“Sudah puas?” tanya Om Andi. Aku bingung mendengar kata-katanya. “Apanya, Om?” Justru aku bertanya balik. “Ada di makam Nora Syafitri lama-lama. Dari tadi kamu hanya memandang batu nisannya saja. Sudahlah Nora, semua sudah berlalu.” Om Andi memegang bahuku. Sesaat aku seperti tersihir. Mana dua sosok yang ada di sebelah Om Andi tadi? Rasanya sejak aroma bukhor makin masuk dalam hidungku, semua bayangan jadi gelap dan bercampur aduk. “Sudah, Om, kita pulang aja sekarang, serem,” ucapku ketika langit semakin gelap. “Bodoh kau, Indah, padahal kau punya kesempatan untuk lari.” Bisikan itu datang lagi. Aku menoleh ke belakang. Sosok itu ada di depan pohon jambu, menunjukku dengan tangannya. Kemudian Om Andi menarik tanganku. “Jangan kamu hiraukan penampakan di sini. Desa ini memang teramat sangat sepi. Lebih banyak jumlah hantu daripada manusianya.” “Kenapa bisa gitu, Om?” “Mati ditumbalkan. Sekarang sedang gencar-gencarnya pembangunan jembatan dan fasilitas di luar pulau. Jadi ad
Aku membuka mata perlahan. Aku tak lagi ada di rumah Om Andi. Aku menelisik sekeliling ruangan, aroma obat yang menguar, serta tangan yang diinfus. “Aku di rumah sakit? Kok, bisa?” gumamku sendirian. Mana tidak ada perawat yang jaga. Siapa pula yang membawaku ke sini. Aku masih ingat kejadian terakhir sebelum aku sadar. Perempuan dengan selendang merah yang berada dibawah kendali Om Andi. Mereka berdua terlalu asyik sampai tak menghiraukanku. Aku menyerah kalau sudah ada perempuan lain. Diusahakan sekuat apa pun, yang lama akan kalah dengan yang baru. Bukankah begitu hukum alamnya? Pintu kamarku terbuka, Kimmi muncul sambil menelepon. Dia membelalakkan mata melihatku sadar. “Entar aku telpon lagi, ya,” ucap Kimmi dengan lawan bicara di ponselnya. “Sadar juga akhirnya,” ucapnya sambil duduk di depanku. Kimmi memanggil perawat dengan menekan tombol di dekat kepalaku. “Kok, aku bisa ada di sini?” tanyaku penasaran. “Nggak datang ke kantor, seharian sampai sore nggak ada kabar. Dar
Sepupu lelaki Kimmi bernama Awan. Dia cukup tampan dan bersih. Masih muda nggak jauh sih, dari umurku. Akhirnya lawan yang seimbang. Entah sampai sejauh mana. Aku nggak tahu, kalau asyik aku jalani. “Hai,” sapanya ketika membukakan pintu mobil untukku. “Hai juga,” jawabku ramah sambil tersenyum. Aroma parfummya Awan wangi, tapi jauh lebih maskulin milik Om Andi. Ah, baru sebentar aku nakal, tapi sudah merindukannya. Mungkin karena sudah bolak-balik merasakan kesyahduan bersama. “Kamu cantik banget,” ucap Awan. “Makasih, kamu juga ganteng banget.” “Lipstik merah kamu, bagus. Biasanya aku nggak suka lihat perempuan pakai lipstik merah, tapi kalau kamu yang pakai jadi kelihatan cantik. Merk apa? Biar aku yang belikan.” Wow, di hari pertama kencan dia sudah berusaha gentleman. Apakah ini akibat dari selendang merah yang aku lilit jadi syal. Aku memang sedang ingin berpenampilan berani. Bahkan aku memakai rok di atas lutut. Terlihat Awan melirik rokku setiap saat. Rok atau yang lai
Awan memelukku begitu erat. Aku kini sudah berada di atas pangkuannya. Kejadian ini dulu tak pernah aku rasakan dengan Om Andi sebelumnya. Jadi tak salah kalau aku meminta dari Awan.Tak hanya sampai di sana saja. Awan menciumku begitu memburu hingga ia tak sanggup lepas dariku. Perlahan-lahan kuku tanganku jadi memanjang. Aku nggak salah lihat, kan? Aku memintanya berhenti dan melihat diri sendiri. Ini seperti bukan aku. “Kenapa, Indah? Kamu ragu?” tanyanya.“Nggak, cuman merasa kayaknya aneh, ya, baru pertama kali kita ketemu tapi udah sejauh ini.”“Mau sama mau apa salahnya.” Awan merebahkan kepala di sandaran mobil. Mungkin karena hasratnya tak tersalurkan.“Ya, nggak salah, tapi apa nggak terlalu cepet.” Justru aku yang terlalu mendekatkan diri padanya. “Kita sama-sama belum ada yang punya, jadi aku rasa nggak ada halangan. Boleh, nggak?” Dia meminta izin padaku. Kurang jantan sebagai lelaki nggak seperti Om Andi. Jelas aku memperbolehkannya. Kami pun melanjutkan adegan yang
