Share

3. Kencan Pertama

"New Jayakarta Hotel, Sabtu jam 8 malem, langsung ke penthouse!"

Ann memejamkan matanya rapat-rapat jika ia sudah teringat wajah lelaki yang mengatakan kalimat barusan sebelum keluar dari ruang transit malam itu. Ia belum mendapat penjelasan apapun dan rasa penasarannya tidak terjawab karena lelaki tampan yang mengaku sebagai Big Ben itu segera pergi tanpa bicara lebih banyak. Banyak pertimbangan yang harus Ann taklukan, ia cukup bimbang selama tiga hari lamanya. Hingga pada akhirnya, di sinilah Ann, lobi New Jayakarta Hotel, Sabtu malam, 15 menit lebih awal sebelum waktu janjian.

Adalah Bennedicth Abyan Wisanggeni, lelaki berusia 30 tahun berwajah separuh oriental dengan tatapan membunuh. Namanya lebih dikenal sebagai 'Big Ben', bermakna penguasa besar bisnis dunia hitam yang sangat disegani dan diperhitungkan. Masih dialiri darah Yakuza, klan Yamaguchi-Gumi di dalam tubuhnya, cukong-cukong Indonesia yang dinobatkan sebagai orang terkaya se-Asia Tenggara bukan apa-apa bagi Ben. Terkenal bengis, kejam, tanpa ampun, tapi lihai berbisnis apapun membuat nama Big Ben begitu agung meski tak banyak yang tahu wajah aslinya.

Bagi yang sudah mengenal nama Big Ben, mereka pasti akan bergidik ketika berpapasan bahkan tanpa saling bertemu pandang. Sebaliknya, mereka yang sama sekali tidak mengenal siapa sebenarnya seorang Big Ben layaknya gadis muda tadi, ia hanya akan menganggap Ben manusia biasa, si muda setampan dewa.

"Kenapa nggak langsung naik?" tanya Arino yang muncul dari pintu lift, sengaja menemui Ann karena sang model mengiriminya pesan.

"Aku nggak terbiasa ke area semacam ini, Bang," ungkap Ann jujur.

"Oke, kuanter. Big Ben udah di penthouse dari sore," putus Arino berkorban. Padahal seharusnya ia sudah bisa pulang ke rumah dan menikmati malam minggunya sendiri.

"Jadi, Big Ben itu emang bukan bandot tua?" tanya Ann seraya mengiringi langkah lebar Arino masuk lagi ke dalam lift.

"Maksud kamu kayak bos besar berperut buncit dan berkumis tipis?"

"Bayanganku langsung ke situ pas orang-orang nyebut nama Big Ben," desis Ann.

"Dia masih muda, umurnya juga baru 30 tahun, dan iya, emang wajah Big Ben seganteng itu," ucap Arino menahan senyum. "Dan ini kali pertama dia make model baru kayak kamu," tambahnya.

"Kenapa?" tanya Ann penasaran.

"Entahlah," Arino mengedikkan bahunya, ia keluar lebih dulu dari lift, "dari sini, kamu jalan sendiri," ucapnya menunjuk satu pintu besar di ujung lorong. "Ketuk tiga kali, langsung masuk, nggak perlu nunggu dibukain. Dia tau kamu yang bakalan dateng!"

Ann mengangguk lemah, langkahnya melambat seiring berbaliknya Arino meninggalkannya pergi. Jantung Ann berdebar kencang, ia tidak pernah sekalipun mendatangi lelaki untuk tidur bersama seperti ini. Lagipula, ia masih malu pada Ben yang ia sebut sesuka hati sebagai 'genderuwo mesum' itu.

Helaan napas panjang Ann lakukan sebelum pada akhirnya ia ketuk pintu itu tiga kali. Seperti kata Arino, tanpa menunggu empunya ruangan mempersilakan, Ann mendorong kenop otomatis di depannya. Benar saja, Ben sengaja tidak mengunci pintunya.

"Permisi," ucap Ann kikuk. Ia mengitarkan pandangan, cahaya temaram menyambutnya.

Perlahan Ann melangkah masuk, tak tampak adanya kehidupan di dalam ruangan besar itu. Ia berdehem sekali, jantungnya berdebar, membayangkan benar-benar ada genderuwo yang mungkin muncul mengagetkannya.

"Ganti pake baju di sana!"

"Ya Tuhan!!" jelas Ann terkejut mendengar suara bariton menggelegar dari belakangnya.

Di ranjang besar minim cahaya itu, Ben berbaring nyaman. Ia bertelanjang dada, dari kaki hingga pinggangnya terbalut selimut tebal.

"Baju apaan?" tanya Ann setelah berhasil menguasai dirinya.

"Baju dinas," gumam Ben masih sibuk memainkan ponselnya tanpa beringsut dari ranjang.

"Maksudnya, ini?" Ann mendekat ke samping lemari di mana sebuah lingerie warna nude tergantung cantik di salah satu gagang pintunya.

Ben diam.

"Aku belom setuju sama kontrak kita!" tegas Ann.

"Aku nggak butuh persetujuan kamu!" sambar Ben bengis.

"Kalau gitu artinya aku bisa laporin lo atas tuduhan pemerkosaan!"

"Oh ya?" pandangan Ben beralih ke arah Ann. "Bayar penalti aja berarti 15 milyar, sekarang!" pintanya.

Ann terhenyak. Beberapa saat ia tertegun, sudah berkali-kali dibacanya isi kontraknya dengan Ben, dan angka itu yang selalu membuatnya galau.

