Share

Bab 2. Menerima Tawaran Nikah Kontrak

"Kamu sudah kakek beri waktu hingga 3 bulan, Bryan, tetapi kamu masih belum membawa calon istrimu kepada kakek," ucap Baskoro kepada Bryan. "Sampai kapan kakek menunggunya?" lanjutnya.

Bryan pun langsung melirik ke arah pengawalnya karena dianggap tak becus mencari calon istri kontrak untuknya. Tatapan Bryan ke arah pengawalnya begitu tajam setajam silet.

"Bryan! Kakek sedang berbicara dengamu, matamu jangan ke mana-mana!" ucap Baskoro dengan tegas.

Bryan pun langsung tertunduk lemas. 'Aduh, bagaimana ini?' batinnya yang mendadak. 'Kalau aku tak segera mendapatkan calon istri, harta kekayaan kakek akan diberikan kepada badan amal. Lalu, nanti aku tak dapat apa-apa.'

"Bryan!" ucap Baskoro lagi. "Jangan menunduk, angkatlah kepalamu dan tatap mata kakek."

Dengan ragu-ragu Bryan menatap mata Baskoro. Lalu, dia berkata sambil memilin jari-jari tangannya. "Maaf, sebelumnya, Kek, a-aku ...." Bryan pun mulai bingung harus bagaimana. Sebab, waktu yang diberikan sang kakek sudah jatuh tempo. Ditambah, sang kakek juga terus mendesaknya untuk memperkenalkan calon istri kepadanya. Ia kemudian membatin, 'Masa iya aku bilang ke kakek kalau aku sukanya sama keturunan Abraham? Kan gak mungkin? Bisa mati aku!'

'Tuan Bryan! Tolong buka pintunya!'

Tiba-tiba, terdengar suara teriakan Bunga di balik pintu ruangan Bryan. 'Saya mau menjadi istr ....' Lalu suara Bunga langsung menghilang dengan sekejap.

"Siapa itu?" tanya Baskoro.

Sontak, Bryan langsung menoleh ke belakang dan tak menjawab pertanyaan Baskoro. Tanpa berkata sepatah kata, ia langsung beranjak dari duduknya. Dia kemudian segera berlari menuju ke arah pintu ruangannya.

Di saat Bryan membuka pintu, terlihatlah Bunga yang sedang dibekap mulutnya dan dibawa para pengawalnya pergi menjauh dari ruang kantornya. "Berhenti! Jangan bawa calon istri saya!" teriaknya berharap Baskoro tahu kalau dia sudah ada calon istri.

Seketika, para pengawal Bryan langsung terhenti. Sementara itu, Baskoro terlihat hanya memperhatikan dari kursi sang cucu.

Bryan langsung berlari menuju ke arah para pengawalnya. Lalu, dia melepaskan tangan mereka dari Bunga. "Lepaskan! Jangan pegang-pegang calon istri saya!" perintahnya.

Seketika, para pengawal itu langsung melepaskan tangan mereka. Mereka kemudian berjejer rapi.

Bryan pun langsung mendekatkan bibirnya ke arah telinga Bunga. Lalu, dia berbisik pelan, 'Jangan bicara apapun, biar saya yang berbicara. Mengerti?'

Bunga pun langsung mengangguk.

Suara derap langkah sepatu pun terdengar begitu jelas di telinga Bryan dari arah belakang dirinya.

"Well, bisakah kamu perkenalkan calon istrimu kepada kakek sekarang?" tanya Baskoro.

Bryan pun langsung menoleh ke arah belakang. Terlihat raut wajah Baskoro yang begitu amat bahagia.

Di saat bersamaan, ponsel Bryan kembali berdering dan itu berasal dari kekasihnya. Buru-buru, Bryan me-reject-nya.

Pandangan Baskoro pun langsung teralihkan pada ponsel Bryan. "Siapa yang menelepon, Bryan?" tanya Baskoro.