“Maksudnya apa, Om?” tanyaku ingin memperjelas semuanya. “Masih tidak paham juga? Kamu bodoh betulan atau pura-pura bodoh.” “Jadi kenapa Indah pakai selendang sama baju merah, kenapa?” jeritku lagi tepat di wajah Om Andi. “Kita sama-sama mencari kesenangan. Om mencari uang dan kamu mencari kepuasan. Jadi impas, ya.” Om Andi memegang tanganku. Jemari dengan kuku panjang dan kutek berwarna merah darah membuatku terpaku. Kenapa aku bisa berubah seperti ini? Maksudnya apa? Kenapa nggak ada yang bisa menjelaskan? Semua tanya itu hanya terpendam di dalam hati saja. Pandangan mataku teralihkan pada bagian atap rumah. Di tiang-tiang yang melintang ada Tante Nora duduk di atas sana, bersama dengan wanita yang pernah bangkit dari kubur dan ada di dalam mimpiku. “Sekarang ini Indah mimpi atau nyata.” Aku melepaskan tangan Om Andi dari tubuhku. Aku sedang tidak ingin bersenang-senang. Rasanya aku ingin segera pulang ke dunia nyata. “Mimpi dan nyata itu beda tipis. Toh sentuhan Om tetap ka
Aku dan Awan semakin akrab dan tak ada yang perlu kami sembunyikan. Perlakuanku pada lelaki perlente dengan penampilan rapi itu membuatnya seperti menyandarkan semuanya padaku. Hari ini dia memberikanku salah satu ATM miliknya. Bukan tak mungkin nyawanya akan dia pertarukan untukku. “Kamu bilang skin caremu habis. Ya udah beli aja terserah mau yang mahal sekalian atau mau perawatan di salon nggak apa-apa. Yang penting kamu tambah cantik,” ucapnya ketika kami janji temu makan siang. “Aduh, aku nggak enak banget makainya. Lagian besok aku gajian.” Aku kembalikan lagi ATM itu tapi awan menyodorkan kembali padaku. “Nggak apa-apa. Ucapan terima kasih dari aku karena kamu mau jadi teman curhat,” katanya sambil mengaduk kopi. “Teman?” tanyaku lagi. Aku harus selalu berusaha agar membuat dia merasa diinginkan. “Iya, anggap aja begitu, Indah. Mau jadi yang lebih aku nggak bisa kasih kamu apa-apa selain uang.” “Ya, udah makasih, ya. Nanti selesai pakai aku balikin. Pinnya berapa, kamu lup
“Sa-sakit.” Aku memegang tangan si selendang marah. Dia tersenyum, lebih tepatnya menyeringai. Dia suka sekali melihatku menderita. “Kau pikir kau mampu melawanku. Bodoh!” Dia melepaskan cekikan dan melemparku ke atas ranjang. Sialan, rasa sakitnya jangan ditanya lagi. Aku diam sejenak, selanjutnya … aku menangis terisak tak tentu arah. Capek rasanya hidup seperti ini. Aku ingin kembali menjadi Indah yang dulu, yang masih hidup bersama dengan lelaki yang aku cintai. “Jangan coba-coba lari, kau, ya, ke ujung dunia pun aku kejar sampai dapat.” Si selendang merah menginjak bahuku. Tubuhku seperti tertekan dan ingin amblas ke dalam bumi. Lalu dia menghilang ketika pintu kamarku diketuk. Siapa yang datang malam-malam begini? Aku membuka pintu dan ternyata tukang pizza langganan. Hmm, aroma darahnya sangat wangi. Dilihat dari wajahnya dia anak baik-baik seperti Bang Angga dulu. Boleh ini jadi target berikutnya. “Makasih, ambil aja kembaliannya.” Aku memberikan uang padanya. “Tapi ini
Jika tak salah perhitungan, tiga jam lagi aku akan sampai di rumah Mama. Rumah terbaik tempatku berlindung dari segala kejahatan. Masjid? Itu bukan rumahku, itu tempat ibadah. Aku tak bisa tidur. Jujur saja setiap sebentar mataku melihat spion, takut tiba-tiba sosok dengan selendang merah duduk di sampingku dan mai cilukba denganku. Apakah aku bisa menghindar begitu saja? Tak tahu, setidaknya aku mencoba dulu. “Mbak, kenapa melamun aja dari tadi?” Setelah sekian lama akhirnya supir buka suara juga. “Takut, Bang.” “Takut karena sendirian aja di dalam mobil?” Liriknya dari spion. “Iya.” Aku bersumpah demi apa pun bukan aku yang menjawab pertanyaan barusan. Melainkan sebuah suara yang amat dingin dan pelan. Aku menoleh ke kiri dan kanan, tidak ada siapa-siapa. Lalu di mana dia? “Please, tolong jangan ikutin aku. Aku cuman mau tenang,” gumamku perlahan sembari meletakkan kepala di antara dua lutut. “Mbak, tenang aja. Saya nggak pernah berbuah jahat. Saya cari uang untuk anak istri