All Chapters of SATU MALAM BERSAMA IPARKU: Chapter 31 - Chapter 40
60 Chapters
31. Makan Malam Keluarga Rudolf
"Kamu diam saja?" tanya Naren karena Marissa terlihat tak bicara sama sekali. "Hm," balasnya singkat. "Kenapa, Rissa. Akhir-akhir ini kamu sepertinya berubah," tanya Naren lagi. "Karena kamu berubah, Naren. Apa ada sesuatu yang kamu rasakan berubah dari dirimu sendiri sebelum menanyakan mengapa aku berubah?" desak Marissa memberanikan diri. Naren memikirkan apa yang adik iparnya itu katakan. Dia mencerna baik-baik kalimat yang dikemukakan Marissa. Jelas Naren tahu arah kalimat itu, karena dia melakukan semuanya dengan sengaja, sehingga tak heran jika sedikit banyak Naren menerima balasan yang sebenarnya tak dia inginkan. "Aku lebih sering kasar dan memaksa, aku juga beberapa kali membuatmu merasa takut berada di sisiku, benarkan?" kata Naren mengakui. "Bukan hanya itu, Naren. Aku semakin tak tahan karena kamu sering mengataka  kalimat-kalimat berbahaya saat ada Papa dan Tristan. Kamu membuat beban di hatiku bertambah berat
Read more
32. Saling Cemburu
Pembawaan Sisca sudah cukup membuat Marissa mengerti seperti apa keluarga itu. Dia hanya mengulas senyum dan sesekali menjawab pertanyaan saja, tak banyak yang bisa dia lakukan sekarang, mengingat apa yang terjadi bukan hal yang dia senangi. "Marissa tak makan seafood," kata Naren saat melihat Sisca menawarkan makanan olahan laut pada Marissa. "Wah, kamu ini suaminya atau kakak iparnya? Tahu sekali tentang Marissa," jawab Sisca. "Kita makan semeja hampir setiap hari, bukankah itu saja cukup membuat kita hafal dan tahu apa yang bisa dan tidak bisa dia makan?" sahut Naren. Melihat hal itu, Marissa merasa Naren menunjukkan sikap yang dia inginkan. Biasanya Naren akan cenderung mengungkap sedikit hubungan mereka walau tak secara langsung seperti yang dia lakukan akhir-akhir ini. "Ah, kamu pria yang sangat perhatian," kata Tuan Rudolf. "Paman, bukankah kita keluarga? Setiap hari kita saling berinteraksi, kita bahkan hidup seatap
Read more
33. Hubungan Yang Lebih Jauh
Naren melajukan mobilnya ke arah lain, mereka tak menuju jalan pulang. Namun, Marissa nampak diam saja karena dia sudah tahu kemana pria itu akan membawanya. Arah jalannya sangat familiar baginya setelah memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Naren. Tak ada yang asing sama sekali, sehingga Marissa tak melakukan protes apa pun."Ayo turun," ajak Naren pada adik iparnya.Marissa juga segera melepas seatbelt-nya dan keluar dari mobil. Sebuah dermaga yang tak jauh dari pusat kota itu adalah tempat favorit mereka berdua. Tempat yang sunyi sepi itu memiliki pemandangan lampu kota yang gemerlap dan juga pemandangan air laut yang indah. Angin malam berhembus cukup intens malam itu. Sehingga gaun yang Marissa gunakan berayun seiring dengan arah hembusan angin."Dingin?" tanya Naren dengan penuh perhatian."Hm, kamu tahu gaun ini terlalu terbuka untuk malam dingin seperti sekarang," ujar Marissa.Nada bicaranya sudah lebih baik, tak terdengar su
Read more
34. Memaksa Untuk Menyentuh
