"Ada apa nih? Mukanya pada tegang-tegang begitu?" Galang yang baru keluar dari kamarnya memandang kami dengan heran. Anak itu tampak menenteng sneaker-nya. "Bunga baik-baik saja kan?" Dia bertanya lagi usai duduk di sampingku."Ini bukan tentang Bunga." Gading berkata sambil menaruh ponselnya pada meja."Terus tentang apa?" kejar Galang seraya memakai sepatu berwarna putihnya."Nona."Galang menghentikan tangannya. Dia mendongak untuk menatap sang kakak. "Memang dia kenapa?""Hari ini dia akan menjalani pemeriksaan. Semua bukti dan saksi mengarah padanya, tapi tadi ayah telepon dari semalam dia gak pulang," tutur Gading berhati-hati. Pastinya dia menjaga perasaan Galang. Karena bagaimanapun juga, Nona masih berstatus sebagai istri dari sang adik."Jadi maksudnya Nona kabur?" tanya Galang datar. Sama sekali tidak ada raut kekagetan pada parasnya. Dia dengan santai kembali meneruskan mengikat tali sepatu."Sepertinya begitu. Kamu tahu alamat teman dekatnya dia?""Gak." Galang menggeleng
"Mbak Nona bisa didakwa dengan pasal 359 KUHP atas kelalaiannya yang menyebabkan kematian seseorang. Ancamannya pidana kurungan paling lama satu sampai lima tahun penjara," terang Pak Pengacara lugas.Wajah Mas Arif tampak pias mendengarnya. Pria yang beberapa hari ini terlihat lebih kurus itu menutup wajahnya. Sepertinya dia tengah dilanda kalut."Assalamualaikum!""Nah ... sepertinya itu suara Gading," ujarku begitu mendengar suara salam dan ketukan pintu, "sebentar saya lihat dulu."Aku bangkit dari duduk. Kaki ini melangkah pintu. Benar dugaanku yang datang adalah Gading.Anak itu melempar senyum manis untukku. Wajahnya benar-benar berseri. Dirinya langsung mendekati sang mertua dan pengacara untuk bersalaman."Saya ganti baju dulu, Yah, Pak," pamit Gading santun.Dia buru-buru melangkah ke kamarnya. Tidak sampai sepuluh menit Gading sudah kembali. Lelaki itu telah mengganti seragam cokelatnya dengan kemeja garis-garis vertikal berwarna biru navy."Ayo berangkat, Yah!" ajak Gadin
"Yan, kamu lagi gak guyon toh?" Aku memastikan dengan serius."Lho ... Mbak Rini kok iso ngomong gitu?" Aryanti sepertinya heran dengan maksud pertanyaanku."Gini lho, Yan, Nona ki gak kenal kamu. Lah kok bisa-bisanya nyampe di situ?" tanyaku tidak habis pikir."Oh ... itu." Sepertinya Aryanti langsung paham arah pertanyaanku. "Nona memang gak kenal aku, tapi dia kan kenal Bening," terangnya sambil menyebut nama putri sulungnya."Lah kok iso?" Lagi-lagi aku bingung dibuatnya, "mereka kan gak pernah ketemu ... eh pernah ding, tapi cuma sekali waktu nikahannya Galang kemarin," tuturku meralat omongan sendiri."Nah ... itu, Mbak," sahut Aryanti membenarkan perkataanku, "si Bening juga cerita begitu. Tapi tiga hari yang lalu tiba-tiba mantumu itu hubungi dia, Mbak.""Sebentar-sebentar! Maksudnya pie kok ujug-ujug Nona bisa hubungi Bening? Tahu darimana dia nomor anakmu?""Mereka itu anak muda, Mbak. Pastinya pada main medsos.""Terus?""Kebetulan si Bening kan jualan baju-baju dan hijab s
Bocah itu mengikutiku masuk usai mengunci pintu. Kami menuju ruang keluarga. Di sana Gading dan Bunga sudah menunggu."Bu, gimana ceritanya Ibu bisa tahu keberadaan Embak aku?" Bunga langsung memberondong pertanyaan begitu aku duduk berdampingan dengan Galang.Aku menghirup oksigen sebelum bercerita. Setelah merasa cukup tenang, baru percakapan antara aku dan Aryanti di telepon kubeberkan. Ketiga anak itu mendengarkan dengan seksama."Sekarang ibu mau nanya. Dulu sewaktu acara resepsi kalian, memang Nona ada ngobrol sama Bening atau bapaknya?" tanyaku pada Galang usai memungkas penuturan.Masalahnya waktu resepsi kemarin, aku tidak mengikuti sampai full. Karena harus menemani Bunga yang lahiran. Jadi tidak tahu perkenalan Nona dengan Bening."Iya, Nona sempat aku kenalkan dengan Bening." Galang mengaku dengan jujur, "tapi ya sebatas basa-basi biasa kok, Bu. Cuma waktu itu Bening memang promosi akun jualannya ke Nona. Mungkin dari situ Nona bisa tahu alamat Lek Aryanti.""Lekmu juga bi
