Share

9. Ketahuan

Bagas dan Edwin turun ke lapangan, sama seperti pekan sebelumnya. Mereka mengikuti salah satu tim sales, Mas Yusa. Meski turun lapangan, sebenarnya tidak banyak yang dilakukan Bagas dan Edwin, hanya mengamati cara kerja sales senior.

“Gue hari ini mau nyamperin 3 distributor gede, mayan lah kalian ikut biar ada pengalaman,” ujar Mas Yusa, mereka sudah dalam perjalanan dengan mobil kantor.

“Oke siap mas, ke mana aja?” jawab Edwin.

“Dua ada di Jaktim, satu lagi di Bekasi,” jawab Mas Yusa. “Lumayan jauh sih, ya bisa seharian lah kita.”

“Bekasi itu apa?” tanya Bagas.

“Lha kocak lo gas,” Edwin menjawab.

Tim Pak Evan sedikit lebih ramah daripada tim Pak Agung, tapi tentu tidak benar-benar nyaman. Sebagian pegawai masih tidak suka diganggu dengan anak magang. Beruntung, Mas Yusa tampak tidak keberatan.

“Kalian udah berapa lama magang di sini?” tanya Mas Yusa setelah 15 menit perjalanan.

“Baru dua minggu mas,” jawab Edwin. “Gue sama Bagas masuk barengan.”

“Bagas, lo yang langsung bikin heboh di hari pertama ya.”

“Eh … enggak mas, sori,” ujar Bagas.

Mas Yusa tertawa singkat. “Gak masalah, cuma kita-kita kaget aja ada yang datengin chef dan dapur lengkap, eh ternyata cuma anak magang.”

“Emang dia agak aneh mas orangnya,” jawab Edwin.

“Lo yang aneh,” Bagas merespons.

“Lha, minggu lalu siapa yang kocak.”

Minggu lalu, tepatnya di hari Jumat, Bagas dan Edwin diajak turun pertama kalinya. Pak Evan langsung yang mengajak mereka mengikuti cara kerja tim sales.

Ada kejadian konyol di lapangan. Bagas memberi diskon harga semena-mena, katanya kasihan dengan salah satu distributor yang menawar. Rokok yang seharusnya seharga Rp23.600 per pak didiskon Bagas jadi Rp10.000 saja.

“Lha kasihan Win, katanya penjualan mereka turun drastis.”

“Kasihan ya kasihan aja, gak usah kasih diskon. Emang ini perusahaan kakek lo.”

“Eh …” Bagas tidak bisa menjawab tudingan Edwin barusan. 

Sekitar 30 menit kemudian, mereka sampai di distributor pertama. Ini salah satu distributor besar yang sudah lama bekerja sama dengan Djerami.

Mas Yusa langsung bekerja dengan cepat, Bagas dan Edwin hanya mengikuti. Bagi Bagas, ini pertama kalinya dia turun ke distributor secara langsung. Ada setiap produk rokok bertumpuk dalam ratusan kardus, siap dikirim ke toko-toko pembeli.

“Banyak juga ya mereknya,” ujar Bagas, mengamati tumpukan kardus besar.

“Emang banyak, ada 19 apa 20 merek gitu. Emang lo gak ngerokok?”

“Enggak Win, lo ngerokok?”

“Kadang masih, dulu gue udah kayak kereta api.”

“Emang kereta api kenapa?”

“Yah bego lo, kan kereta api keluar asap terus tuh kayak ngerokok.”

“Oh, emang kereta api gitu?”

“Wah gak ngerti lagi gue sama lo, masa kereta api gak tau. Gak pernah naik lo?”

“Pernah, kereta listrik. Gak ada asapnya.”

Keduanya kemudian diajak Mas Yusa bertemu dengan petinggi distributor tersebut. Satu tempat selesai, tempat ketiga tidak terlalu jauh. Sekarang mereka dalam perjalanan ke Bekasi, kantor distributor ketiga.

Tempat ketiga yang didatangi berupa gedung perkantoran konvensional, lebih mirip kantor pusat Djerami daripada kantor distributor.

“Kok kayak kantor biasa mas?” tanya Edwin.

“Iya, gudangnya ada di belakang sana,” jawab Mas Yusa. “Kita perlu ketemu salah satu bosnya aja sih.”

“Oh gitu, keren juga.”

“Emang perlu ketemu buat apa mas?” tanya Bagas.

“Banyak yang diomongin, khususnya pesanan sih. Ada penurunan 5.000 dus, kita mau tanya ada masalah apa yang bisa dibantu.”

Ketiganya berjalan mendekati pintu masuk. Keamanan gedung ini cukup tinggi. Mereka harus menyerahkan kartu identitas untuk diizinkan masuk sebagai visitor.

“Win, gue gak ada KTP,” kata Bagas.

“Lha, kok bisa?” tanya Edwin sembari menyiapkan kartu identitasnya, Mas Yusa sudah beres terlebih dahulu.

“Gue kan warga Belgia, Win. Adanya paspor, versi digital sih ini ada di HP.”

“Oh iya, yaudah tunjukin aja gapapa kali,” jawab Edwin. “Mana sini coba gue liat.”

Bagas mengeluarkan HP, mengakses aplikasi e-passport. Langsung terpampang foto dan identitasnya.

“Nih, lo liat,” ujar Bagas sambil menyerahkan HP-nya ke Edwin.

“Oh, ini sih harusnya bisa,” kata Edwin sambil mengamati identitas lengkap kawannya itu.

Bagas Bagja Hardjito.

“Nama lengkap lo kayak pernah denger,” lanjut Edwin. “Kok Hardjito? Nama lo mirip Rudi Hardjito nih yang punya Djerami.

Edwin tertawa singkat, lalu terdiam tiba-tiba dan mendekati Bagas. 

Kata Edwin berbisik-bisik: “Masa Djerami perusahaan kakek lo beneran?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Amran Azadel
koinnya jangan terlalu besar bayarnya/bab,minimal 4/5 koin saja per babnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status