Share

4. Iblis Atau Malaikat?

Harus diakui oleh Ben bahwa Ann memiliki semua kriteria wanita idaman. Mata Ann yang bulat dengan bola kemerahan hazel itu, hidung mancung menggoda, kulit sehalus pualam, juga senyum memikat dan tubuh sintal seksi menggairahkan. Hanya dengan bertemu sekali saja saat Ann salah masuk ruangan, Ben sudah sangat ingin memilikinya.

"Kamu boleh pergi," ucap Ben setelah berpikir beberapa saat. Ia raup wajahnya sebentar, gemas karena ia terbentur oleh prinsipnya sendiri.

"Aku nggak akan pergi kalau masalah kontrak kita belom kelar!" ucap Ann tegas. Ia tepis lengan Ben yang tadi membatasi gerakannya.

"Nanti kuhubungi lagi soal ini. Tapi aku nggak mau bahas itu sekarang!" balas Ben mengikuti Ann yang duduk di sofa, keduanya berhadapan kini.

"Nggak! Aku nggak bisa ngebiarin masalah ini ngegantung gitu aja. Berapa milyar uang yang harus kita pertaruhkan buat perjanjian nggak masuk akal ini? Aku mau kita sepakat buat sama-sama ngebatalin perjanjian!" tegas Ann seakan mendapat angin segar dari masalah pelik yang terus menghantuinya.

"Kamu nggak paham arti dari lifetime?" gumam Ben lagi-lagi menyesap wine di tangannya.

"Kalau kita berdua sepakat buat ngebatalin kan nggak masalah."

"Agensi kamu? Mereka udah terima keuntungan dengan biaya awal sejumlah 400 juta, menurut kamu, mereka mau ngembaliin uangku yang udah masuk itu?"

Ann mendesah kalut, "Lagian kenapa sih kamu maen ngasih-ngasih aja uang segitu gede. Yakin amat aku mau tidur sama kamu!" serangnya.

"Kamu nggak akan bisa nolak, Nona," kata Ben menyeringai tajam. "Pulanglah, nanti kupikirin lagi solusinya," ujarnya lantas berjalan ke arah pintu karena seseorang mengetuknya.

Begitu pintu terbuka, dua orang pelayan masuk membawa troli mewah. Mereka langsung berjalan menuju meja makan di dekat ranjang, menyajikan beberapa menu makanan beraroma wangi yang sangat menggugah selera. Mencium aroma makanan yang menyengat hidungnya, Ann teringat bahwa terakhir kali ia makan adalah dengan sepotong roti gandum, selepas pemotretan untuk majalah remaja siang tadi.

"Kamu boleh ikut makan sebelom pergi," ucap Ben menoleh Ann. "Ada garang asem kesukaan kamu," tambahnya.

Ann yang sedianya ingin bersikap tak acuh akhirnya tergoda juga. Masalah bagaimana Ben tahu bahwa garang asem adalah makanan kesukaannya, sebenarnya ia penasaran. Namun, ia memilih untuk menahan diri dan mendekat untuk duduk menghadapi meja makan, di seberang Ben.

"Apa kamu biasa menjamu perempuan laen kayak gini setelah kamu tidurin?" tanya Ann menutupi gengsi, ia sendok sedikit garang asem hati ampela itu ke piringnya. Ini adalah kedoknya untuk mencari tahu dari mana Ben mendapat informasi mengenai garang asem kesukaannya.

"Kalau mereka kooperatif dan nggak berisik, ya, kuajak mereka makan dulu. Aku nggak pernah bikin perjanjian lama sama mereka, bukan gayaku," jawab Ben sedikit banyak bicara malam ini. Sebelumnya, jika dengan perempuan-perempuan selain Ann, Ben cenderung sangat dingin dan tidak mau terlibat banyak dengan mereka.

"Kenapa aku harus seumur hidup?" sengal Ann kesal.

"Entahlah," ucap Ben mengedikkan bahunya tak acuh, menyebalkan.

"Aku bukan pelacur!" kata Ann menegaskan identitasnya.

"Kamu pernah mikir nggak konsekuensi masuk ke industri ini? Agensi nggak ngasih tau?"

"Industri ini yang mana? Aku direkrut agensi buat jadi model, bukan jual diri!"

Ben menyeringai, ia suap potongan steik dari garpunya, "Kamu gabung di Queen's Diary dikasih tau kan rule-nya? Mereka tunduk sama aturanku," tukasnya.

Ann tak langsung menanggapi. Ia memilih untuk mengisi amunisi tubuhnya lebih dulu, setidaknya jika ia kenyang, ia bisa berpikir jernih dan Ben tidak akan menjerumuskannya lagi pada perjanjian tak masuk akal lainnya. Sambil mengunyah, mata Ann kembali curi-curi pandang ke arah Ben. Ia menangkap satu tato di punggung telapak tangan lelaki tampan ini. Tato daun momiji, hanya setangkai, berwarna hitam tapi terlihat gahar di jemari-jemari panjang seksi itu.

