Awan memelukku begitu erat. Aku kini sudah berada di atas pangkuannya. Kejadian ini dulu tak pernah aku rasakan dengan Om Andi sebelumnya. Jadi tak salah kalau aku meminta dari Awan.Tak hanya sampai di sana saja. Awan menciumku begitu memburu hingga ia tak sanggup lepas dariku. Perlahan-lahan kuku tanganku jadi memanjang. Aku nggak salah lihat, kan? Aku memintanya berhenti dan melihat diri sendiri. Ini seperti bukan aku. “Kenapa, Indah? Kamu ragu?” tanyanya.“Nggak, cuman merasa kayaknya aneh, ya, baru pertama kali kita ketemu tapi udah sejauh ini.”“Mau sama mau apa salahnya.” Awan merebahkan kepala di sandaran mobil. Mungkin karena hasratnya tak tersalurkan.“Ya, nggak salah, tapi apa nggak terlalu cepet.” Justru aku yang terlalu mendekatkan diri padanya. “Kita sama-sama belum ada yang punya, jadi aku rasa nggak ada halangan. Boleh, nggak?” Dia meminta izin padaku. Kurang jantan sebagai lelaki nggak seperti Om Andi. Jelas aku memperbolehkannya. Kami pun melanjutkan adegan yang
“Maksudnya apa, Om?” tanyaku ingin memperjelas semuanya. “Masih tidak paham juga? Kamu bodoh betulan atau pura-pura bodoh.” “Jadi kenapa Indah pakai selendang sama baju merah, kenapa?” jeritku lagi tepat di wajah Om Andi. “Kita sama-sama mencari kesenangan. Om mencari uang dan kamu mencari kepuasan. Jadi impas, ya.” Om Andi memegang tanganku. Jemari dengan kuku panjang dan kutek berwarna merah darah membuatku terpaku. Kenapa aku bisa berubah seperti ini? Maksudnya apa? Kenapa nggak ada yang bisa menjelaskan? Semua tanya itu hanya terpendam di dalam hati saja. Pandangan mataku teralihkan pada bagian atap rumah. Di tiang-tiang yang melintang ada Tante Nora duduk di atas sana, bersama dengan wanita yang pernah bangkit dari kubur dan ada di dalam mimpiku. “Sekarang ini Indah mimpi atau nyata.” Aku melepaskan tangan Om Andi dari tubuhku. Aku sedang tidak ingin bersenang-senang. Rasanya aku ingin segera pulang ke dunia nyata. “Mimpi dan nyata itu beda tipis. Toh sentuhan Om tetap ka
Aku dan Awan semakin akrab dan tak ada yang perlu kami sembunyikan. Perlakuanku pada lelaki perlente dengan penampilan rapi itu membuatnya seperti menyandarkan semuanya padaku. Hari ini dia memberikanku salah satu ATM miliknya. Bukan tak mungkin nyawanya akan dia pertarukan untukku. “Kamu bilang skin caremu habis. Ya udah beli aja terserah mau yang mahal sekalian atau mau perawatan di salon nggak apa-apa. Yang penting kamu tambah cantik,” ucapnya ketika kami janji temu makan siang. “Aduh, aku nggak enak banget makainya. Lagian besok aku gajian.” Aku kembalikan lagi ATM itu tapi awan menyodorkan kembali padaku. “Nggak apa-apa. Ucapan terima kasih dari aku karena kamu mau jadi teman curhat,” katanya sambil mengaduk kopi. “Teman?” tanyaku lagi. Aku harus selalu berusaha agar membuat dia merasa diinginkan. “Iya, anggap aja begitu, Indah. Mau jadi yang lebih aku nggak bisa kasih kamu apa-apa selain uang.” “Ya, udah makasih, ya. Nanti selesai pakai aku balikin. Pinnya berapa, kamu lup
“Sa-sakit.” Aku memegang tangan si selendang marah. Dia tersenyum, lebih tepatnya menyeringai. Dia suka sekali melihatku menderita. “Kau pikir kau mampu melawanku. Bodoh!” Dia melepaskan cekikan dan melemparku ke atas ranjang. Sialan, rasa sakitnya jangan ditanya lagi. Aku diam sejenak, selanjutnya … aku menangis terisak tak tentu arah. Capek rasanya hidup seperti ini. Aku ingin kembali menjadi Indah yang dulu, yang masih hidup bersama dengan lelaki yang aku cintai. “Jangan coba-coba lari, kau, ya, ke ujung dunia pun aku kejar sampai dapat.” Si selendang merah menginjak bahuku. Tubuhku seperti tertekan dan ingin amblas ke dalam bumi. Lalu dia menghilang ketika pintu kamarku diketuk. Siapa yang datang malam-malam begini? Aku membuka pintu dan ternyata tukang pizza langganan. Hmm, aroma darahnya sangat wangi. Dilihat dari wajahnya dia anak baik-baik seperti Bang Angga dulu. Boleh ini jadi target berikutnya. “Makasih, ambil aja kembaliannya.” Aku memberikan uang padanya. “Tapi ini
