Share

Bab 2. Uring-uringan

2. Uring-uringan

Tetapi sedetik kemudian dia mengurungkan langkah, Nisa berbalik meninggalkan rumah sederhana ini dengan perasaan campur aduk. Tanda tanya besar bersarang di kepala Nisa. Siapa perempuan itu, ada hubungan apa dengan suaminya, dan mengapa Damar ingin menceraikan dirinya.

Nisa melangkah lebar menuju tempat Lana menunggu. Pikirannya diliputi banyak pertanyaan.

Blugh!

"Baru gue mau turun! Beneran laki loe bukan?" tanya Lana dengan wajah bingung, karna penampakan Nisa yang tiba-tiba murung.

"Buruan jalan Lan, jangan sampe ada yang liat kita," ajak Nisa lemah.

.

.

"Nis, makan dulu bagaimana pun suasana hati elo, elo itu tetep harus kuat. Harus punya tenaga, biar bisa ngumpulin bukti perselingkuhan laki elo." Lana menyemangati Nisa.

"Tapi masa iya, Mas Damar selingkuh?" pikir Nisa, dia menggelengkan kepala samar. Selama ini perlakuan Damar terhadapnya begitu baik.

Damar cinta keduanya setelah ayahnya. Selama ini Damar terlihat begitu menyayanginya. Tidak pernah terbersit sedikit pun, dipikiran Nisa jika Damar bermain api, menjalin hubungan dengan wanita lain.

Nisa menelungkupkan kepala di atas meja. Lana hanya memandang sendu pada sahabat karibnya. Dia juga belum yakin kalau Damar memiliki Wil.

"Kita nginep daerah sini, Lan." Nisa mengangkat wajah lalu meraih piring dan memakan lahap isinya hingga tandas.

Malam kian larut. Hawa dingin puncak menusuk tulang, Nisa duduk di depan kolam renang memandang air yang hanya diam. Air bergerak pelan jika terkena hembusan angin. Hati wanita muda ini bimbang, bertanya apakah benar yang dia dengar tadi? tapi kenapa? Apa alasannya ?

Jari-jari lentik Nisa memutar-mutar gawai yang sejak tadi dia genggam. Nisa melirik jam pada ponselnya, jam sebelas, gumam Nisa. Mas Damar masih di sana atau memang pergi ke Semarang ya? tanya Nisa dalam hati.

"Kenapa dari tadi gak telpon ke Semarang?" Nisa memutar bola mata kesal pada diri sendiri. Nisa mulai mengotak ngatik gawai. Tapi dia tak memiliki satu pun nomor telpon perusahaan cabang semarang.

Jarinya menekan panggilan ke nomor Damar - suaminya. Lama, tak ada jawaban hingga. "Assalamualaikum Nisa? Ada apa? Tumben telpon." Nisa di berondong pertanyaan.

Memang selama ini dia tak pernah menelpon Damar, dia seperti tak peduli di mana atau kemanapun lelaki itu pergi. Nisa sibuk dengan dunianya, sibuk dengan kesenangannya, sibuk dengan masa muda yang ingin dia nikmati.

"Mas... Kamu lagi ngapain?" bukannya menjawab, Nisa palah memberikan pertanyaan.

"Mas udah tidur Nis, lelah banget hari ini," jawab Damar.

"Oohhh... coba Nisa mau liat, Mas Damar lagi nginep di mana? Vidio call Mas!!" Nisa langsung mengalihkan panggilan pada mode vidio.

Tetapi Damar langsung mematikan panggilan, pesan masuk di gawai Nisa. [ Nis, ko mati? jaringan gak bagus.]

[ Di sini bagus Mas]. Tetapi pesan Nisa sudah centang satu. Mungkin Damar mematikan data selularnya.

Hati Nisa panas membayangkan Damar bermain gila dengan wanita lain. Jari-jarinya meremas tisu yang sejak tadi dia genggam. Pikiran berkecamuk ingin rasanya dia datangi rumah itu saat ini juga.

****

Pagi menyingsing, matahari menampakkan sinar dengan pongah, memberikan kehangatan pada jiwa yang dilanda gamang.

Nisa sudah berpakaian rapih. Diambil bedak dari dalam tas. Netranya mencermati kelopak mata yang menghitam, wajah terlihat layu.

"Nggak banget muka gue, Lan," ujar Nisa masih mengamati wajah di cermin kecil yang dia pegang.

"Makanya jangan nangis terus, rugi Nis, nangisin cowok," ujar Lana, gadis ini pun sedang bersiap cekout dari kamar Hotel.

"Elo sih jomblo gak laku, makanya gak bisa ngerasain apa yang gue rasa." Nisa berucap masam.

Tak kalah masam wajah Lana, tapi kali ini dia hanya diam, kalau dilanjut akan semakin panjang urusan.

"Nis. Ntar elo jangan bar-bar ya!! Yang elegant, jangan bikin keributan, oke. Semalem gue liat youtub, tutorial ngelabrak pelakor, dan elo harus ngelabrak dengan cara elegant." Lana menasehati Nisa seperti seorang pakar perpelakoran.

Sepanjang perjalanan menuju tempat kemarin mobil Damar berada, Bibir Lana terus berbicara, tetapi Nisa seperti tak mendengar, dia bermain dengan pikirannya sendiri.

***

"Mas, jadi langsung ke Semarang?" tanya si wanita.

" Iya, 'kan memang harus ke sana. Secepatnya Mas selesaikan pekerjaan di sana. Nanti Mas ke sini lagi." Damar sudah rapih dengan setelan jas, duduk di bangku depan meja makan.

Wanita berparas ayu ini membawa piring kotor ke wastfel setelah mereka menghabiskan makan.

" Fattana hayfa." Gadis kecil yang sedang berbincang dengan bonekanya menengok pada asal suara. Damar merentangkan tangan ingin menggendong gadis kecil yang tersenyum menghampirinya.

"Anak ayah sudah besar. Berat sekarang," ucap Damar menciumi pipi tembem gadis kecil berkisar umur empat tahun itu.

"Sudah mau sekolah, Mas. Dia butuh akte lahir. Kamu tega? kalau nggak ada nama ayahnya di akte lahirnya." kirana berucap tanpa menoleh pada Damar.

"Semua sedang aku pikirkan," ucap Damar, "Bersabar sedikit lagi," ucapnya lagi.

Kirana mendecak. "Lima tahun kurang sabar apa aku, Mas." Suara sedikit di tekan agar tak menimbulkan kecuriagaan pada anaknya yang masih dalam gendongan Damar.

"Ayah kerja dulu ya, besok kita jalan-jalan ke Mall, beli banyak mainan," Lelaki berumur tiga puluh tiga tahunan itu masih menciumi putri kecil yang sangat menggemaskan.

Setelah puas menciumi putri cantiknya, mereka menuju halaman. "Kirana, Mas pergi dulu ya. Mas janji gak lama lagi masalah kita pasti bisa di selesaikan." Damar mengecup kening Kirana.

"Mas Damar!!!" Suara melengking, mengagetkan dua pasangan yang akan berpisah kembali ini.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Azzurra
silahkan baca lanjutannya KA. jangan lupa kirim votenya kak. terimakasih sudah mau berkomentar
goodnovel comment avatar
Shiella Fiolly
apakah Nisa akan menampar Kirana? ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status