Bryan menggeleng. "Gak ada, Kek."

Ponsel Bryan kembali berdering. Telepon itu berasal dari kekasihnya lagi. Bahkan, sang kekasih mengirimkan pesan ancaman kepada Bryan.

[From: My Future Wife ❤️

To: Me

Aku sekarang di depan kantormu! Kalau kamu gak keluar dalam waktu dua menit, aku akan masuk ke sana.]

'Sial, ini kenapa Cassandra pakai acara datang di waktu tak tepat begini?' batin Bryan usai membaca pesan itu.

Baskoro pun menepuk bahu Bryan. "Jika dirasa penting, angkatlah, Bryan. Biar calon istrimu bersama kakek saja.."

"Apa boleh aku mengangkatnya?"

"Boleh."

Bryan pun langsung mematikan ponselnya dan berlari menuju ke arah lift kantornya. Ia tak punya waktu untuk mengangkat telepon Cassandra. Lalu, dia menekan tombol lift dan segera turun ke lantai bawah.

Kaki Bryan yang dihentak-hentakkan tak bisa membohongi rasa gugupnya. Ia amat khawatir jika sang kekasih membuat onar di kantornya. Apalagi, sekarang dia sedang menjadi mode malaikat agar Baskoro yakin dia sudah benar-benar berubah menjadi anak baik yang sebelumnya dia sering pulang malam dan suka mabuk-mabukan.

"Semoga saja Cassandra tidak masuk ke kantor."

Ting!

Pintu lift terbuka. Bryan langsung berlari menuju ke arah lobby kantornya dengan ngos-ngosan. Dia mencoba mencari keberadaan Cassandra di sekitar lobby.

Aman. Bryan tak melihat kehadiran Cassandra di sana. Berarti Cassandra belum masuk.

Bryan segera berlari ke arah luar. Dia berusaha mencari mobil Cassandra. Di sebelah kanannya, dia melihat sebuah mobil sport berwarna kuning sedang terparkir. Buru-buru dia menuju ke sana dan langsung masuk.

"Yeay! Akhirnya datang!" Gadis berambut panjang dan bergelombang itu segera memeluk tubuh Bryan.

Namun, Bryan langsung melepasnya meski nafasnya masih ngos-ngosan. "Kau gila, Sandra? Kau hampir membuatku ketahuan! Di dalam sedang ada kakek dan bisa-bisanya kamu mau bertemu denganku."

"Habisnya aku kangen sih!"

"Kangen ya kangen, tapi lihat sikon juga."

Cassandra kemudian kembali memeluk tubuh Bryan dan bermanja-manja di pundak kanannya. "Maafin aku, ya Sayang."

Bryan pun langsung luluh melihat Cassandra yang manja seperti itu. Rasanya, jiwa lelakinya melambung tinggi hingga ke angkasa. "Iya, aku maafin, lain kali kamu jangan kayak gini lagi. Bahaya!"

"Omong-omong, kamu udah dapet calon istri belum?" tanya Cassandra.

"Sudah. Dia sekarang ada bersama kakek."

"Asyiiiikkk!" Wajah Cassandra langsung berubah bahagia. Dengan cara itu, dia dan Bryan bisa menghabiskan lebih banyak waktu berdua. Bryan nanti bisa beralasan bulan madu atau jalan-jalan dengan istrinya ke luar negeri. Padahal, sebenarnya digunakan untuk berduaan dengan Cassandra. "Orangnya kayak gimana? Cantik gak?"

"Gak. Dia jelek, mana bodoh lagi."

"Masa?" tanya Cassandra. "Bilangnya jelek, tahu-tahu kamu malah suka."

"Ya kali aku suka sama orang jelek bin bodoh."

"Kamu ada fotonya? Lihat dong!"

Bryan langsung meraih ponselnya dan menunjukkan foto Bunga saat sedang menjalani masa percobaan. "Lihatlah! Jelek kan?"