Jika tak salah perhitungan, tiga jam lagi aku akan sampai di rumah Mama. Rumah terbaik tempatku berlindung dari segala kejahatan. Masjid? Itu bukan rumahku, itu tempat ibadah. Aku tak bisa tidur. Jujur saja setiap sebentar mataku melihat spion, takut tiba-tiba sosok dengan selendang merah duduk di sampingku dan mai cilukba denganku. Apakah aku bisa menghindar begitu saja? Tak tahu, setidaknya aku mencoba dulu. “Mbak, kenapa melamun aja dari tadi?” Setelah sekian lama akhirnya supir buka suara juga. “Takut, Bang.” “Takut karena sendirian aja di dalam mobil?” Liriknya dari spion. “Iya.” Aku bersumpah demi apa pun bukan aku yang menjawab pertanyaan barusan. Melainkan sebuah suara yang amat dingin dan pelan. Aku menoleh ke kiri dan kanan, tidak ada siapa-siapa. Lalu di mana dia? “Please, tolong jangan ikutin aku. Aku cuman mau tenang,” gumamku perlahan sembari meletakkan kepala di antara dua lutut. “Mbak, tenang aja. Saya nggak pernah berbuah jahat. Saya cari uang untuk anak istri
“Hai, Kim, tadi malam main kabur aja.” Aku sudah sampai di kantor dengan tubuh yang lesu. “Parno aku, takut banget tadi malam berasa lihat hantu,” jawabnya sambil pakai lipstick. Kami duduk di meja masing-masing sambil menunggu yang lain datang. Aku melanjutkan pekerjaan yang tertunda kemarin sambil perutku terus saja keroncongan. Tak lama setelah itu datang dua porsi sarapan pagi. Aku tanya siapa yang memesan dan rasanya nggak mungkin kalau Awan. Dia tahu aku lagi malas makan. Pengantar bilang nggak tahu. Masuk pesan ke ponselku dari Om Andi. Tumben pagi-pagi dapat sinyal. Aku balas sambil makan nasi kuning. Satu porsi lagi ingin aku berikan sama Kimmi tapi katanya dia udah sarapan. [Om lagi ada di Malaysia. Kamu ada titip?] tanyanya. Tak kurasakan sosok Om Andi yang gaptek seperti ketika datang ke kota ini. Atau aku saja yang sok tahu tentangnya. [Nggk ada, Om, hati-hati di sana. Jangan lupa makan dan minum. Udah, ya, Indah balik kerja lagi.] [Iya, terima kasih, kalau lelah k
Di sinilah aku sekarang. Datang dengan pakaian panjang bahkan menggunakan selendang hitam bersama Kimmi. Kami menghadiri pemakaman Awan yang tewas karena kecelakaan mobil tunggal. Aku bagaimana? Baik-baik saja karena secara mendadak pindah di kursi belakang. Aku hanya lecet sedikit di bagian kepala. Terlihat kedua orang tua Awan menangis ketika liang kubur mulai ditutupi tanah. “Mana masih muda,” ujar Kimmi yang tak tahan panas. Kami menggunakan payung dan kaca mata demi menghalau sinar matahari yang menyengat. “Sama seperti Bang Angga. Mati nggak kenal usia,” sahutku mengingat dia yang sudah tiada juga. Kami menunggu sampai prosesi pemakaman selesai. Terlihat bunga ditaburi di atas gundukan tanah setelah batu nisan dipasangkan. Awan meninggal memasuki usianya di angka tiga puluh tahun lebih.Kami berangsur pulang. Aku dan Kimmi jalan kaki bersama dan menunggu grab datang menjemput. Tak ada rasa sedihku sama sekali. Justru aku seperti ketagihan ingin mencari tumbal lagi. “Dipikir
“Cantik, nggak, kalung baru aku?” Sengaja aku pamer sama Kimmi di kantor. Dia harus tahu kalau Om Andi masih perhatian samaku. “Hmm, biasa aja, sih, samaku. Beli tunai apa kredit?” “Enak aja, ini dikasih Om Andi.” Aku menyimpan kembali kalung di balik syal. Takut orang lain lihat dan merasa aku kaya lalu pinjam uang. “Uiih, serius kayaknya ini. Jadi Awan cuman selingan aja daripada kamu gabut. Sedangkan Angga jalan pembuka biar kamu bisa kenalan sama ayahnya yang tajir melintir itu.” Agak pedes apa kata Kimmi tapi yang dia bilang benar adanya kalau dipikir-pikir lagi. Misalnya nggak meninggal, aku sudah pasti menikah dengan Bang Angga. Bahkan sampai sekarang aku nggak tahu apa penyebab pacarku dulu meninggal. Jam makan siang masuk, aku order pizza karena bosan sekali dengan makan nasi. Saat menerima pesanan ternyata dia juga yang mengantar. Lelaki itu memiliki lesung di bagian pipi. Kalau dia tersenyum sangat manis sekali. Aku membayar sengaja dilebihkan. Biar saja, nggak apa-ap