Bab 55 Mas Irfan keluar dari ruangan dokter dengan wajah sumringah, langkahnya mantap mendekatiku. Sorot matanya bersinar penuh kebahagiaan.Giliran dadaku yang gemetar setelah tadi membaca pesan singkat dari Diana. Aku takut, merasa bersalah, karena yang membawaku ke klinik bukan Mas Irfan--suamiku, melainkan Andre.Pantas saja Mas Irfan marah besar dengan kejadian yang menyebabkan wajahnya nampak murung dan sedih, aku baru tahu sekarang.Setelah membaca pesan singkat dari Diana, aku baru paham kronologisnya. Rupanya aku jatuh pingsan dan ditolong oleh Andre kemudian dibawa ke klinik langgananku atas saran Diana. Sebelumnya Andre ingin mengabari Mas Irfan, tetapi tidak punya nomor ponselnya, sehingga minta tolong Diana untuk segera menghubungi Mas Irfan. Kemudian Andre mengajak Diana menemuinya di klinik supaya tidak ada fitnah kalau Mas Irfan menyusulnya. Kemudian mereka bertiga bertemu di klinik. Namun, ada salah paham diantara mereka. dan terjadilah pertengkaran itu. Seharusn
Bab 56"Nanti kalau istrimu sudah pulang dari rumah sakit, Ibu akan mengatakan sesuatu yang dulu sempat tertunda. Itu lo, tentang kamu dengan Nungky!"Suara Ibu sedikit kabur, tapi aku bisa menangkap dengan jelas kalimatnya. Seketika dadaku bergemuruh, tulang-tulangku seakan luruh."Kira-kira tentang apa ya?" gumamku.Kuatur nafasku dengan baik supaya tidak sesak di dada, emosiku juga kutata. Mataku terpejam membayangkan wajah Ibu mertua yang kukira sudah berubah dengan baik, ternyata ...Aku tidak mendengar jawaban dari Mas Irfan, karena laki-laki kesayangan Ibunya sudah berada di luar ruangan. Entah menjawab apa anak bungsunya itu.Kutatap bayi mungil yang kulahirkan beberapa jam yang lalu, kini masih tidur nyenyak di sampingku. Aku memandangnya dengan takjub, rasa bersyukur dan bahagia kutandai dengan butiran embun yang mengalir."Semoga kau menjadi anak yang soleh, berbakti kepada kedua orang tuamu dan menjadi orang yang sukses dunia dan akherat, Aamiiin." Lirih aku mendoakannya.
Bab 57Hari ini aku sudah dibolehkan pulang oleh dokter.Mas Irfan ikut membantu berkemas akan pulang kerumah, seharusnya aku membawa kebahagian bersama keluarga kecilku yang selama ini sangat kuimpikan.Namun, karena buket bunga dari Andre itu membuat Mas Irfan kembali meradang. Menurutku Andre seperti menyulut kemarahan Mas Irfan. Aku bingung bagimana caranya untuk menghentikan semua ini, supaya laki-laki halalku bahagia menyambut kedatangan buah hatinya, bukan malah sebaliknya."Jangan sampai ada barang yang ketinggalan." Mas Irfan mengingatkan dengan nada sedikit ketus.Netraku memindai ruangan memastikan kalau tidak ada barang yang tercecer."Sudah semua," jawabku juga singkat.Dalam perjalan dari rumah sakit menuju pulang jalannya macet, Mas Irfan selalu membuang muka keluar. Aku pura-pura juga sibuk dengan malikat kecilku yang kugendong.Terasa tegang, hatiku bercampur aduk tidak karuan tanpa bisa kuurai, bagaikan benang kusut yang tidak ada ujungnya. Kini Mas Irfan seperti
Bab 58[Di, lagi ngapain?] Aku yang memulai kirim pesan ke Diana.[Tumben lo, malam gini belum tidur] balasnya.[Andre kemaren kirim kembang, Mas Irfan marah lagi, lalu dibuang di tong sampah kembangnya]Diana mengirim sticker tertawa. Aku cemberut, kenapa malah tertawa. Apa yang lucu?[Sebenarnya biasa aja, wajar kalau hanya mengirim ucapan lewat bunga, toh dia yang menolongmu ketika lo pingsan] balas Diana.[Mas Irfan mikirnya si Andre kaya nglunjak, gitu, Di][Bisa juga Mas Irfan takut Andre kebablasen. Apalagi Andre ada kerjasama dengan kantormu. Ditakutkan kalian akan sering bertemu, dan ...][Hush! Nama Andre kan sudah kuhapus dihatiku, gak mungkinlah aku aneh-aneh. Trus aku kudu piye, Di?] Diana hanya mengirimkan emot lucu, kemudian ada emot tangan yang mengatup di dada. Itu tandanya Diana nyerah, tidak mau ikut campur rumah tanggaku terlalu dalam. Aku membuang nafas kasar.Selanjutnya aku cerita hal lain yang mengingatkan masa kuliah dulu, Diana emang tidak ada habisnya kala