"Iyuuh! Bener katamu. Mana pakaiannya kampungan banget."

"Makanya, jangan asal ngomong. Aku itu sukanya sama kamu," ucap Bryan. "Kalau bukan karena keturunan Abraham, sudah kunikahi kamu dan kita bisa punya anak seenggaknya dua anak."

Raut wajah Cassandra langsung manyun. "Ih, iya, aku jadi benci. Kenapa ya cinta kita harus seperti ini!"

Bryan kemudian menggenggam tangan Cassandra. Lalu, dia menatapnya dengan lekat. "Tenanglah dan bersabarlah, Sayang. Kalau kakek tiada, otomatis semua hartanya akan jatuh kepadaku karena aku sudah menunaikan satu kewajibanku di mana aku sudah menikah dengan gadis yang bukan dari keturunan Abraham. Dan setelah itu, kita bisa menikah."

Cassandra pun memeluk Bryan dengan semakin erat. "Aku aminkan saja harapanmu, Sayangku."

***

Bunga terlihat masih sangat gugup. Ia mondar-mandir karena tak ada Bryan, sebab ia tak tahu harus berkata apa tanpanya. Dan pada akhirnya, dia masih belum keluar dari kamar mandi ruangan Bryan.

Tok!

Tok!

Tok!

Pintu kamar mandi terketuk dari luar. Terdengarlah suara pengawal Bryan yang mewawancarai Bunga tadi. 'Nona Bunga. Apakah Anda masih lama? Anda ditunggu Tuan Baskoro,' ucapnya.

Glek!

Bunga menelan ludah. Ia semakin panik. "I-iya, ini saya sudah mau selesai dan sedang m-mau keluar."

'Baiklah, akan kami tunggu.'

***

"Siapa namamu?" tanya Baskoro yang terlihat begitu hangat menyambut Bunga.

Bunga pun menatap dengan lekat kedua mata Baskoro yang duduk di hadapannya. "Nama saya Bunga," jawabnya. "Bunga Kenanga."

Dahi Baskoro pun langsung mengernyit. "Bunga Kenanga?" tanyanya dengan raut wajah penasaran. "Kenapa namamu Bunga Kenanga?"

"Soalnya, kata ibu saya, beliau saat sedang hamil saya suka sekali mencium bunga kenanga, Tuan."

"Panggil saya kakek. Kakek Bagaskoro, sebab pada akhirnya kamu nantinya akan menjadi bagian dari keluarga Bahuwirya."

"I-iya, Kek."

"Baik, lanjutkan ceritamu."

"Terus, mendiang bapak saya juga pernah jual bunga, makanya, saya diberi nama Bunga Kenanga. Sebab wanginya sangat harum jika sudah menguning."

"Oh, jadi kamu anak yatim?" tanya Baskoro.

"Iya. Saya tinggal bersama ibu saya."

"Kalau boleh tahu, nama toko bunga bapakmu apa?"

"Toko bunga?" Bunga mendadak kebingungan. Sebab, bapaknya sendiri hanya menjual bunga di sekitar makam dengan berbekal tikar.

"Iya."

"Tidak ada namanya, Kek. Bapak saya tinggal jual aja."

Baskoro mengangguk-angguk tanda mengerti. "Terus, kamu sendiri lulusan kampus mana?" tanya Baskoro yang benar-benar menginterogasi Bunga. "Dari Cambridge University, Stanford University atau Oxford?" tanyanya.

Glek!

Bunga langsung menelan ludah. 'Apalagi itu. Aku kan cuma lulusan SMA,' batinnya di dalam hati. Ia lalu berkata, "Um ... saya ...."

Ceklek!

Pintu ruangan Bryan terbuka lebar. Ia berhasil datang di waktu yang tepat usai dikirimi pesan oleh pengawalnya sebelum Bunga terlalu banyak bercerita kepada Baskoro.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status