Share

Anak Magang Cucu Direktur
Anak Magang Cucu Direktur
Penulis: Lea

1. Datang

Jakarta, April 2018

Hari Senin, aktivitas di kantor Djerami super sibuk seperti biasa, khususnya tim sales.  Kedatangan tiga anak magang pagi itu sedikit mengganggu alur kerja tim.

“Oke, kalian bertiga anak magang itu ya. Bagus gak ada yang telat, ikut gue sekarang,” kata seorang pegawai muda.

Keempatnya berbaris memasuki ruangan besar dengan bilik kerja berbaris. Setiap pegawai tampak sibuk, entah dengan telepon atau terpaku menatap layar. Mereka memasuki satu ruangan kecil berkaca di sudut.

“Yuk masuk. Ini ruangan khusus anak magang. Itu ada dua senior kalian, sebelumnya lima, yang tiga udah lulus. Nah ketambahan kalian jadi lima lagi. Kenalin, gue Ardi, yang ngurus kalian,” katanya.

Belum sempat salah satu dari tiga anak magang itu bicara, Ardi sudah buka suara lagi.

“Gue lagi sibuk banget, biasa hari Senin. Yuk perkenalan satu-satu, setelah itu biar diurus Doni sama Ajeng,” ujarnya menunjuk dua anak magang senior.

“Perkenalkan nama saya Edwin,” jawab yang pertama.

“Saya Silvi.”

“Kenalkan saya Bagas.”

Ardi langsung menyela. “Oke bagus, gue tinggal ya. Don, Jeng, tolongin ya. Ajarin kerjaan dasar aja dulu. Thanks.”

Ruangan kecil itu hening sejenak. Tiga anak magang baru berdiri kikuk.

“Hai, hari Senin biasanya kita lebih banyak di depan komputer. Kenalin gue Doni, yuk duduk dulu.”

Doni menunjuk tiga slot kursi kosong. Posisi berhadapan dalam satu meja panjang, satu sisi dengan tiga kursi, sisi lainnya dengan dua kursi. Dua laptop terbuka menyala. 

“Santai aja yak, bentar gue minta dibikinin email kantor buat kalian. Duduk dulu aja, buka laptop masing-masing ya.”

“Oke kak.”

“Makasih Kak,” kata Silvi.

“Biasanya emang diurus Kak Ardi, cuma kalau Senin gini emang lagi sibuk banget. Jadi hari ini kalian adaptasi dulu aja,” ujar Ajeng.

Bagas mengeluarkan MacBook Pro seri terbaru. Masih dibungkus rapi, jelas baru dibeli dan belum digunakan.

“Wah baru nih, keren laptop lo,” kata Edwin. 

“Eh iya, gak tau nih gue baru dibeliin, buat magang,” jawab Bagas.

“Wah gila ini seri yang paling tinggi, 30 jutaan nih.”

“Gak tau, emang 30 juta mahal ya?”

Edwin tampak bingung harus menjawab apa. Bagas lanjut menyiapkan laptop. Jika diamati, penampakan bagas tidak seperti anak magang biasa. Setelan yang melekat di tubuhnya tampak mahal. 

30 menit berlalu, ketiganya sudah duduk di depan laptop masing-masing. Silvi dan Edwin sudah lebih akrab. Bagas akhirnya bicara. 

“Anu, ini kita disuruh ngapain?” tanya Bagas.

“Bentar ya, hari ini kita belajar step-step aja. Jadi biasanya kita input laporan di Excel, kadang juga turun ke lapangan ikut tim sales,” kata Doni. 

“Nanti kita dipencar, kan ada banyak tim di sini. Biasanya kita dikasih tugas yang gampang aja, pokoknya cukup buat data bikin laporan,” Ajeng menimpali.

“Tapi ya jangan berharap banyak, namanya anak magang. Jangan kaget kalau disuruh bikin teh atau kopi,” Doni tertawa.

“Eh masa gitu kak?” kata Silvi.

“Ya udah biasa lah, kan kita nanti dilepas ke tim,” jawab Ajeng. “Nah setiap tim beda-beda, kalau leadernya oke ya kita bisa diajak ke lapangan, kalau lagi apes ya kalian cuma disuruh fotokopi dan bikin teh.”

“Intinya kalau udah dapat data ya udah, yang penting kan buat laporan di kampus kalian,” timpal Doni. 

Ketiga anak magang baru tampak bingung, tidak banyak bicara. Tak terasa, jam makan siang datang. Mereka tak beranjak, makan di meja masing-masing.

“Lo gak makan?” tanya Edwin.

“Gak bawa bekal gue, gak siap.” kata Bagas. “Beli bisa gak ya, delivery gitu.”

“Bisa aja kok, lu telpon aja. Masih ada waktu nih 45 menit.”

Sekitar 15 menit kemudian, ada kehebohan di halaman depan kantor. 5 pria dewasa dengan seragam salah satu restoran termahal di Jakarta. Peralatan masak lengkap dibawa berbondong-bondong.

Ada 3 kompor disiapkan, api langsung menyala, wajan besar dipanaskan. Kelima orang tersebut langsung sibuk menyiapkan bahan dan memotong-motong. 

Dari barisan belakang, datang seorang lagi dengan topi chef tinggi, pemimpin tim tersebut. “Atas nama bagas, ada yang pesan makan siang?”

Kedatangan chef dan dapur dadakan itu jelas membuat heboh. Seisi kantor bingung mencari nama Bagas, tidak ada direktur bernama Bagas, tidak ada manajer bernama Bagas. 

Saat separuh kantor berkumpul di halaman parkir, Bagas si anak magang baru berjalan keluar.

“Delivery ya. Chef, jam istirahat tinggal 30 menit. Bisa cepat? Aku nanti dimarah Mas Ardi.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status