"Aku cuma pengin menghasilkan uang banyak," ucap Ann setelah melihat Ben menyudahi acara makannya. "Jadi model dan rela disuruh telanjang pun, aku udah pikirin itu matang-matang. Tapi aku nggak ngejual diriku buat ditidurin, itu bukan gayaku!" jelasnya rinci.

"Kenapa kedengeran munafik banget di telingaku ya?" balas Ben.

"Terserah gimana kamu menilaiku. Orang nggak punya kerjaan yang seneng banget ngehamburin uang cuma buat ngebeli harga diri orang lain kayak kamu nggak akan tau gimana perjuangan hidup orang laen!" cecar Ann kemudian menarik napas dalam-dalam untuk tidak berteriak mengumpat.

"Aku juga nggak tertarik soal kehidupan pribadi orang laen!"

"Seenggaknya kalau kamu punya mata, kamu liat dan pahami! Jangan merem dan nggak mau peduli!" sengal Ann dengan dada yang naik-turun marah.

Tak menjawab, Ben justru bangun dari posisi duduknya. Ia memutari meja makan, mendekat pada Ann. Lantas, ia duduk di sandaran kursi sebelah Ann, membungkuk sedikit agar wajahnya cukup dekat dengan wajah ayu gadis di depannya ini.

"Aku ngebeli kamu dengan harga mahal bukan buat dengerin kisah hidup kamu," bisik Ben terdengar kejam. "Sebaliknya, aku ngasih kamu kesempatan buat ngumpulin lebih banyak duit dan kamu bisa nolong hidup bullshit kamu itu!" gumamnya.

Pandangan mata Ann naik dari dada Ben hingga berakhir dengan saling tatap tanpa suara. Mereka sama-sama keras kepala dan tidak menemui kata sepakat setiap kali saling berbicara.

"Sekarang, kalau aku mundur aku rugi, aku lanjut tambah rugi karena aku nggak akan pernah nidurin perawan amatir kayak kamu!" lanjut Ben gamang.

"Bukan cuma kamu yang dirugiin. Sejak awal aku yang ada di pihak yang paling nggak diuntungkan!" Ann melawan sengit.

"Kalau gitu, buat diri kamu berguna dan nggak ngerugiin aku yang udah keluar banyak uang."

"Tanggung aja kerugianmu sendiri, aku sih bodo amat," kata Ann songong.

"Kamu lupa di isi kontrak ada klausul yang mewajibkan kamu memenuhi apapun yang kumau?" tanya Ben tersenyum penuh arti. "Kamu lupa udah berapa juta uangku yang masuk ke rekeningmu?"

Ann terhenyak. Salah satu alasannya bersedia datang adalah karena perusahaan termasuk agensi yang merekrutnya sudah mentransfer sejumlah uang. Ia tidak tahu jika itu termasuk uang bayaran atas kontraknya dengan Ben hingga ia dengan gegabah menggunakannya untuk membayar tunggakan biaya kuliah juga biaya kontrakan rumah. Hidup sebatang kara di kota besar Jakarta dan tanpa sanak saudara membuat Ann berjibaku sendirian demi hidupnya. Hingga saat ia tersadar dari mana uang itu berasal, ia tak memiliki satupun pilihan untuk menghindar.

"Aku udah penuhin maumu dengan dateng ke sini. Urusan kamu nggak mau nidurin amatir kayak aku, itu di luar perjanjian kita!" ucap Ann seolah kembali memiliki cara untuk lepas dari cengkeraman Ben atas dirinya. "Kamu yang nggak mau sama tubuhku," ujarnya sambil menurunkan sebelah lengan bajunya hingga tali bra-nya terpampang.

"Cara klasik begini nggak akan mempan. Saat ini juga kalau kamu mau, aku bisa minta perempuan laen buat gantiin tugasmu," balas Ben jumawa.

"Tapi kamu ngebeli mereka cuma buat satu malam, Bos. Kenapa aku seumur hidup? Aku bukan budakmu!"

"Budak itu nggak terima bayaran, Nona," Ben tertawa, ia kecup bibir Ann sekejap, gadis ini tidak berkutik sama sekali. "Kamu bisa kerja di rumahku, kayaknya itu ide bagus!" ucapnya menemukan solusi brilian.

"Nggak mungkin! Aku kuliah dan aku model! Nggak akan mau aku jadi pembantumu," tolak Ann mentah-mentah, ia berdiri dari kursinya spontan.

Tawa Ben makin terdengar mengerikan, ia tarik pinggang Ann menempel pada tubuhnya. Ann seketika membuat pertahanan, ia tekan dada bidang Ben agar tak lagi mencuri kecupan darinya.

"Siapa bilang kamu bakal jadi pembantu? Kukasih tau, di rumahku, ada hal laen yang lebih seru," bisik Ben misterius, membuat Ann ternganga, tak bisa berkata-kata.

Benar, Ann lagi-lagi membeku di pelukan Ben tanpa bisa melawan. Pesona lelaki ini mustahil untuk ia tolak begitu saja. Siapa gerangan Big Ben? Sialan! Gue nolak ditidurin, tapi aroma tubuhnya ni brengsek bikin gue nggak bisa ngapa-ngapain!

###

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status