"Gak papa ... santai saja." Mas Arif menyahut kalem. Kini lelaki itu berganti menutup mata.Aku memandang ke pemandangan di jendela mobil. Kami mulai memasuki jalanan daerah Wonosobo. Kanan kiri adalah hutan dengan pepohonan yang tinggi. Banyaknya kelokan membuat perutku mulai terasa mual.Jalanan kian menanjak. Sementara lika-likunya juga ada terus di setiap beberapa meter. Perutku kian bergejolak. Tidak ingin muntah, aku langsung mengambil minyak angin.Sayangnya itu tidak begitu menolong. Kini kepala juga mulai terasa pusing. Goncangan demi goncangan benar-benar menyiksa perut."Huekkk!" Aku langsung menutup mulut."Kamu kenapa, Rin?" Mata Mas Arif yang terpejam sontak terbuka mendengar suara mualku.Aku hanya menggeleng sambil terus membungkam mulut. Pak Kus yang pengertian, langsung membuka dashboard mobil."Maaf," ucap Pak Kus sambil menyerahkan sebungkus plastik dengan tangan kirinya. Mas Arif sigap menerima. Lelaki itu menyobek pembungkus, lalu menyodorkan sehelai tas plastik
"Nonaaa!" pekik Mas Arif berusaha mencegah sang putri. Sayangnya Nona tidak menggubris teriakan ayahnya. Perempuan yang hari ini mengenakan celana denim panjang itu terus saja ambil langkah seribu. Dia bahkan tidak peduli telah beberapa kali menabrak pekerja yang kebetulan lewat.Aku, Mas Arif, dan suami Aryanti langsung bergerak cepat mengejar Nona. Kami terus saja membujuk anak itu untuk berhenti. Namun, Nona yang keras kepala sama sekali tidak menghentikan larinya.Kini kami bahkan sudah kelar dari kebunnya Aryanti. Nona terus berlari mendaki bukit. Jalanan terjal tidak ia hiraukan. Hingga akhirnya dia menemui jalan yang buntu. Di bawah sana ada jurang yang cukup curam. Sekali jatuh nyawa bisa langsung melayang."Tolong ... berhenti ... ngejar ... a-atau aku terjun ke sana!" ancam Nona dengan napas yang tersengal. Perempuan itu menengok ke bawah. Wajahnya yang sudah pucat kian pasi melihat kedalaman jurang. Sementara tangannya terus memegangi dadanya yang mungkin terasa sesak kar
Kakinya sudah bergelantungan tidak jelas. Anak itu akan memekik jika melihat ke bawah. Sementara aku sekuat mungkin menahan agar tubuh Nona tidak terjatuh."Kemarikan tanganmu yang satunya, Non!" perintah Mas Arif mengulurkan tangan kanannya.Nona menurut. Kedua tangannya yang mencengkeram erat lenganku, kini berpindah satu. Tangan kiri wanita itu mulai membelit lengan ayahnya. Suami Aryanti pun inisiatif membantu. Kami bertiga bahu membahu menarik lengan Nona hingga naik ke permukaan. Akhirnya setelah mengeluarkan banyak tenaga, Nona berhasil diselamatkan. Anak itu menubruk tubuhku. Badannya gemetar ketakutan. Kutenangkan dengan mengelus rambutnya.Kurangkul Nona hingga tiba di bawah pohon mangga. Pohon ini cukup rindang untuk kami berteduh sejenak. Sampai sana kembali pundak ini kurelakan sebagai tempat bersandarnya Nona. Kami duduk lesehan beralasan rumput liar."Menangislah jika itu bisa sedikit mengurangi beban di hatimu." Aku bicara sambil terus membelai rambut Nona.Nona mend
Aroma minyak angin yang menyengat memaksaku untuk membuka mata. Aku mengerjap beberapa kali untuk menajamkan penglihatan. Wajah pertama yang muncul di mata adalah Aryanti."Alhamdulillah ... akhirnya kamu sadar juga, Mbak," syukur Aryanti terdengar lega. Ucapan hamdalah-nya diikuti oleh beberapa orang lainnya. Rupanya ada banyak orang yang mengerumuni aku."Sttt! Aku di mana ini?" tanyaku sambil berusaha duduk. Tangan ini memegang pelipis yang masih sedikit pening."Sudah kamu tiduran saja, Mbak," suruh Aryanti melarangku bangkit, "tadi kamu pingsan. Digotong sama Mas Arif dari bukit," terang perempuan yang duduk tepat di hadapanku.Aku menatap sekeliling. Ada Nona dan Mas Arif. Keduanya menatapku khawatir. Ada juga anak-anak Aryanti yang berdiri di dekat daun pintu."Memangnya kamu sakit apa sampai bisa semaput gitu?" tanya Mas Arif bergerak mendekat."Saya gak ada riwayat sakit apa-apa." Aku menjawab jujur dengan lemah, "cuma aku ada anemia. Ditambah masih kelelahan menempuh perjala