“Kamu tahu dari mana?“ tanyaku menyelidik.“Dari hapenya Yanti.“ Rika menjawabnya sambil meringis.“Yang bikin heran itu, mereka pinter banget nyembunyiin pernikahan Kang Hadi. Di depanku bersikap manis, di belakangku mereka juga bersikap manis sama Si Yanti,“ lanjutnya diakhiri helaan napas kasar.Aku bingung harus menanggapi apa. Bukan waktunya aku mengatakan ’sabar’ karena Rika memang cukup sabar menghadapi ujiannya ini.“Aku penasaran kenapa Hadi mau sama Yanti? Dan sebaliknya,“ kataku. Rika tersenyum masam, tangannya bergerak menyeka sudut netranya.“Awalnya iseng karena patah hati ditolak Kang Hasan. Eh lama-kelamaan cocok. Kata Nuri sih gitu,“ jawab Rika dengan tegar. Lebih tepatnya tampak berusaha tegar.“Nuri jujur sama kamu?““Bukan jujur, Teh. Tapi aku pepet. Aku suruh dia cerita semuanya.“ Rika berkata dengan suara bergetar. Aku mengusap lengannya, “strong woman. Kamu itu strong woman.“Uwak Piah tersenyum. Dia juga mengusap lengan kiri Rika.“Mungkin ini karma, Teh. Karma
“Mas, tahu nggak gimana reaksi Rika pas tahu akun Es Lilin itu punyaku?“ tanyaku pada Mas Hasan.“Memang gimana?“ Mas Hasan menatapku intens.“Rika sepertinya syok, Mas. Aku nggak nyangka, kalau secara tidak langsung sudah membungkam kesombongannya di masa lalu,“ ujarku seraya tersenyum.“Tapi Adek jangan sombong seperti mereka. Adek harus tetap merunduk walau berada di puncak kesuksesan,“ sahutnya seraya mengusap rambutku.“Insya Allah, Mas.““Sudah malam, tidur yuk! Cape banget nih.“ Mas Hasan mematikan lampu, menggantinya dengan lampu tidur.Aku mengangguk. Menyimpan ponsel di laci lalu menyusul Mas Hasan yang tertidur lebih dulu.🌹Selepas shalat subuh, aku dan Rika ke kamar Mamah. Tak seperti biasanya, hari ini Mamah sudah bangun. Ia duduk di pinggiran ranjang sambil menginjakkan kaki ke lantai.“Kita jalan lagi ya, Mah,“ ajakku.Mamah mengangguk. Aku memapahnya dengan pelan. Aku bahagia melihat Mamah yang sungguh-sungguh ingin sehat.“Mau BAB nggak?“ tanyaku sambil mengguyur ba
Rumah kembali sepi sepeninggal Rika dan Uwak Piah. Mereka pulang dadakan dijemput Aydin. Khalid terlihat keberatan saat Haifa dibawa pulang ibunya. Selama tiga hari di sini, Khalid selalu dekat-dekat dengan sepupu perempuan satu-satunya itu. Sebelum pulang, Rika memintaku menerima permintaan pertemanan akun biru. Selama ada Rika dan Uwak Piah, aku memang jarang membuka si biru. Aku juga hanya memegang ponsel saat malam saja.“Teteh, bulan depan Rika pasti ke sini lagi. Oh iya, doain ya supaya Rika dikasih jalan yang terbaik,“ katanya tadi sebelum masuk ke mobil.“Aamiin.“Aku merasa nelangsa dengan nasibnya sekarang. Terlepas dari perlakuan buruknya padaku di masa lalu. Takdir memang tak ada yang tahu. Apa yang kita benci terkadang Allah jadikan kepingan takdir kita, pun sebaliknya.“Te-te-teh.“Suara Mamah membuyarkan pikiran. Aku menghampirinya dengan tergopoh dan tersenyum saat melihat Mamah bisa berdiri walau telapak kakinya belum menginjak lantai sempurna.“Mamah mau apa?“ tanya
“Kalian sudah shalat?“ Pertanyaan Mas Hasan membuat wajah mereka pias seketika. Baik Hadi, Nuri maupun Ningrum hanya tersenyum kaku lalu pura-pura menanyakan letak kamar mandi.“Jangan pernah melalaikan shalat,“ kata Mas Hasan saat mereka bertiga melangkah ke kamar mandi.“Makasih, Mah,“ ucapku tulus. Mamah menggeleng dengan netra berembun. Tangannya meraih tanganku.“Ma-mamah minta maaf. Se-lama ini selalu za-lim sama ka-mu,“ katanya tersedu-sedu. Seperti saat Rika meminta maaf, malam ini hatiku merasa bahagia dan lega. Kata maaf memang terdengar sepele tapi begitu berarti. Bisa membuat batin yang tersakiti sembuh, bisa memandam api dendam yang membara.“Hanna sudah memaafkan Mamah.“ Tanpa sadar mataku pun berkaca-kaca, sesaat kemudian air mataku menetes. Mas Hasan mengusap pipi ini dengan lembut, juga pipi Mamah. Kami bertiga berpelukan. Mengislahkan segala hal yang pernah terjadi di masa lalu.🌹🌹“Kang, kalau pembagian harta warisan dipercepat, boleh tidak?“ tanya Haikal. Kami s
