Ann tercenung menatap sebuah berkas di pangkuannya. Map berwarna hitam dengan tulisan emas itu baru pertama kali ia dapatkan dan ini berbeda dengan kontraknya sebagai model pakaian dalam selama satu tahun ke depan.
"Kenapa? Map hitam kah itu?" tanya Kinar, model senior lain di sebelah Ann. "Kayaknya lo masih kaget dan bingung ya," katanya sangat paham ekspresi di wajah sang junior. "Kenapa Ann?" Senyum Ann terkembang, "Enggak Kak, cuma kaget aja. Gue pikir kontrak yang gue tandatangani sama Mas Kiki itu udah final, ternyata masih ada lanjutannya ya," jawabnya polos. "Ini beda, coba lo buka aja deh, kontrak itu mengikat dan nggak butuh persetujuan lo," terang Kinar. "Kenapa mengikat? Karena dia adalah bentuk dari akibat kontrak kita sebagai model," tambahnya. "Maksudnya? Jadi ini bukan kontrak sama perusahaan?" dahi Ann semakin berkerut. "Kami semua menyebutnya Big Ben. Nggak ada yang bisa ngelepasin diri dari kontrak yang udah dia buat. Tapi gue bisa jamin, lo nggak bakalan nyesel kok," sambar Kinar misterius. "Lo juga nggak harus tiap hari tidur sama dia, ada jadwal khusus dan dia bukan orang yang rewel," tandasnya. "Tidur? Maksudnya berhubungan badan?" tanya Ann melongo. "Percaya sama gue, lo nggak akan rugi, dan kemampuan Big Ben di ranjang itu nggak bisa lo remehin. Gede barangnya Cin!!" kekeh Kinar genit. Ann langsung bergidik ngeri saat melihat gerakan Kinar yang setengah menjulurkan lidahnya sok seksi. Bagaimanapun, ia tidak bisa menerima kontrak itu begitu saja tanpa tahu dengan siapa ia akan bekerja sama, apalagi ini menyangkut masalah yang sangat intim dan pribadi. Sekali lagi, Ann merasa dirinya adalah model profesional, bukan pelacur. "Tuh Bang Rino asistennya Big Ben, dia yang bakalan jelasin semuanya," tunjuk Kinar pada Arino yang menyembulkan kepalanya di pintu. "Kak Joanna? Apa udah selesai beres-beresnya?" tanya Arino langsung tertuju pada Ann. "Kenapa ya?" tanya Joanna jual mahal. "Kontrak itu," Arino menunjuk map di pangkuan Ann, "Kupikir , Kak Joanna mau membicarakannya," ucapnya. Sigap Ann berdiri, "Iya, ada banyak hal yang harus aku luruskan!" "Ikut aku," ajak Arino segera berbalik. Buru-buru Ann mengikuti langkah Arino. Di pikirannya sudah terbayang seperti apa sosok Big Ben yang para seniornya bicarakan. Lelaki tua tukang main perempuan yang sangat menuntut untuk dipuaskan, bagaimana Ann bisa menghadapi lelaki semacam ini? Ia baru merintis karir dan uang muka pembayarannya dari kontrak kerja sudah ia pergunakan untuk membayar uang kuliah yang tidak sedikit. "Tunggu sini dulu, apa yang perlu kamu tanyain soal kontrak bisa langsung kamu tanyain ke Big Ben," ucap Arino membukakan pintu ruangan penthouse di mana tadi Ann sempat nyasar sebelum show dimulai. "Aku dijebak?" tahan Ann pada langkah Arino di ambang pintu. "Tunggu aja, kamu bisa obrolin langsung nanti," desis Arino kemudian berlalu pergi tanpa penjelasan apapun. Ann mendesah kesal, pandangannya mengitar. Ia baru tersadar bahwa tadi ia sudah sempat masuk ke dalam ruangan ini. Tata ruang dan seisinya baru ia kenali, hanya saja, tidak ada lelaki setampan dewa berwajah manusia salju seperti sebelumnya. "Ada isi kontrak yang nggak kamu pahamin?" Tiba-tiba sebuah suara muncul dari arah pintu ruangan kedua sebelah kanan Ann. Tentu saja Ann kaget bukan main, matanya membulat waspada, tapi ia segera menguasai dirinya. Setelah si empunya suara muncul dan wajah itu cukup ia kenali sebagai si setampan dewa, detak jantungnya melemah perlahan. Lelaki yang tak lain adalah Ben ini duduk menghadapi Ann di sofa favoritnya. "Ada dan aku perlu ngobrol sama Big Ben langsung, bukan sama asisten-asistennya!" sahut Ann setelah berhasil menguasai kekagetannya. "Apa yang nggak kamu pahamin?" gumam Ben menyilangkan kakinya angkuh, wajahnya tetap seangker sebelumnya, dingin dan