Share

4. Terbongkar

Sudah dua hari Bagas dan Silvi magang di tim Pak Agung, ini hari ketiga, hari Jumat. Dua hari kemarin Bagas dan Silvi masih belum mendapatkan pekerjaan layak, paling banter fotokopi.

Hari ini, keduanya kembali datang paling pagi. Bagas dan Silvi sudah di depan laptop masing-masing, meski tidak ada yang dikerjakan. Tak lama, Pak Agung datang.

“Pagi pak,” kata Bagas dan Silvi.

“Yo,” jawab Pak Agung.

Salam mereka terhenti di situ. Dua hari kemarin Pak Agung nyaris tak pernah bicara dengan Bagas dan Silvi. Hanya para pegawai yang bicara, itu pun untuk menyuruh.

“Namamu siapa,” tanya Pak Agung sambil menunjuk Silvi.

“Eh … saya Silvi pak.”

“Oh, Silvi ya. Bisa tolong bikinkan saya kopi. Pantry ada di belakang sana.”

“Bi … bisa pak, baik.”

Silvi baru beranjak berdiri, Pak Agung kembali bicara. “Kopi tiga sendok, gula satu sendok. Jangan manis.”

Bagas sedikit tercengang mendengar kalimat Pak Agung. Memang ada kata tolong, tapi nadanya lebih seperti memerintah. 

Pagi berjalan dengan cepat. Tim Pak Agung sudah lengkap. Seperti biasa, mereka ada urusan di laptop sampai jam makan siang, setelah itu berpencar sendiri-sendiri turun ke lapangan.

“Lo berdua bisa pake G****e Sheet kan?” tanya salah satu pegawai. Ini pegawai yang berbeda dengan yang menyuruh Bagas fotokopi kemarin.

“Bisa kak,” jawab Silvi.

“Bagus, bisa bantuin kami dikit ya. Laporan lagi banyak pagi ini, padahal kami harus segera turun lapangan. Apa email lo berdua, biar gue kirim.”

Ada yang berbeda pagi itu. Bagas dan Silvi dipercaya merapikan data di sheet. Sepertinya kerjaan tim terlalu padat, sampai anak magang dipercaya.

“Udah gue kirim ya, jangan sampe Pak Agung tau. Itu lo tinggal rapiin, urutin tanggal, kuota penjualan, total harga. Udah gue kasih instruksi di email, gampang kok.”

“Baik kak, kami kerjakan,” jawab Bagas.

Data yang diterima Bagas dan Silvi cukup banyak untuk ukuran anak magang. Mereka butuh waktu seharian untuk merapikannya. Siang hari, saat jam makan siang, Silvi bicara dengan Bagas.

“Gas, lo ngerasa ada yang aneh gak sih dengan data kita,” kata Silvi.

“Hah, aneh kenapa?” justru Edwin yang menjawab. Siang itu mereka makan bareng di ruang makan.

“Datanya aneh,” jawab Silvi. “Kayak ada angka yang dibuat-buat, gak sinkron gitu, tapi hasil akhirnya surplus.”

“Oh gitu, di tempat gue kayaknya gitu juga, tapi gue cuma liat bentar sih. Udah bisa turun lapangan, meski cuma ngikut sih.”

“Emang iya,” Bagas bicara. “Ada yang aneh dengan data-data yang gue kerjain. Banyak banget barang sampel atau bonus, padahal bonus kan duitnya gak masuk kas perusahaan.”

“Udah gak usah diurusin,” Doni menyela, Ajeng mengangguk. “Itu bukan urusan kita yang cuma anak magang. Kerjain aja, bikin laporan, beres.”

“Emang kalian tau kak?” tanya Silvi.

“Asal tau aja sih. Kita di tim sales, tempatnya dapet duit. Apa aja bisa terjadi,” jawab Ajeng.

Edwin dan Silvi manggut-manggut, Bagas tampak tenggelam dalam pikirannya. 

“Btw lo gak usah datengin chef lagi ya, rame!” tegas Edwin. “Gue ditanya-tanyain soal lo nih, tim gue pada penasaran.”

“Eh … iya. Ini bawa bekal,” jawab Bagas. 

“Bukan bekal itu, beli lo ya” jawab Edwin. Betapa tidak, Bagas membawa Bento lengkap, mewah. Ada udang, salmon, foie-gras, telur salmon, segala bahan makanan mahal.

“Iya beli,” bagas terkekeh. “Ini 3 juta aja, murah.”

Edwin kembali terkejut, “Wah lo ini!”

Bagas dan Silvi kembali ke meja kerja mereka, kembali mengerjakan laporan. Ucapan Silvi saat makan siang tadi semakin menguatkan dugaan Bagas, ada yang salah dengan laporan ini.

“Ada yang salah,” kata Bagas pelan, lebih kepada dirinya sendiri. “Ini duit perusahaan dimakan tim sales.”

Selisih angka yang ditemukan Bagas cukup besar. 225 juta hanya untuk rokok sampel dalam sebulan terakhir.

Bagas kemudian berdiri dan menghampiri Pak Agung. “Siang Pak, ada yang mau saya tanyakan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status