Tut tut tut. Mbak Mila memutuskan teleponnya sepihak bahkan sebelum aku bicara lagi.Aku kembali memasukan ponsel ke dalam saku lalu bergegas pergi ke kamar.Di atas kasur yang biasa kami tiduri berdua itu kulihat ibu sudah terlelap. Pelan, aku pun duduk sebentar di sisi ranjang kemudian terisak di sana."Sabar ya, Bu, gak akan lama lagi, gak akan lama lagi Ibu akan sehat."Bayangan si lelaki tua bangka sedang berusaha merudapaksa ibuku pun kembali muncul membuat telapak tangan ini spontan mengepal.Sakit sekali rasanya, sesak sekali dada ini dibuatnya, mentang-mentang kami hanya tinggal berdua siapapun seolah berani berbuat kurang ajar pada kami.Tapi tak apa, sekarang semuanya sudah dibayar lunas, aku yakin pria tua bangka itu sedang merasakan kesedihan yang sekarang sedang kurasakan juga, walau pun ....Kutengok bingkai foto yang kutaruh di atas nakas. Bingkai berisi foto kebersamaan antara aku dan Nila.Dua sahabat yang selalu berjanji untuk terus setia dan saling menjaga satu sam
"Tanyakan saja pada putrimu," tandasku seraya pergi dari hadapannya.Rasanya aku sangat muak jika terlalu lama dekat dengan si tua bangka itu.Setelah berbasa-basi dan mengakui semua kebohonganku selama ini pada Bi Masitah, aku pamit pulang sebentar.Niat hati ingin beristirahat karena kepalaku rasanya penat harus terus bersandiwara di depan Bi Masitah. Tapi saat sampai di rumah aku malah mendapat tugas yang gila dari Mbak Mila."Kau dengar Sarah, Mbak akan pulang sekarang, Mbak sudah pesan tiket pesawatnya.""Baguslah, terus?""Malam ini juga kamu harus pergi ke makamnya Nila.""Hah?" Aku melonjak duduk dari pembaringan."Tapi untuk apa?"Jangankan pergi ke makam Nila, aku di rumah saja rasanya dihantui terus oleh arwahnya hihh."Tentu saja untuk mencuri jasadnya Nila.""Apa?? Mbak Mila ini gila atau gimana?" "Ini harus kamu lakuin Sarah, atau kalau enggak kita akan habis.""Sarah gak mau, apa-apaan ini? Buat apa nyuri jasad Nila?""Tentu saja agar ibuku gak bisa autopsi Sarah."Aku
"Ah lupakan soal itu, Mbak akan transfer sekarang juga, udah ya."Mbak Mila mematikan sambungan telepon setelah gelagapan menjawab pertayaan terakhirku. "Dasar wanita aneh."Tak lama sebuah notifikasi sms banking masuk.Aku tersenyum lebar dan bergegas pergi ke Bank yang ada di Kecamatan untuk mengambil uang."Sarah, jangan lupa bagian Paman," teriak si tua bangka.Aku mendecih tak sudi.-Sepulang mengambil uang Mbak Mila sudah sampai rumah Bi Masitah. Segera aku ke sana untuk cipika-cipiki."Mana bapak? Apa tugas kalian semalam beres?" tanya Mbak Mila saat Bi Masitah sedang ke belakang."Ya Sarah gak tahu lah kemana si tua bangka itu, soal pekerjaan tadi malam tanya aja langsung sama dia," jawabku ketus."Kau ini bisa gak lebih sopan sedikit sama bapaknya, Mbak?""Gak bisa!"Mbak Mila geram dan mengeratkan gigi-giginya. Tapi sebelum kami terlibat pertikaian sengit Bang Parman tiba-tiba datang teriak-teriak. Kupikir ada apa, ternyata ia hanya mau mengabari soal makam Nila yang rusak
PoV Mila"Mila, malah bengong, dipanggil Pak Sultan tuh buruan." Ucapan Radiya-teman kantroku menarikku kembali dalam kesadaran.Ya Tuhan entah sudah berapa lama aku berdiri di dekat meja kerjaku, mengingat kembali soal Nila aku jadi lupa kalau Bani Azhar tadi memanggilku lewat telepon.Bergegas aku memasukan alat make up ke dalam sling bag, tapi saat kaki akan melangkah ponselku sudah begetar."Arggghh mau apa si Sarah telepon? Bikin moodku jelek aja tuh anak."Tapi jika aku tak mengangkatnya, Sarah pasti akan terus menelepon."Halo Sarah, ada apa lagi sih?""Mbak kemana aja sih? Sarah teleponin juga daritadi, malah gak diangkat-angkat," dengusnya."Mbak lagi sibuk, kerja.""Lebih penting mana kerja sama urusan kita? Sekarang gimana? Nila udah berhasil diautopsi."Aku menggit bibir sedikit, kepalaku jadi kembali pusing rasanya."Mbak lakuin sesuatu dong, Mbak." Sarah bicara lagi, nada suaranya terdengar tak santai sekali."Oke oke Sarah, kamu tenang aja kenapa sih? Ini Mbak lagi miki