Rumah sepi sekembalinya aku dari Uwak Piah. Hanya ada Rika yang menimang Haifa. Nuri dan Yanti entah pergi ke mana.“Yang lain ke mana?“ tanyaku seraya mengedarkan pandangan.“Pulang ke rumah Nuri,“ jawab Rika datar.“Kalau Mas Hasan, Hadi sama Haikal?““Pergi ke rumahnya Ikmal.“Aku menghela napas panjang. Lalu meraih Haifa dari pangkuan ibunya. Menggendongnya senyaman mungkin. Tak lama Haifa terlelap. Setelah meletakkannya di ayunan rotan, Kulangkahkan kaki ke dapur, memasak air. Membuatkan teh chamomile untuk kami berdua. Rika mengekori. Dia duduk tak jauh dariku.“Sebenarnya ada apa sih?“ tanyaku sambil mengaduk teh, menyerahkannya pada Rika.“Makasih, Teh,“ ucapnya seraya memegangi cangkir. Aku mengangguk pelan. Kubiarkan dia menikmati tehnya. Membiarkannya sejenak melupakan beban yang tengah menghimpit hati dan pikirannya.“Ningrum dipenjara, Teh.“Teh yang baru kuteguk sontak menyembur. Untung saja aku tidak duduk di depan Rika. Hanya saja niqob, hijab dan gamisku yang basah.“
Hari ini, sebelum pulang ke Bogor, aku, Mamah dan Mas Hasan membesuk Ningrum. Sebenarnya agak malas juga bertemu dengannya. Ucapan pedas dan sikapnya yang kurang menghargaiku masih menari-nari di ingatan. Tapi karena Mas Hasan yang minta ditemani, aku pun tak berani menolak.Setelah dua puluh menit berkendara, mobil berbelok ke jalan Aria Cikondang. Sebelum ke lapas, kami mampir mengisi perut yang sedari pagi baru diisi teh hangat saja. Tak lupa membeli pesanan Ningrum. Nasi padang dengan lauk rendang.Setelah mengisi perut, kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Tiba di lapas, pandanganku langsung tertuju pada mobil tahanan. Dimana ada dua orang pemuda baru turun dengan mengenakan baju jingga khas tahanan. Melihatnya, seketika aku teringat Ningrum. Bagaimana penampilannya sekarang? Mengingat selama ini, dia selalu berpenampilan modis.“Ayo, Dek!“Aku menoleh pada Mas Hasan yang berjalan beriringan dengan Mamah. Segera menghampirinya dan dia langsung menautkan jemari kami.Setelah
Hampir sepuluh menit menunggu, aku dan Mamah pun memutuskan keluar dari rumah. Di saat itu juga banyak pasang mata menyorot kami.“Enggak nyangka ya, anak-anak Bu Aas ternyata kriminal. Yang satu gebukin orang, yang satu nipu member, yang satu selingkuh.““Iya. Mungkin ini karma Bu Aas, soalnya mulutnya julid banget kan?““Iya, karma karena omongannya selalu nyelekit.“Aku memejamkan mata mendengar tudingan-tudingan miring para tetangga yang berkerumun menonton. Sementara di lengan kiri, kurasakan cengkraman Mamah mengetat.“Hanna, Mamah takut ...“ Aku menoleh pada beliau yang matanya mengembun sambil menggigit bibir bawah. Mamah pasti malu luar biasa. Tapi kembali lagi ke mobil juga percuma. Orang-orang pasti semakin gencar membicarakan Mamah.Beruntungnya, saat bingung harus melakukan apa, Mas Hasan keluar berbarengan dengan polisi. Mereka berjalan sambil mengobrol yang entah apa. Tapi pasti hal serius, karena raut wajah Mas Hasan sangat kaku.Setelah petugas dari kepolisian angkat
“Kerugian yang dibuat Haikal, malah lebih besar, Dek. Nuri bener-bener keterlaluan. Andai gaya hidupnya nggak hedon, mungkin nggak ada separah ini.“ Aku menyimak dalam diam. Apa yang diucapkannya memang benar. Nuri bergaya hidup hedon dan gemar memamerkan kemewahan. Tak masalah jika semua itu didapat dengan halal, tapi beda lagi jika apa yang diperlihatkannya hasil dari mengambil hak orang.Aku menggelengkan kepala seraya mengusap dada dan mengucap istigfar dalam hati. Semoga aku dijauhkan dari sifat seperti itu.“Oh iya, Dek, kalau lahiran di sini ... nggak apa-apa kan?“Aku mendesah pelan, “memangnya nggak bisa ya kalau kita pulang dulu?“Mas Hasan tampak terdiam. Raut wajahnya berubah keruh.“Bingung Mas, Dek. Jujur ... gara-gara Haikal dan Ningrum, Mas jadi kurang percaya sama Hadi. Mas takut Mamah rugi untuk ke sekian kali, Dek.““Tapi untuk sementara kita bisa minta tolong ke Uwak Ayi, Mas. Aku nggak mau lahiran di sini. Lagian nggak ada jaminan kan kalau masalah Ningrum dan Hai