Share

3. Dua Pilihan

Laki-laki yang berada di kursi kebesaran itu masih menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan saat ketukan pintu mulai terdengar dari luar.

"Masuk!"

Beberapa detik setelah Ammar mengeluarkan perintah, pintu mulai terbuka, seorang wanita muncul di baliknya. Wanita yang hingga kemarin masih haus akan perhatian serta mengemis cinta darinya. Maksudnya, hanya sampai kemarin, tidak lagi untuk hari ini.

Elif berjalan ragu-ragu sampai langkahnya terhenti tepat di depan meja Ammar. Sedikit menunduk layaknya bawahan ketika bertemu atasan.

Ammar memberikan tatapan entah, tapi yang sedang ditelisik tidak menyadari akan hal itu. Ah, lebih tepatnya tidak peduli. "Siapa yang menyuruhmu pindah ke ruangan lain? Bukankah dulu kau yang memohon-mohon pada Mama untuk ditempatkan di ruangan yang dekat denganku?" cerca laki-laki itu meremehkan.

"Maaf, Pak! Menurut laporan HRD, saya dipindahkan atas perintah Ny. Risma. Dan terkait perkataan Bapak yang nomor dua, saya ingin sedikit mengoreksi, saya tidak pernah meminta ruang kerja yang dekat dengan anda. Maaf, tapi mungkin Bapak keliru."

Mendengar ucapan lancang Elif, tangan Ammar terkepal erat. Baginya Elif semakin melunjak dan tidak tahu diri. Ah, lebih tepatnya, Ammar merasa terganggu dengan panggilan 'Bapak.' Padahal, ini area kantor tentu saja Elif sudah melakukan hal benar. Benar sekali.

Atau mungkin saja, Elif baru saja mengubah semuanya. Mungkin, dimulai dari panggilan, kemudian disusul hal-hal lain, hingga ... ikatan sakral.

"Heh, kau pikir aku percaya? Kau adalah jelmaan wanita licik yang memanfaatkan kebaikan orang tuaku."

Laki-laki itu sedang mempertahankan gengsi yang setinggi langit, lain di mulut lain di hati. Namun, tak ayal, perkataan Ammar barusan, sukses membuat hati Elif kembali remuk. Ammar hobi sekali menuduhnya serendah itu.

Memang benar, semenjak Elif menginjakkan kaki di rumah Ammar, kemewahan telah menyambutnya lebih dulu. Kala itu, beberapa hari setelah kepulangan sang ayah, Elif remaja yang lugu, mau saja saat diajak sepasang suami istri untuk ikut bersama mereka, meninggalkan rumah sederhananya yang mirip seperti gubuk.

Meninggalkan segala kenangan serta luka-luka yang sempat tercipta di dalamnya. Kala itu, Elif remaja sedang terpuruk, berada di titik paling rendah setelah kehilangan ibu juga disusul cinta pertama yang disebut ayah.

Ibu Elif pergi lebih dulu, karena penyakit liver yang dideritanya. Beberapa tahun kemudian sang ayah menyusul karena kecelakaan saat bekerja.

Sepengetahuan gadis itu, ayahnya bekerja sebagai seorang buruh. Tapi, untuk anak yang masih duduk di bangku kelas satu sekolah menengah pertama, sisanya tidak banyak yang Elif tahu. Seperti, di mana sang ayah bekerja.

Entah karena Elif belum begitu peduli dengan dunia orang dewasa, atau karena sang ayah yang terlalu banyak rahasia. Yang jelas, beberapa hari setelah ayahnya dikebumikan, sepasang suami istri kaya yang mengaku sebagai sahabat ayahnya datang ke gubuk Elif dengan rasa simpati yang begitu kentara.

First impression dengan dua orang dewasa itu membuat Elif tahu seperti apa rasanya dipedulikan dengan tulus. Gadis sebatang kara itu langsung mengangguk setuju saat dihadapkan pada sebuah pilihan.