Arrgghh andai saja dia bukanlah calon mertuaku sudah pasti aku akan menutup mulutnya pakai lakban atau menyumpal nya dengan kertas. Wanita ini ternyata benar-benar tak semudah yang kubayangkan untuk mendapatkan hatinya. Tapi aku memilih diam saja, tidak bicara apalagi menanggapi sindirannya itu. aku hanya terus berpura-pura mempercepat pekerjaanku membereskan berkas-berkas itu."Iya Ibuku sayang, mana mungkin Sultan berani macam-macam, Sultan gak tertarik dengan siapapun di sini, Sultan hanya mencintai menantumu itu saja, justru Sultan memanggil Mila kesini untuk membicarakan masalah Nila, Sultan meminta Mila agar dia mengatur ulang jadwal rapat, Sultan berniat akan pergi ke Jawa dan menyusul Nila ke sana.""Bagus, memang itu yang Ibu harapkan, pergilah, Nak, pastikan istrimu itu baik-baik saja di sana, entah kenapa Ibu sangat khawatir, perasaan Ibu juga gak tenang dan cemas sekali rasanya. Beberapa kali ini Ibu juga mimpi buruk soal Nila, entahlah tapi Ibu harap Nila baik-baik saj
"Kalau begitu gimana kalau saya ke rumah Bapak, sekarang? Ibu mungkin sedang butuh bantuan untuk menyiapkan sarapan, istri Bapak belum pulang juga 'kan?""Oh enggak, gak usah, di rumah saya ada banyak pegawai," tolaknya.Aku mengerling bebas lalu bergeming sebentar.Kamu boleh menolakku sekarang Bani Azhar, tapi tidak lama lagi efek obat itu akan berreaksi dan akan membuatmu pasrah padaku."Ya sudah saya permisi, Pak."Bani Azhar mengangguk sambil terus memegangi kepalanya.Belum juga kaki ini sampai di dekat pintu ....Brukk. Gedebussshh.Bani Azhar pingsan. Bergegas aku kembali ke arahnya."Kamu bandel sih sayang, makanya aku main sedikit kasar. Maaf ya," bisikku di telinganya.Setelah ku pandangi setiap inci wajahnya yang tampan bak raja itu, aku segera menelepon bagian security agar membantuku membawanya ke dalam mobil."Eh ya ampun Bapak kenapa ini, Mbak?" tanya sang sopir panik."Pingsan, ayo bawa kami pulang."-Aku duduk di jok belakang bersama Bani Azhar."Enggak ke rumah sak
Saat aku sedang mencoba menormalkan diri, Bani Azhar mulai tersadar. Segera aku bangkit dan duduk di sampingnya."Pak."Kening Bani Azhar sontak mengerut."Kamu di sini Mil?" tanyanya lemah."Jangan banyak tanya dulu Pak, ayo diminum dulu air nya."Butuh waktu agak lama untuk Bani Azhar benar-benar membuka matanya dan meraih air dariku. "Saya ada di mana ini?" tanyanya dengan kepala dan mata yang tampak berat."Bapak ada di rumah, Pak.""Di rumah? Bukannya saya tadi di kantor?""Iya, Pak, saya yang membawa Bapak pulang, tadi Bapak pingsan di kantor, karena sudah menunggu lama gak sadar-sadar, saya khawatir, saya pikir istirahat di rumah akan membantu Bapak cepat sadar dan pulih."Bani Azhar mencoba bangun."Tapi saya harus kerja Mila, ada banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan.""Bapak enggak usah pikirin soal kerjaan, biar semua itu saya yang handle, sementara Bapak istirahat aja dulu di rumah."Bani Azhar tak banyak bicara lagi, ia kembali membaringkan bobotnya."Kenapa kepala
Selesai menelepon aku pun melelapkan diri sebentar. Niat hati ingin menghilangkan penat sedikit tapi aku malah menyesal.Bagaimana tidak? Di dalam mimpi aku kembali didatangi Nila, ia tengah terisak-isak dengan air mata yang bersimbah darah.Kemudian ia melambai ke arahku dengan sorot mata yang menghujam. Sebelah kakinya putus dan sebelah lagi tampak menggantung dari tanah.Napasku tercekat rasanya, aku ingin berteriak namun entah kenapa tenggorokanku seperti dihalangi sesuatu. Dan semakin aku mencoba ingin lari kakiku terasa semakin berat seperti terbelenggu sesuatu.Perlahan dengan langkah melayang ia berjalan ke arahku dan ... brak, secepat kilat leherku dicekiknya hingga aku terengah-engah."Nil-la, amp-pun."Nila tak bersuara, cengkraman tangannya yang sedingin es di leherku malah makin kuat dan menjadi."Nilaaaa!" Aku tersentak bangun dengan keringat yang sudah membasahi seluruh tubuhku.Kupegangi leher yang tadi dicekiknya, ternyata ada terasa dingin seperti es. Aneh, padahal a