59 POV IRFANSebagai suami aku merasa terhina, bagaimana tidak? Laki-laki yang pernah singgah dihati Dela--istriku membuat hatiku meradang. Apa pasalnya?Tiba-tiba saja Diana teman akrab Dela dan Laki-laki itu maaf aku malas menyebut namanya, mengabari kalau Dela berada di klinik bersalin, karena pingsan ketika berada di kantor.Darahku mendidih dan merasa harga diriku terinjak-injak, kenapa harus laki-laki itu yang mengantar Dela ke tempat bersalin?Dela juga tidak nurut dengan usulku, berkali-kali sudah kusuruh ambil cuti, jawabnya nanti dan nanti.Akhirnya apa? Aku gegas menyusul ke klinik dan menemukan si brengsek dan Diana berada di sana. Kami sempat cek-cok dan hampir adu jotos. Kutarik krah laki-laki itu, hampir saja bogem mentah mendarat ke wajahnya. Si brengseng itu rupanya menarik krah kemejaku juga. Sehingga wajah kami berhadapan.Tanganku masih mengepal, tinggal hajar saja. Beruntung Diana buru-buru memisahkan kami, sehingga kami urung untuk berantem."Apa-apan sih, b
60 POV IRFANAndre? Laki-laki brengsek itu? Tanganku mengepal, nafasku naik turun. Ingin kudatangi dia, akan kutantang, sekarang maunya apa?Entah ini sudah dipicu emosi sebelumnya, atau aku memang cemburu, sehingga darahku langsung mendidih sampai di ubun-ubun.Saat itu juga tanpa pikir panjang, buket yang menurutku sangat bagus dan tentu saja mahal, langsung kubuang ke tempat sampah.Harga diriku sebagai suami terasa terhina dan terinjak-injak. Hatiku sakit sekali, sungguh aku sangat cemburu. Kenapa laki-laki brengsek itu sengaja memancing masalah.Menunggu Dela keluar dari kamar mandi rasanya bertahun-tahun, perasaanku campur aduk. Langsung kupasang wajah angker, sehingga ketika ibu bayiku itu keluar kamar mandi, dia kelihatan terkejut melihat perubahan di wajahku. Dahinya mengernyit."Mas, sudah pulang?" Nadanya gugup.Kulihat matanya mencari sesuatu yang ada diatas meja, kemudian beralih ke tempat sampah, lalu menatapku nanar. Kuikuti gerak-geriknya.Tiba-tiba wajahnya pucat pa
Bab 61Aku masih terngiang-ngiang dengan ucapan Mas Irfan. Bahwa pada ulang tahun Fara akan diberi kejutan, kira-kira apa ya kejutannya?Apa yang direncanakan ibu mertua itu yang akan disampaikan kepadaku? Tentang Mbak Nung dan Mas Irfan pastinya.Baiklah, aku harus mulai berbenah, menyiapakan diri, menyiapkan mental. Aku tidak boleh lemah, harus siap apapun yang terjadi.Menjelang sarapan pagi, aku tidak masak, takut nanti di cela kurang ini, kurang itu, tidak enaklah dan lainnya, lebih baik aku tidak masak apapun.Aku hanya menggoreng telor mata sapi, dan sambal kecap. Aku berharap Mas Irfan ikut sarapan, karena kalau hanya mata telor sapi, masa iya akan di cela.Sengaja memancing supaya Mas Irfan mau duduk dan sarapan bersama, aku ingin menanyakan sesuatu yang semalam ditolaknya. Baru satu sendok masuk kemulutku, kudengar langkah kaki yang sangat kuhafal. Laki-laki yang dipanggil Papa oleh anakku itu masuk dapur, dia celingukan mencari sesuatu."Sarapan, Mas?" tanyaku sambil meman
Bab 62 "Perkenalkan saya, Bu. Saya Syamsul, Notaris yang ditunjuk oleh almarhum Bapak Suparman untuk mengabarkan kepada ahli waris, bahwa Ibu ditunggu kehadirannya ke Sragen untuk tanda tangan.""Tanda tangan?" batinku.Aku bergeming, dadaku mulai sesak kalau mengingat kota kelahiranku. Pasti aku akan terkenang masa kecilku bersama almarhum kedua orang tuaku, yang sudah tidak bisa kugapai lagi."Halo Bu, maaf, apa Ibu masih disitu?" Suara yang mengenalkan diri sebagai Pak Syamsul itu ragu-ragu."I-iya Pak, saya dengar semua. Kapan saya harus menghadap bapak?" Dadaku bergetar."Secepatnya, Bu. Ini penting sekali. Nanti saya terangkan semuanya kalau Ibu sudah sampai di kantor kami.""Ya, Pak. Terima kasih."Setelah telepon terputus, air mataku meleleh tidak terbendung. Perih sekali mengingat kenangan indah disana. Banyak kenangan yang diuntai oleh kedua orang tua bersamaku, putri tunggalnya.Tidak kusangka hanya sependek ini kami lalui bersama. Aku sedih kalau mengingat semua ini, kenan