Share

Ameera

Cakrawala membentang luas serasi dengan perpaduan warna biru diselimuti awan putih yang secara perlahan diembuskan angin dan berpindah tempat. Cerah, seperti itulah sebutan cuaca untuk hari ini. Riuh suara pekikan-pekikan kecil yang menggema di seluruh penjuru area pesantren. Puluhan santriwan berlari berebut bola di halaman yang tak seluas tanah lapang sungguhan. Para santriwati bersuka cita dengan nyanyian gambus di aula. MasyaaAllah, riang tak terkira suasana Jum’at pagi yang penuh berkah.

Sepasang kaki beralaskan flat shoes melangkah dengan sedikit limpung. Sudah pasti itu kaki seorang perempuan. Tak terdengar suara apa pun dari gerakkannya, tapi cukup jelas dari keluhannya. Di bahu kirinya, sebuah tas jinjing melingkar di antara lengan dan ketiak. Sementara di tangannya, membawa tas ransel dengan ukuran jumbo, berat sekali. “Ya ampun, akhirnya sampe juga gue di sini!” ucapnya setelah sampai di pintu gerbang utama pesantren.

Untuk sesaat si gadis manis berjilbab merah muda itu melongok ke dalam dari celah gerbang besi. “Rame,” desisnya.

“Ayo masuk! Tunggu apa lagi?” ujar seseorang dari arah belakangnya.

Sang gadis menggigit bibir bawahnya. “Om duluan, ya! Aku nyusul belakangan.”

Lelaki bertubuh tegap tinggi itu lekas masuk ke dalam pesantren. Sementara si kemenakannya mengekor dari belakang dengan limbungnya membawa tas ransel.

***

Dua cangkir teh hangat serta sepiring bolu pisang telah tersuguh di meja tamu. Si tuan rumah begitu hangat menyambut kedatangan Om Roni dan keponakannya. Sesekali sepasang suami istri itu memperhatikan wajah si gadis berkerudung merah jambu. Sementara si pemilik wajah hanya mampu menekuri ubin berwarna abu-abu.

“Nama kamu siapa, Nduk?” tanya Bu Nyai.

“Nama saya ... Ameera, Bu.”

Ada rasa canggung di benak Ameera. Tentu saja itu adalah hal yang wajar. Ini kan, pertama kalinya Ameera bertemu dengan keduanya.

“Ameera ini keponakan saya, Pak Kiyai. Dia baru saja lulus SMA,” ungkap Om Roni.

Om Roni merupakan satu-satunya keluarga Ameera. Selain daripadanya, Ameera tidak memiliki siapa-siapa lagi. Kedua orang tuanya meninggal beberapa tahun lalu lantaran insiden kecelakaan di Tol Jagorawi. Ameera yang kala itu masih duduk di bangku SMP, terpaksa harus tinggal dengan Om Roni yang merupakan adik kandung dari mamanya. Sementara keluarga dari papanya sama sekali tidak ada satu pun yang ia ketahui.

“Saya harap Nduk Ameera nantinya bisa betah nyantri di sini!” ujar  Kiyai Husein, suami dari Bu Nyai sekaligus pimpinan pondok pesantren.

Ameera hanya mengulum senyum. Sementara Om Roni justru terasa lebih bersemangat. Bahkan, ia mampu meyakinkan Kiyai Husein jika keponakannya itu sangat tertarik untuk nyantri di pesantren beliau.

***

“Ini kamar kamu, Ameera!” ucap Bu Nyai setelah memasuki sebuah ruangan yang ukurannya tidak besar, tapi juga tidak terlalu kecil.

Lagi-lagi Ameera hanya mengulum senyum. Netranya menyapu ke seluruh penjuru ruangan. Dua susun ranjang tingkat berada di hadapannya. Tiga bagian ranjang agaknya sudah ada pemiliknya. Dari mana Ameera tahu akan hal itu? Tentu saja, lantaran di atas ke tiga ranjang itu terdapat tumpukan bantal serta selimut. Sementara satu bagian ranjang di atas lainnya masih kosong. Hanya kasur busa tipis yang terpasang di sana dan belum dilapisi kain seprei. Di sudut ruangan nyaris sejajar dengan pintu, terdapat sebuah meja belajar.

“Semoga kamu betah ya, Nduk!”

Ada sesuatu yang sedang Ameera cari. “Kamar mandinya di mana, Bu?”

Bu Nyai tersenyum simpul. “Kamar mandinya ada di belakang asrama. Kalo kamu kepengin lihat-lihat, nanti kamu bisa minta diantar sama temen-temen sekamarmu!”

Ameera tak banyak bicara. Tubuhnya merasa sangat tepar setelah semalaman penuh berada di jalan. Jakarta – Solo memang bukanlah dekat. Baginya, ini pengalaman pertama yang cukup melelahkan. Masih untung Om Roni mengajaknya jalan malam hari, sehingga ia masih menemukan udara segar ketika sampai di pesantren. “Bu, apa saya bisa istirahat sebentar?”

“Tentu saja boleh. Kan, ini hari Jum’at. Hari liburnya para santri!”

“O ya, Bu, nanti kalo Om Roni mau pulang dan nyariin saya, tolong Bu Nyai bilang aja kalo saya lagi nggak mau diganggu ya, Bu!”

Kali ini Bu Nyai merasa heran atas permintaan Ameera. Seperti apa hubungan Ameera dengan pamannya. Perempuan paruh baya itu mencoba menerawang dari gerak-gerik si gadis cantik. Raut wajahnya benar-benar datar. Tidak ada kesedihan maupun kebahagiaan layaknya anak-anak lain yang akan berpisah dari orang tua ataupun walinya ketika akan ditinggal di pesantren. Ameera justru sibuk menata tempat tidurnya.  

“Ameera, Ibu tinggal ya, Nduk!”

Sejenak Ameera menoleh dan menganguk sambil mengembangkan senyum tipisnya, dan lagi-lagi itu dilakukannya tanpa berkata apa-apa. Rasa penasaran Bu Nyai semakin tinggi. Istri dari Kiyai Husein itu lekas pergi meninggalkan Ameera. Di benaknya tumbuh banyak pertanyaan. Gadis seperti apa santriwati barunya itu? Mengapa Ameera seakan tidak peduli terhadap pamannya? Lalu, mengapa Ameera lebih banyak diam ketimbang menanggapi setiap ucapannya? Sungguh, tanda tanya besar menyelimuti otak Bu Nyai. Mungkin ada baiknya jika ia bertanya langsung kepada Om Roni. Om Roni pasti tahu banyak mengenai kepribadian Ameera. Lagi pula ia berhak mengetahui kondisi psikis setiap santrinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status