"Kenapa harus aku sih?" keluh Ann mengurut keningnya. Ia mendekat ke arah ranjang Ben dan terpana untuk sesaat.

Tubuh Ben bukan hanya sempurna, beberapa tato cantik di dada dan abs-nya terlihat sangat menarik di mata Ann. Jika boleh menyesal, Ann pasti akan merutuki dirinya sendiri karena sudah mengatai Ben sebagai bandot tua dan genderuwo mesum. Tato itu tidak terlalu penuh, sepertinya cukup memiliki makna bagi pemiliknya dan menjadi daya tarik kuat di mata Ann.

"Kamu nggak ngerasa kalau tubuh kamu menarik?" tanya Ben balik.

"Menarik buat kamu tidurin gitu?"

"Menurutmu, buat apa show itu diatur eksklusif dan sangat tertutup? Kamu emang saking polosnya atau goblok?"

Ann membuang pandangan, "Aku nggak goblok ya!" elaknya.

"Nggak mungkin juga kamu terlalu polos kan?" desis Ben akhirnya beranjak dari posisi berbaringnya dan turun dari ranjang.

Gerakan Ben yang demikian sontak membuat Ann spontan memundurkan langkahnya panik. Ben hanya mengenakan celana dalam trunks warna hitam yang sangat seksi. Lelaki ini sengaja berjalan menuju sofa panjang, ia teguk wine yang sudah disiapkan di atas mejanya. Sambil membuka kemasan rokoknya, ia tatap Ann yang tengah berdiri kaku tak jauh darinya dengan sorot tajam.

"Rino yang bakal transfer kompensasi kamu karena udah dateng ke sini. Lebihannya bakalan kamu terima sesuai dengan isi kontrak. Aku bisa kasih tambah kalau kamu nggak banyak omong!" gumam Ben benar-benar manipulatif.

"Bentar!" Ann mendekat tapi ia enggan duduk menghadapi Ben. "Kenapa aku? Kenapa bukan Kak Kinar, Kak Cintia, atau siapalah yang udah lama jadi model Queen's Diary? Kamu ngebeli aku di hari pertamaku tampil, Bos!" desisnya kesal.

"Masalah kalau kamu yang jadi pilihan?" tanya Ben, ia berdiri, mendekati Ann hingga mau tak mau Ann berjalan mundur dan terpojok lagi-lagi ke daun pintu utama. "Aku menyelamatkan kamu dari bandot tua lain, Sedap Malam!" cecarnya bagai pemburu mengincar mangsa.

"Tapi juga menjerumuskanku sebagai budak nafsu kamu! Kamu nggak ada bedanya sama bandot tua yang doyan perawan! Brengsek!"

Ben mendongakkan kepalanya sambil tertawa mengejek. Gerakannya yang seperti itu tentu membuat Ann bisa mengamati leher jenjang dengan jakun seksi itu dengan sangat leluasa. Bukannya Ann tak tertarik dengan visual dewa lelaki luar biasa ini, semua yang ada di diri Ben hampir membuat darah Ann mendidih, apalagi berdekatan dalam jarak tanpa sekat ini. Namun, jika Ann dengan mudahnya ditiduri oleh Ben, bukankah artinya Ann sama saja menjual tubuh dan jiwanya seumur hidup?

"Perawan terlalu amatir, aku nggak suka, sorry!" kata Ben semakin membuat embusan napasnya menyapu pipi Ann.

"Kalau gitu kontrak kita bisa batal saat ini juga!" senyum senang Ann melebar. "Aku masih perawan!" tukasnya.

"Kamu mau nyoba membodohiku? Kenapa? Di saat banyak model memimpikan buat bisa tidur di ranjangku, kamu mati-matian nolak dengan banyak kebohongan. Penyuka sesama jenis ya?" tuduh Ben menohok.

"Aku perawan! Dan aku belom pernah tidur sama cowok manapun!"

"Coba kita liat," desis Ben menyeringai, ia kecup pipi Ann seperti sebelumnya.

Tubuh Ann menegang, ia berusaha untuk menolak. Namun, gerakan kedua tangannya yang reflek menahan dada telanjang Ben justru membuat dirinya bak tersengat aliran listrik berdaya tinggi. Ia lemas seketika, seakan takluk pada pesona Ben yang sangat memabukkan. Ann perempuan normal, ia memiliki gairah yang sudah pasti sedang meletup-letup di usia produktifnya. Paksaan Ben justru semakin memicu adrenalin Ann, mulut dan tubuh gadis ini tidak bisa berkoordinasi dengan baik.

"Meskipun aku bilang aku masih perawan, bukan berarti kamu bisa buktiin itu dengan nidurin aku!" sergah Ann di sisa-sisa pertahanannya. Mati gue! Kalau dia beneran nyerang terus, gue bisa nyerah tanpa syarat. Kenapa dia liar banget gini! Sial!

"Shut your mouth!" bisik Ben lalu dengan sangat lembut mengecup bibir Ann tanpa ijin.

Mata Ann membulat sempurna, ia meremas jemari-jemarinya yang masih bertengger di dada Ben. Bagaimanapun, seharusnya ia bertahan, menampar Ben jika perlu. Namun, tubuhnya bak disihir kaku oleh lelaki ini, darahnya bahkan berdesir saat kecupan Ben menyasar ke sudut bibir kanannya.

"Kamu emang perawan," kata Ben langsung melepas ciumannya. "Rugi bandar aku, padahal baru kencan pertama!" keluhnya lemah, ia seperti kebingungan kali ini. Bagaimana tidak? Jika pihaknya yang membatalkan kontrak, Ben dipastikan menghujani Ann dengan uangnya.

###

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status