Bukan mencari kemewahan, hanya ingin berada disekeliling orang-orang baik yang mengganggapnya keluarga. Sebagaimana yang Elif dengar dari bibir wanita paruh baya itu.

Nyatanya, ekspektasi tak sesuai realita, sang putra mahkota telah memberinya tatapan permusuhan bahkan saat pertemuan pertama mereka.

Saat itu, Elif tersadar, tidak semua orang menerimanya dengan baik dalam keluarga baru. Namun, entah mengapa, setelah beranjak dewasa gadis itu malah terbius dengan perubahan Ammar yang secara tiba-tiba. Yang Elif kira, keduanya sedang terjebak dalam teori benci jadi cinta, nyatanya hanya sandiwara.

"Keluar dari rumah utama dan tinggal di apartemen. Mengaku saja kalau kau tidak bisa hidup tanpa bergantung pada keluargaku," sambung Ammar kembali menghina.

Elif memejamkan mata untuk beberapa saat. Mencoba membalut luka hati agar tak semakin menganga. Nyatanya, semua sia-sia.

"Maaf, Pak! Saya tidak mengerti ke mana arah pembicaraan bapak. Bisakah to the point saja!" Suara itu mulai terdengar serak dan bergetar.

"Baiklah, Nona Elif. Dari dulu kau memang bodoh. Biar kuperjelas, hari ini aku memberimu dua pilihan. Kembali ke rumah, atau pergi secara utuh dari keluargaku. Sekarang kau mengerti 'kan maksudku?"

Bibir Elif sedikit menyunggingkan senyum. Menurutnya, Ammar memang tidak pernah menempatkan namanya di hati selama ini. 'Kenapa kau bodoh sekali, Elif?' keluh batinnya.

"Kau tidak perlu menjawab sekarang. Aku memberimu waktu sehari untuk berpikir. Besok pagi aku menunggumu di sini, untuk mengambil cincin yang sudah kau lepas atau menyerahkan surat pengunduran diri."

Ammar merasa sangat puas setelah memojokkan istrinya. Laki-laki itu bahkan berani menjamin dalam hatinya, bahwa Elif akan kembali.

"Baiklah, Pak. Kalau memang tidak ada lagi yang dibicarakan, saya permisi dulu!"

Ammar mengibaskan tangannya, tanda jika Elif sudah boleh pergi. 'Dia tidak mungkin memilih sesuatu yang penuh resiko. Dia 'kan lemah dan cengeng.'

Dalam hati Ammar terbahak, dasar sanubari laki-laki rupawan itu berbisik, bahwa ia tidak rela istrinya pergi. Tapi, menyiksa Elif baginya sangat menyenangkan, sudah menjadi hobi.

Sementara di koridor, Elif berusaha menarik langkahnya yang terasa kian berat. Gadis itu benar-benar dihadapkan pada pilihan yang begitu sulit.

Rasanya berat meninggalkan mama mertua yang sudah dianggap orangtua sendiri. Tapi, membiarkan harga diri terus terinjak juga bukan pilihan yang tepat.

Kali ini Elif tak lagi kuasa membendung air mata. Wanita itu tak lagi peduli dengan yang namanya ketegaran, kali ini biarlah seluruh dunia tahu, bahwa Elif Sabrina sedang terluka.

Sayatan yang kian melebar, kemudian ditabur garam dengan sengaja. Oleh laki-laki bergelar suami. Elif sudah berdiri di depan pintu lift dan menunggunya untuk terbuka. Dengan penampilan berantakan seperti sehari sebelumnya.

Namun, yang lebih membuatnya terlihat sial. Saat pintu lift berdenting, di dalam sana keluar seseorang yang begitu dikenalnya. Wanita bernama Rani, seorang staf biasa dengan pakaian kurang bahan yang sering Elif temukan berada dalam pangkuan suaminya.

Dan kali ini, Elif tahu dengan baik untuk apa wanita itu berada di lantai di mana hanya terdapat ruangan untuk petinggi perusahaan. 'Sekarang aku mengerti dengan keputusan yang akan kuambil.'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status