menusuk sekali tatapannya. "Kontrak apa sih ini sebenernya? Aku harus tidur dan ngelayanin nafsu bejat bandot tua yang kalian sebut Big Ben itu?" Ann yang hatinya sudah tidak tenang karena isi awal kontrak barunya langsung nyerocos begitu saja. "Kamu terikat sama kontrak pertama. Di dalam kontrak kerja kamu sebagai model, ada klausul yang mengharuskan kamu tunduk pada semua kontrak-kontrak turunan yang terbit atas nama manajemen perusahaan, kamu nggak baca?" "Baca, tapi ini namanya kontrak sepihak. Aku nggak pernah setuju sama isi kontrak ini!" Sebelah alis Ben terangkat, "Kamu tau penalti apa yang bakalan kamu dapet kalau kamu menyalahi isi kontrak?" tanyanya garang. "Aku bakalan balikin gaji awalku yang udah kuterima!" sambar Ann sombong. "Kamu pikir cuma begitu masalah jadi selesai?" senyum licik Ben terkembang. "Coba kamu baca lagi kontrak kerja pertamamu, di sana tertulis nominal yang cukup fantastis dan itu harus kamu bayar kalau kamu menyalahi kontrak. Menurutku, seumur hidup bahkan sampe kamu ngejual diri pun, kamu nggak akan bisa bayar denda pinaltinya!" "Kalian ngejebak aku?" sergah Ann emosi. "Kamu tanda tangan kontrak awal dalam keadaan sadar, jangan memutarbalikkan fakta!" Ann meraup wajahnya frustasi, "Ini kontrak yang berbeda dari kontrak kerja di awal, nggak bisa dijadiin satu. Dan tolong! Ngejual diri? Big Ben kalian itu aja yang rakus!" cercanya. "Kontrak ini berlaku lifetime," gumam Ben lirih tapi tak terbantahkan, "mengikat kedua belah pihak dengan pinalti yang sama besarnya kalau sampe salah satunya memutus kontrak sebelum masa berakhir!" tukasnya. "Gimana mau berakhir kalau bunyinya aja kontrak lifetime?" Ann mendengus keras. "Sama aja dia ngebeli tubuh dan hidupku! Kamu kasih tau sama Big Ben itu, si bandot yang brengsek dan rakus itu, hidupku ya punyaku, nggak bisa dibeli!" "Oh ya?" Ben bangkit dari posisi duduknya, "kita liat aja nanti," ucapnya kemudian berjalan menuju jendela kaca besar yang memantulkan wajah tampannya samar-samar. Ann ikut bangkit, ia campakkan map berisi kontrak tak masuk akalnya dengan Big Ben di meja kayu ulin itu. Wajahnya sudah dihiasi ekspresi bingung, kalut, tak menerima sama sekali. Ia memang ingin menjadi model terkenal, bisa membiayai hidup dan sekolahnya dengan jerih payah sendiri, tapi, jika harus menjadi teman tidur lelaki mengerikan yang tak pernah dikenalnya, Ann bahkan tidak pernah memikirkannya sekalipun. "Tolong bilangin ke si Big Ben, aku nggak akan pernah dateng di hari yang udah ditentuin sama kontrak, terserah mau dituntut kayak gimanapun. Aku nggak ngejual tubuhku sama genderuwo mesum menjijikkan kayak dia!" tegas Ann sambil berjalan menuju pintu. "Hei!" panggil Ben lantang. Langkah Ann terhenti, ia menoleh ke arah pemanggilnya. Ben tampak mendekat, terlalu dekat hingga mau tak mau Ann terpojok menempel di daun pintu. Mata keduanya saling bertatapan intens, sedangkan Ben semakin mendekatkan wajahnya dengan sedikit membungkuk di depan Ann. "Kamu amati dan liat baek-baek, apanya dari wajahku yang mirip sama genderuwo? Hem?" tanya Ben lirih tapi begitu mengintimidasi. Embusan napasnya saja bisa dirasakan oleh Ann. "Ma-maksud kamu apa?" desis Ann sedikit gugup, ia langsung memalingkan wajahnya agar hidung mancung Ben tidak menyentuh hidungnya. "Big Ben ... itu aku, orang yang kamu sebut genderuwo mesum tadi," ucap Ben di samping telinga Ann, ia kecup mesra pipi gadis cantik di depannya sebelum berpaling pergi ke arah jendela kaca lagi."New Jayakarta Hotel, Sabtu jam 8 malem, langsung ke penthouse!" Ann memejamkan matanya rapat-rapat jika ia sudah teringat wajah lelaki yang mengatakan kalimat barusan sebelum keluar dari ruang transit malam itu. Ia belum mendapat penjelasan apapun dan rasa penasarannya tidak terjawab karena lelaki tampan yang mengaku sebagai Big Ben