"Kalian baru pulang? Apa yang terjadi?" cecar Tuan Baruna saat Marissa dan Naren baru sampai rumah. Mereka berdua saling berpandangan, seolah menunggu salah satu dari keduanya memberikan alasan. Dalam batin merasa ragu karena takut mengeluarkan dia alasan yang berbeda."Maaf, Pa. Kami keasyikan mengobrol," kata Marissa yang serempak dengan alasan Naren yang mengatakan jika mereka mengalami ban bocor. "Astaga, apa ini?" Marissa merasa takut karena mereka mengemukakan dua alasan berbeda. Mereka tak bicara apa pun di jalan karena Marissa yang merasa kesal Naren meninggalkan kissmark di area dadanya. Bahkan saat ini Marissa berusaha menutup bekas itu dengan rambutnya yang dibiarkan terurai ke depan. Tuan Baruna merasa terkejut, alasan keduanya sangat berbeda. Sehingga membuatnya menjadi bingung. "Apa ini? Kenapa alasannya berbeda?" tanyanya tegas sekali lagi. "Pa, kami mengobrol dengan santai sampai lupa waktu setelah makan malam. Kemudian di perja
Read more
35. Minta Beli Mobil
Di sisi lain, Tristan baru saja bangun dari tidurnya. Dia berada di rumah Naomi sejak semalam. Makan malam dengan klien hanya sebuah alibi untuk membuang jejaknya yang memang menghabiskan malam dengan Naomi. Katanya terbuka dan mendapati wanita simpanannya itu sudah berdandan cantik di depan meja riasnya. "Selamat pagi, Sayang," sapa Naomi dengan senyum manis. "Pagi, Sayang. Kamu sudah rapi," sahut Tristan sembari meregangkan otot tubuhnya dengan menggeliat. "Tentu saja, bukankah hari ini kita akan ke showroom," katanya. Tristan nampak kaget, baru semalam mereka membicarakan tentang mobil yang Naomi inginkan dan sekarang wanita itu sudah ingin pergi ke tempat jual beli mobil. "Aku sudah tak sabar untuk melihat mobil yang aku inginkan," jelas Naomi. "A-apakah kamu yakin mobil yang kamu inginkan itu sudah ada di showroom? Bukankah itu tipe yang jarang ada dan harus pesan terlebih dahulu?" tanya Tristan. "Tidak, Sayang. Aku sudah berhubungan langsung dengan orang showroom, mobilnya
Read more
36. Dicurigai Selingkuh
"Aku berhenti karena keinginan Tristan, Pa." Marissa memberikan alasan. "Dia memang aneh, karir suksesmu membuatnya merasa tertekan," sahut Tuan Baruna. Marissa hanya diam, dia sudah hampir tergelincir dengan pertanyaan kedekatannya dengan Naren. Tuan Baruna memandangnya dengan cukup intens. Dia merasa ada yang salah antara Marissa dan Naren saat itu. "Rissa, Papa tak mau berspekulasi. Papa merasa ada sesuatu antara kamu dan Naren. Bagaimana menurutmu?" tanya Tuan Baruna. Marissa yang semula mengira kalimat tanya itu tak akan muncul lagi, ternyata justru ditanyakan lagi oleh ayah mertuanya itu. "Apa maksud Papa?" elak Marissa mencoba menghindari. "Rissa, kita sama-sama orang yang sudah dewasa. Aku melihat apa yang kalian berdua tunjukkan. Apa yang terjadi semalam sampai Naren masuk kamarmu saat suamimu tidak ada?" jelasnya. "Pa, ka-kami tidak melakukan apa pun." Marissa berdusta. "Apa mungkin?" desak Tuan Baruna. "Rumah tangga itu sering kali hancur karena adanya cinta lain di
Read more
37. Membongkar Perselingkuhan
"Oh, tentu saja, Tan. Kamu membayar mahal atas apa pun yang kamu simpan di luar sana. Bahkan sebuah rumah dengan harga belasan milyar kamu berikan untuk seorang wanita yang bahkan tak terikat apa pun denganmu," kata Marissa membongkar fakta perselingkuhan suaminya dengan Naomi. Tristan terkejut bukan main, bukan hanya itu, Naren dan Tuan Baruna juga tak kalah tertegun. Maren tak percaya jika Marissa akan membongkar semuanya sekarang. Semua diluar kendali dan perkiraan Naren sebagai orang yang mengetahui segalanya. "Apa ini? Rumah?" Tuan Baruna mendekati ketiganya. "Tunggu, Pa." Naren mencoba menahan ayahnya. "Katakan, Tan. Apa yang dimaksud Marissa dengan rumah belasan milyar itu? Siapa yang kamu berikan rumah?" desak Tuan Baruna. Tristan terhimpit, dia tidak bisa lagi mengelak. Walau masih terus menyimpan apa yang dia lakukan selama ini, tapi dia sudah cukup bersiap jika ternyata Marissa mengetahuinya. Hanya saja, dia tak menyangka
