Share

5. Pesan Kakek

University of Oxford, Inggris, Juli 2017

Kelas pagi itu berjalan molor, kepala Bagas nyaris meletup setelah dua jam mempelajari angka-angka. 

“Allright, i’ll get going guys,” ujar Bagas ke teman-teman seperjuangannya di Economics and Management.

Sudah tiga tahun lebih Bagas menempuh pendidikan di Inggris. Dia harus meninggalkan keluarganya di Belgia, paling tidak meninggalkan ibunya. Ayahnya berbeda, masih di Indonesia dan fokus berbisnis, jarang berkumpul dengan keluarga.

Bagas keluar dari fakultas dan berjalan menuju lapangan, ingin keluar kampus. Sudah bertahun-tahun, tapi bangunan tua Oxford tidak pernah berhenti membuatnya kagum.

“Bagas …” terdengar suara pria tua.

Bagas menoleh mencari sumber suara, “Kakek!”

Pertemuan kakek dan cucu ini menghangatkan cuaca dingin pada saat itu. Sudah lama sekali sejak terakhir Bagas bertemu kakeknya, Rudi Hardjito.

“Kakek kapan datang?” tanya Bagas. “Ini sama siapa saja, Ayah ikut? Kakek sehat?”

Kakek Rudi tertawa sejenak. “Bagas, kamu masih sama seperti dulu, selalu bersemangat, ceria, tapi polos.”

“Ada yang mau kakek omongkan,” lanjutnya. “Kamu ada waktu? Gak ada kuliah?”

“Sudah selesai kuliah kek. Ada perlu apa? Kakek udah makan? Yuk sambil makan dekat sini.”

Bagas, kakeknya, dan para bodyguard berjalan menuju restoran yang dipilih Bagas. Tentu mereka tidak berjalan kaki, Kakeknya membawa Rolls Royce, entah dari mana, mungkin menyewa.

Mereka makan dengan lahap, atau lebih tepatnya Bagas yang makan dengan lahap. Kakeknya hanya minum teh, biskuit, dan menunggu Bagas selesai.

“Bagas,” ujar kakek Rudi. “Kakek mau minta tolong sama kamu.”

“Ada apa kek?” jawab Bagas sambil memainkan gelar orange juice-nya.

“Kamu kapan jadwal magang?”

“Harusnya tahun depan sih Kek. Kalau lancar,” Bagas tertawa kecil.

“Kamu bisa magang di Indonesia?” tanya Kakeknya langsung. Selalu tegas, seperti yang diingat Bagas.”

“Buat apa Kek? Bagas udah lama gak ke sana, lulus SD langsung ke Belgia sama Ibu.”

“Perusahaan Kakek, Djerami, harus diselamatkan.” jawabnya. “Ayahmu, om dan tantemu, mereka …”

“Berebut harta,” potong Bagas. “Kata ibu sih gitu, makannya ibu pindah ke Belgia.”

Kakek Rudi terdiam mendengar kalimat Bagas. Bagaimanapun, tak pernah dia bayangkan kelima anaknya akan saling sikut ingin menduduki posisinya.

“Iya,” Kakek Rudi menjawab. “Maka dari itu, Kakek mau minta tolong kamu. Kakek percaya sama kamu.”

“Bagas harus ngapain Kek?”

“Ini ide Shinta,” Shinta adalah cucu tangan kanan kakek, Bu Asri. Keluarga Bu Asri sudah puluhan tahun mengabdi jadi tangan kanan. Shinta seumuran Bagas, pernah beberapa kali bertemu.

“Kata Shinta,” lanjut Kakek Rudi. “Ada banyak masalah internal dalam perusahaan, tapi bakal sulit menyelesaikannya dari luar, kakek gak mau memecat ayahmu, om-om dan tantemu.”

“Terus, bagas harus bagaimana? Ngapain di Indonesia?”

“Kamu akan magang di Djerami, tapi diam-diam, gak usah bongkar identitas kalau kamu cucu kakek.”

“Wah seru! Aku mau,” potong Bagas.

Kakek Rudi terbahak singkat. “Dengar dulu, belum selesai.” lanjutnya. “Kamu magang aja seperti biasa, bilang tugas kampus. Nanti kakek percaya kamu bisa bantu Kakek pelan-pelan.”

“Eh, aku ngapain aja Kek? Kayak detektif gitu? Seru nih.”

“Gak perlu rencana, kakek percaya kamu. Lakukan apa yang menurutmu pantas dilakukan. Jadi dirimu sendiri, Bagas yang jujur, polos, dan berani. Bagas yang selama ini kakek kenal.”

“Wah misi rahasia dong ini. Bagas Bond!” Bagas tersenyum lebar. “Aku perlu ngomong ibu, Kek?”

“Boleh, kasih tau ibumu kalau waktunya sudah dekat. Misi ini juga penting untuk keluargamu, ibumu dan ayahmu.”

“Siap Kek! Tahun depan harusnya udah waktunya magang sih, tapi aku bingung, Kakek minta tolong aku ngapain?”

Kakek Rudi terdiam sejenak, katanya “Jadi dirimu sendiri, Bagas. Lakukan apa yang menurutmu harus dilakukan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status