itu segera pergi tanpa bicara lebih banyak. Banyak pertimbangan yang harus Ann taklukan, ia cukup bimbang selama tiga hari lamanya. Hingga pada akhirnya, di sinilah Ann, lobi New Jayakarta Hotel, Sabtu malam, 15 menit lebih awal sebelum waktu janjian. Adalah Bennedicth Abyan Wisanggeni, lelaki berusia 30 tahun berwajah separuh oriental dengan tatapan membunuh. Namanya lebih dikenal sebagai 'Big Ben', bermakna penguasa besar bisnis dunia hitam yang sangat disegani dan diperhitungkan. Masih dialiri darah Yakuza, klan Yamaguchi-Gumi di dalam tubuhnya, cukong-cukong Indonesia yang dinobatkan sebagai orang terkaya se-Asia Tenggara bukan apa-apa bagi Ben. Ter
Harus diakui oleh Ben bahwa Ann memiliki semua kriteria wanita idaman. Mata Ann yang bulat dengan bola kemerahan hazel itu, hidung mancung menggoda, kulit sehalus pualam, juga senyum memikat dan tubuh sintal seksi menggairahkan. Hanya dengan bertemu sekali saja saat Ann salah masuk ruangan, Ben sudah sangat ingin memilikinya. "Kamu boleh pergi," ucap Ben setelah berpikir beberapa saat. Ia raup wajahnya sebentar, gemas karena ia terbentur oleh prinsipnya sendiri. "Aku nggak akan pergi kalau masalah kontrak kita belom kelar!" ucap Ann tegas. Ia tepis lengan Ben yang tadi membatasi gerakannya. "Nanti kuhubungi lagi soal ini. Tapi aku nggak mau bahas itu sekarang!" balas Ben mengikuti Ann yang duduk di sofa, keduanya berhadapan kini. "Nggak! Aku nggak bisa ngebiarin masalah ini ngegantung gitu aja. Berapa milyar uang yang harus kita pertaruhkan buat perjanjian nggak masuk akal ini? Aku mau kita sepakat buat sama-sama ngebatalin perjanjian!" tegas Ann seakan mendapat angin segar dari m
Setelah mendengar ancaman Ben tentang rumahnya dua hari yang lalu, Ann memilih untuk pulang dan mengabaikan perjanjian mereka sementara waktu. Aktif dalam kegiatannya menjadi model sekaligus mahasiswi adalah cara yang tepat untuk menghilangkan beban mental dan financialnya dengan bersikap tak mau tahu. Cita-citanya menjadi seorang perawat dan bagaimana ia berjuang untuk bisa menekuni bidang itu tentu saja tidak mudah digapai. Ann senang menjadi model, apalagi didukung dengan lekuk tubuh sempurna yang dimilikinya. Jadi, memanfaatkan kesempatan dan tawaran yang datang, Ann memberanikan diri datang ke ibukota, mengadu nasibnya. "Tinggal di Semarang cuma sama neneknya, yatim piatu sejak umur 6 tahun. Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan kapal tenggelam," bisik Arino di samping telinga Ben. "Info apalagi yang mau lo kasih ke gue? Gue nggak peduli sama masalah pribadinya!" desis Ben tanpa mengalihkan pandangan dari liuk tubuh para model yang tengah berjalan di atas catwalk mengenakan p
"Kalian bisa makan bareng sama hewan yang matanya aja udah siap nerkam kalian gini?" bisik Ann saat Ben menggiringnya masuk ke ruang makan. "Kamu lupa tadi sebelom masuk kusuruh kamu buat apa?" gumam Ben melirik Ann yang duduk di sebelahnya. Ann segera memanyunkan bibir dan membuat gerakan tengah mengunci bibir dengan jemarinya. Ia tak melepas tatapan dari macan kumbang di sebelah lelaki seram itu. "Aku Taka," sebut lelaki seram bertato di seberang Ben ini. "Semua hidangan di meja ini, aku sendiri yang mengolahnya, kamu boleh mencicipinya," tambahnya dengan senyum misterius ke arah Ann. "Makasih, Om," jawab Ann memaksa senyum. "Barang bagus," gumam Taka manggut-manggut, ia menatap Ben tak berkedip. "Namanya Joanna," sebut Ben. Ia mengambil sesendok salad sayur di mangkok besar, "masih kuliah," terangnya. "Jurusan apa?" tanya Taka beralih pada Ann. "Keperawatan, Om," desis Ann singkat. Ia takut akan tiba-tiba diterkam si macam kumbang jika salah bicara atau memb
