Share

6. Apartemen

Jumat selalu terasa lebih cepat. Bagas dan Edwin keluar kantor bersama. Setelah lama memendam rasa penasaran, Edwin akhirnya bertanya.

“Gue gak pernah liat lo pake motor atau mobil,” katanya. “Lo ke kantor naik apa?”

“Jalan, gue tinggal di apartemen deket sini,” jawab Bagas.

“Wah keren, bener orang kaya lo ye. Emang di mana?”

Bagas menyebut nama salah satu apartemen paling mahal di Jakarta, Keraton Residence. Edwin tentu tidak bisa menahan diri.

“Gila lo ya! Itu sewa apartemen mahal banget,” Edwin lagi-lagi dibuat terkejut “Duit dari mana lo, wah curiga gue.”

“Eh, masa mahal?” tanya Bagas. “Disewain Kakek sih, katanya apartemen biasa, gue tinggal masuk aja.”

“Wah gak bener lo! Kakek lo sultan Dubai apa gimana? Gue kudu main nih, gak mau tau. Lo ada acara gak sekarang?” 

“Gak ada sih, tapi …”

“Sip! Gue mampir ya, bareng gue aja, bawa motor. Baru kali ini gue punya temen kaya.”

Hanya butuh 5 menit perjalanan naik motor untuk sampai di apartemen Bagas. Anehnya, Bagas tampak terheran-heran dengan motor matic milik Edwin. Mungkin aneh baginya yang tumbuh di Eropa.

“Keren nih motor!” kata Bagas setelah mereka sampai di parkiran apartemen.

“Keren apaan,” balas Edwin. “Honda Beat doang, motor sejuta umat nih. Masa lo gak pernah tau?”

“Kemarin-kemarin liat orang pake di jalan, tapi gue baru tau nih motor gak pake gigi ya!”

“Iya pake gigi lo! Ini kan matic, gimana sih.”

“Gue gak pernah tau, emang motor gini udah lama?”

“Wah tinggal di hutan lo ya? Tarzan beneran ada ternyata.”

“Gue udah lama gak di Indonesia, Win.”

Edwin menaikkan alis penasaran. “Emang lo tinggal di mana?”

“Belgia,” jawab Bagas. “Gak ada Honda Beat di sana.”

“Wah baru tau gue.” Edwin sengaja mengabaikan fakta soal Honda Beat di Belgia. “Emang sejak kapan di sana?”

“Gue terakhir di sini sampe SD kelas 6, udah ada matic belum ya?”

“Udah ada kali, lo aja yang gak merhatiin. Emang lo kuliah di mana?” Tanya Edwin lagi.

“Gue? Di Oxford …”

Jawaban Bagas tampaknya membuat Edwin kesal tidak terima. Saking kesalnya, dia sampai lupa memperhatikan kemewahan lobby apartemen Bagas.

“Lo kuliah di Oxford?!” Edwin bertanya keras, mereka sedang berada di dalam lift.

“Iya.” Bagas menjawab singkat.

“Oxford yang Oxford itu? Yang di Amerika?”

“Di Inggris, bego. Sejak kapan Oxford geser benua.”

“Iya apalah itu! Maksud gue, lo beneran kuliah di luar negeri?”

“Beneran lah, emang kenapa?”

“Lo nih …”

Kali ini ucapan Edwin terhenti tiba-tiba. Bagas tiba di lantai flatnya, wajar jika Edwin tercengang dan berhenti bicara. Semua yang ada di apartemen ini tampak mewah, bahkan ini baru di luarnya.

“Yuk masuk,” ujar Bagas.

Edwin hanya melongo, mulutnya masih setengah terbuka ketika masuk ke dalam flat bagas. Segalanya tampak mewah, perabotan mewah dengan perpaduan warna yang pas. Dilihat sekilas saja sudah cukup untuk tahu betapa mahalnya perabotan tersebut.

Bagas sudah menaruh tas, berganti pakaian, dan berjalan ke dapur saat melihat Edwin masih berdiam di tempat yang sama. Kepala Edwin berputar pelan kanan ke kiri, matanya memindai kemewahan apartemen.

“Lo mau minum apa?” tanya Bagas. “Gue mau bikin Espresso Martini, lo mau?”

“Hah? Minum apa lo?” Edwin balik bertanya.

“Martini.”

“Kayak nama cewek Indo.”

Keduanya duduk di living room, Bagas dengan segelas Martini, Edwin dengan es kopi. TV menyala menampilkan berita terkini.

“Lo gak dimarahin ustadz lo minum begituan,” kata Edwin.

“Hah?” Bagas terheran.

“Alah udahlah, capek gue ngadepin lo. Gue mau tanya yang kemarin nih, lo mau ngomong apa sama Pak Agung?”

“Kemarin sih, untung ada Silvi …”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status