Read more
38. Tawaran Kesepakatan
Sementara di rumah, Marissa merasa hatinya tak tenang. Dia hanya bisa mondar-mandir tanpa hal yang jelas saat itu. Wanita itu terus saja gundah dengan apa yang terjadi pada ayah mertuanya. Terlebih semua karena fakta yang dia ungkapkan. Marissa sangat tertekan, apa yang Tristan lakukan saja bisa sampai membuatnya ambruk seperti sekarang. Apalagi jika Tuan Baruna sampai mengetahui hubungannya dengan Naren."Tenang, Rissa. Tarik napasmu dan cobalah untuk tenang," ujar Marissa mencoba menenangkan dirinya yang dilanda kekhawatiran.Beberapa saat setelah Marissa mencoba menenangkan diri, dia merasa siap untuk menghubungi Tristan atau Naren. Namun, lagi-lagi dia dibuat bingung. Marissa tak tahu harus menghubungi siapa saat ini. Jika dia menghubungi Naren, tentu saja akan mengundang rasa penasaran Tristan. Tetapi, jika dia menelepon Tristan, Marissa tak yakin pria itu akan menjawab teleponnya.Di tengah rasa yang tak bisa dia kendalikan itu, Marissa masih tak bis
Read more
39. Demi Keselamatan Ayah Mertua
"Kesepakatan?" tanya Marissa. Marissa membulatkan kedua matanya, dia nampak bingung dengan apa yang suaminya katakan. Kesepakatan atas dasar demi kesehatan macam apa yang sebenarnya pria itu inginkan. "Papa tidak boleh terlalu banyak tekanan pikiran. Kondisinya masih tidak stabil sehingga membuat kinerja jantungnya masih harus dipantau." Tristan memberikan kalimat pengantar. "Tarik kembali kalimatmu kemarin di depan Papa dan katakan jika hubungan kita baik-baik saja," lanjutnya. "Apa masih mungkin?" tanya Marissa yang ragu jika hal itu masih bisa dilakukan olehnya. Dia tahu benar jika Tuan Baruna bukan orang bodoh yang bisa diakal-akali. Apalagi ini tentang sebuah hal yang mungkin saja sudah dia khawatirkan sejak awal."Itu tugasmu, kamu harus berusaha meyakinkan agar Papa percaya." Tristan seperti orang yang memberi hukuman atas apa yang Marissa lakukan hingga semua itu terjadi. "Aku tidak yakin bisa melakukan itu, Papa bukan orang y
Read more
40. Rumah Sakit
"Ti-tidak, Naren." Marissa menjawab dengan gelagapan. Dia masih belum bisa menenangkan dirinya sendiri karena Tristan. "Tak ada yang terjadi, Rissa. Kamu jangan terlalu khawatir. Papa hanya butuh istirahat," jelasnya dan dibalas dengan anggukkan kepala oleh Marissa. Dia melihat wajah tenang Naren dan membuatnya lebih baik saat ini. "Mungkin dia merasa bersalah, bukankah dia yang menyebabkan ini semua terjadi?" Tristan mulai membahas hal yang sudah dia dan Marissa bahas di rumah tadi. Naren nampak melihat ke arah adiknya itu, dia melirik dengan tatapan tak mengerti. "Mengapa kamu seperti anak kecil yang melempar kesalahan begitu saja pada orang lain?" Naren mengolok adiknya. "Sudahlah, jangan membuat kegaduhan. Ini rumah sakit, Papa butuh istirahat," sela Marissa. Situasi saat itu membuat Marissa menjadi bingung. Kedatangannya bahkan tidak bisa membuat segala sesuatu menjadi baik saat ini. Semua hanya seperti sebuah hal yang tak perna
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status