"Cukup Ches," kata Ben begitu tenang dan pelan, "Ann nggak akan nolak jadi perawatmu, kita bujuk pake cara halus dulu, kalau dia nggak mau, lakukan semaumu," ucapnya lagi. Bak paham apa yang Ben bicarakan, Chester langsung duduk dan menopang dagunya. Pupil matanya sudah kembali normal, ia menjilat kaki depannya dan sengaja bersikap sangat imut. Sementara Ann tak berani menampakkan diri, nyaman di tempat yang sangat terlindungi. "Jangan pernah nolak Chester atau dia yang bakalan maksa kamu buat nerima dia," ucap Ben menoleh gadis yang masih bersembunyi di punggungnya sembari memeluknya itu. "Dia yang memilihmu, jadi jangan berani-berani buat bikin dia jadi pilihan," katanya ambigu. "Ah," tersadar, Ann segera melepas pelukannya. Ia pura-pura menegakkan dagu, tak ingin diremehkan oleh Ben. "Masa hewan ngeri begini disuruh ngerawat kucing rumah kayak aku. Mas, kamu nggak serius kan?" "Kadang hewan justru lebih manusiawi ketimbang manusia itu sendiri." "Tapi tetep, dia bisa aja ny
"Pokoknya selama 1 bulan, kamu harus sama aku, setelah aku bener-bener yakin Chester nggak bakalan makan aku, baru kamu bebas tugas," ucap Ann membuat syarat. "Chester udah duduk santai, sampe kapan kamu bakalan meluk aku gini? Enak? Anget?" ucap Ben tak menjawab syarat yang Ann ungkapkan. "Ya Tuhan!" cepat-cepat Ann melepas pelukannya. 'Nyaman banget sih lo!' "Dan enggak! Aku sama sekali nggak setuju sama syarat kamu." "Harus setuju, karena ini berhubungan dengan nyawa dan di kontrak kita nggak ada klausul yang bunyinya harus berkorban nyawa!" ucap Ann bersikukuh. Ben menghela napas panjang. Ia basahi bibirnya sebentar sambil berpikir, bukankah akan lebih merepotkan jika ia setuju dengan syarat dari Ann? Namun, bukan hanya kehilangan uang yang ia takutkan, kenapa ada hal lain di dalam dirinya yang mencegahnya untuk membatalkan kontrak dan menemukan ide tak masuk akal ini? Chester sama sekali tidak membutuhkan manajer yang harus mengatur jadwal dan kegiatannya. "Cuma k
"Dia udah kenal sama kamu, baumu udah dikenali. Inget! Chester nggak akan nyerang kalau nggak ada yang mulai duluan. Itu aturan penting yang nggak boleh kamu langgar," tukas Ben terdengar tegas tapi Ann merasa ini adalah kalimat terlembut yang pernah Ben ucapkan padanya. Ann mengangguk lemah, ia bak tengah dihipnotis oleh mata indah Ben dan Chester, kehilangan suara. Ternyata inilah yang para seniornya ungkap mengenai pesona Ben, lelaki ini luar biasa dalam kemisteriusannya. "Sekarang anter aku pulang ya," pinta Ann masih bernada sedikit manja. "Aku ada urusan, kamu dianter Ery," jawab Ben. "Cek di rekening kamu satu jam dari sekarang, kujamin kompensasi pertemuan kita hari ini udah bisa kamu pake," tambahnya. "Aku tunggu kamu selesai sama urusan kamu aja kalau gitu," ucap Ann mengejutkan. 'Gue kenapa sih? Kenapa musti nunggu tugu jam ini?' "Sepuluh juta untuk kompensasi kurang? Kamu butuh berapa?" "Bukan gitu," Ann menggeleng cepat, jemarinya masih asik membelai kepala Che
Seperti tanggapan Ben sebelumnya, ia memilih diam saat Ann berusaha menggodanya. Dan hari ini, di saat Ann dibantu Ery dan David membawa barang-barangnya ke kediaman sang Big Ben, lelaki tampan yang meminta Ann untuk tinggal di sana itu justru tak muncul. Ann hanya bertemu dengan Wanto, pawang Chester dan juga Edgar, sang dokter hewan kepercayaan. "Big Ben jarang di rumah ini, seminggu dia biasanya datang 2 kali aja," terang Edgar sambil membawa Ann keliling kandang Chester sambil mengamati kondisi sekitar. Kandang macan kumbang kesayangan keluarga itu sengaja dibangun di halaman belakang. Yang membuat Ann takjub, tidak hanya macan kumbang satu-satunya hewan yang menghuni kandang. Ada dua harimau siberia muda bernama Kenzo dan Luna. "Kenapa gitu? Dia lebih sering di hotel?" tanya Ann penasaran. "Itu salah satunya. Big Ben adalah orang super sibuk yang memang nggak pernah mengijinkan orang lain menyentuh bisnisnya. Selagi bisa, semua bakalan dia urus sendiri," sebut Edgar yang