenapa dengan Mbak Dyan?" Aku semakin bingung saja."I didn't hear it wrong, right? Dyan itu calon istri suami kamu? Terus kamu?""Oh itu?" Aku tersenyum sambil membasuh tanganku. "Istri kedua. Itu saja? Kenapa kamu merasa aneh?""Iya, I know. Tapi, kenapa bisa kamu keliatan akur kaya gitu? Malah makan siang sama-sama, terus sebelumnya liat rumah yang mau di beli juga sama-sama. That's just weird.""Apanya yang aneh? Apa istri pertama dan istri kedua gak boleh jalan bareng? Gak boleh pergi sama-sama? Atau harusnya bermusuhan kaya gitu?""No, no, no. Aku hanya merasa di mata kamu itu tidak ada cinta, jadi rasa cemburu itu tidak ada. Makanya kam
Baca selengkapnya
BAB 76 Tanpa Pengaman
Belum saja aku mendapatkan jawaban dari Pak Anggara, Evelyn sudah keluar mengenakan dress berwarna maroon. Dress panjang dengan area dada terbuka menampakkan kulit putih dan lehernya yang jenjang.Cantik!Satu kata saat aku melihat Evelyn keluar dari kamar ganti. Ya, dia memang cantik mengenakan dress itu. Sudah pasti dia akan menjadi pusat perhatian di hari ulang tahunnya sendiri.Seketika saja hati mungilku ini merasa tidak percaya diri. Insecure, bisa dibilang seperti itu. Evelyn masih berusia 26 tahun, terpaut beda 3 tahun denganku. Dia dari keluarga yang terpandang, anak seorang pengusaha, selain itu dia juga berpendidikan tinggi.Dengan itu saja aku yakin semua pria tidak ada alasan untuk tidak menyukai sosoknya. Namun kenapa tidak dengan Pak Anggara? Mengapa dia lebih menginginkanku? Yang saat dengannya nanti, aku sudah menyandang status sebagai seorang janda. Tentu hal itu mengganggu pikiranku, yang sama sekali tidak akan aku mendapatkan jawabannya."Bagaimana?" tanya Evelyn s
Baca selengkapnya
BAB 77 Oleh Mataku
Aku tidak bisa menyalahkan Pak Anggara sepenuhnya, sebab dalam posisi bercinta kami tadi, tentu sulit baginya untuk segera melepaskan dan mengeluarkannya di luar seperti biasanya. Disisi lain yang membuat aku panik, tapi luar biasa nikmat dari kepuasan yang aku rasakan."Tiana? Kamu marah padaku?"Aku menggelengkan kepalaku. "Aku tidak marah."Aku hanya sedikit takut jika aku hamil saja. Sebab rahimku benar-benar sehat karena aku sering memeriksakan kesehatanku, ditambah dengan fakta yang sudah jelas jika Mas Rendi lah yang tidak bisa memberikan keturunan. Aku bukan tidak ingin hamil, hanya saja jangan sampai diwaktu yang tidak tepat. Aku masih harus menjalankan rencanaku sampai akhir."Lalu bagaimana? Tenang saja, aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.""Sepertinya ini bukan masa suburku. Sekarang kamu antar aku pulang saja dulu."Aku langsung merapikan pakaian dan kembali ke tempat dudukku.Sesampainya di rumah, aku langsung membuka sabuk pengaman tanpa berpamitan. Sekali lagi
Baca selengkapnya
BAB 78 Hari H
Hari-hari berlalu, ini adalah H-2 pesta ulang tahun Evelyn. Aku masih belum membeli dress yang akan aku pakai nanti. Sementara Mbak Dyan sudah merengek dan langsung dibelikan oleh Mas Rendi. Padahal Mas Rendi saja mengikuti keputusanku apa aku akan datang atau tidak. Sementara Mbak Dyan sudah heboh sendiri dan begitu antusias untuk datang."Tiana, bikinkan aku kopi," ucap Pak Anggara lewat telepon.Aku mengerutkan keningku, karena tumben sekali satu jam sebelum pulang ia meminta dibikinkan kopi. Aku langsung saja meminta OB untuk buatkan dan aku yang mengantarkannya ke dalam. Entahlah hari itu aku malas sekali beranjak dari mejaku.Tokk ....Tokk ....Tokk ...."Ini kopinya, Pak.""Simpan saja di meja. Oh ya, tolong bantu saja bukakan kotak itu," titah Pak Anggara yang masih duduk dan membaca dokumen di meja kerjanya.Aku menyimpan kopi, lalu membuka kotak itu. Aku terkejut melihat isinya. Apa ini untukku? Percaya diri itu boleh-boleh saja."Ini?""Untukmu.""Tapi katanya aku tidak bo
Baca selengkapnya
BAB 79 Dua Pesta
"Tiana udah lebih sadar diri mungkin, Bu. Istri kalau tidak bisa ngasih keturunan, ya harus siap suaminya cari istri baru. Tidak boleh jadi perempuan yang egois."Sakit!Sangat-sangat sakit rasanya.Jika omongan itu bukan berasal dari mulut seorang perempuan apalagi dia adalah Mertuaku sendiri, mungkin aku tidak akan mengambil pusing. Lebih baik masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, tapi ini sudah melampaui batas rasa sakit hatiku.Belas kasihku untuknya sudah tidak ada lagi, padahal aku menyayangi Ibu Mas Rendi, seperti Ibuku sendiri karena aku sudah tidak punya orang tua. Namun memang tidak ada yang bisa diandalkan, jangan mempercayakan sesuatu yang sudah jelas itu orang lain bagiku."Tia, pendengaran kamu harus lebih tebal lagi, ya. Sebagai sesama perempuan, Bibi bisa merasakan bagaimana jika ada diposisi kamu. Sangat sulit, dan sangat sakit."Aku hanya mengangguk sambil terus melihat Ibu Mertuaku yang mengobrol dengan para tetangga lain, sementara Mas Rendi dan Mbak Dyan te
Baca selengkapnya
BAB 80 Izin Menginap
"Sudah kubilang, sekalian saja aku belikan sofa untukmu," keluh Pak Anggara karena aku memang menolak untuk dibelikan hal lain selain yang aku butuhkan di kamar, semua demi rencana berjalan dengan harapanku."Sudahlah, duduk di lantai pun tidak masalah. Kamu bisa belajar hidup merakyat sedikit," ucapku langsung mengambil kantung makanan yang Pak Anggara bawa dan duduk lesehan tanpa beralaskan apa-apa. Dan Pak Anggara pun ikut duduk.Satu persatu aku buka makanan yang ia bawa. Sangat banyak jika hanya dimakan untuk berdua saja. Namun aku sangat bersyukur, Pak Anggara benar-benar selalu ada untukku disaat aku sedang sendiri dan sebenarnya aku tidak ingin sendiri. Aku suka sepi tapi tidak suka dengan kesepian. Aku suka sunyi tapi tidak suka dengan kesunyian. Karena terkadang aku lebih nyaman di tempat ramai, di mana tidak ada orang yang mengenalku."Berapa lama tadi kamu diluar?" tanyaku sambil melahap pizza yang sudah hampir dingin."Baru satu jam, untung saja makanannya tidak sepenuhn
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
678910
...
17
DMCA.com Protection Status