enjoy reading .... :-)
"Pak Akhtara!" Aku segera mendorong dadanya sekuat tenaga hingga tangannya terlepas dari rahangku. Bahkan kedua kakinya mundur selangkah. Dengan nafas sama-sama terengah-engah karena ulah Pak Akhtara, aku langsung bergerak menuju pintu tapi beliau dengan cepat menarik lenganku lalu merengkuhku dalam pelukannya. Erat sekali hingga kami sedekat ini dengan kedua tanganku dikunci Pak Akhtara ke belakang badan. "Lepas, Pak!" Pekikku. "Ada orang tua saya, Jihan! Jangan teriak-teriak!" ucapnya tajam dengan suara rendah. Aku melupakan itu lalu membuang muka. "Kamu kemana setelah dari ruangan saya tadi heh?!" Tatapan mataku tertuju ke arah lain dari pada menatap Pak Akhtara. Karena aku marah padanya! "Jihan, saya tanya!" Kedua tanganku masih dikunci di belakang badan dan aku memilih tidak memberontak minta dilepaskan. Percuma meminta beliau melepaskanku. Karena aku pasti tidak akan dilepaskan dengan mudah! Tapi aku tidak mau menjawab pertanyaannya. Aku kesal! "Jihan, saya hitung
"Hati-hati, Ma, Pa." "Jaga istrimu baik-baik, Tara! Jangan gila kerja! Buruan bikin anak!" Aku yang berdiri di sebelah Pak Akhtara hanya tersenyum canggung mendengar pesan beliau sebelum mobilnya keluar dari pelataran rumah Pak Akhtara. "Kamu dengar kan, sayang, Mama pengen kita segera punya anak." Kepalaku mengangguk seadanya lalu beliau menutup pintu rumah. Afifah, sudah kembali ke rumahnya dan akan kembali esok pagi untuk menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah. Bagaimanapun, besok aku harus segera menemui petugas kesehatan agar segera mendapat suntikan pencegah kehamilan yang bertahan hingga tiga bulan lamanya. "Pak, besok jadi ketemu temannya Bapak yang punya bisnis itu kan?" Lalu beliau mendekatkan tubuhku ke tubuhnya kemudian jemarinya membelai lembut pipiku. "Apapun untukmu, sayang. Asal jangan ngambek lalu main pergi dari rumah. Saya nggak mau kejadian salah paham kayak gini terulang lagi." Ah .... leganya aku mendapat kepastian akan bertemu teman Pak Akhtara yan
"Ya, Pak?" "Bisa ke ruangan saya bentar, Han?" Itu suara Pak Akhtara dari sambungan telfon. Dari nada bicaranya saja aku sudah merasakan ada hal yang tidak beres. Pasti ini mengenai Mas Hadza yang tadi main tarik tanganku seenaknya saja. "Ya, Pak. Saya ... ke ruangan Bapak." Astaga ... masalah ini, mengapa datangnya silih berganti?! Hidupku seperti tidak ada tenangnya sama sekali. Belum selesai satu perkara sudah timbul masalah yang lain dan timbul lagi yang lain. Dan kecepatan tumbuhnya masalah itu seperti spora jamur di musim penghujan! Usai meletakkan tasku di kubikel, lalu aku melangkah ke ruangan Pak Akhtara dengan jantung tidak karuan berisiknya. Tapi bagaimanapun aku harus tenang! "Masuk!" Kemudian aku menutup pintu ruang kerja Pak Akhtara. Lalu ekor mataku melirik ke arah kursi sekretarisnya. Kosong! Pantas saja berani menyuruhku kemari padahal masih pagi. "Duduk, Han." Aku menurut lalu duduk di hadapannya. Meja kerjanya menjadi penghalang kami. "Saya lang
"Halo, Pak?" "Kamu dari mana?! Ditelfon nggak diangkat dari tadi! Ini yang bikin saya emosi, Han! Kamu kayak punya urusan rahasia dan nggak mau berbagi sama saya! Padahal saya suami kamu!" Nah kan?! Benar beliau marah. Ternyata serumit ini memiliki pasangan yang terlalu posesif dan protektif. "Saya baru beli pembalut, Pak. Saya ... datang bulan." Tidak ada jawaban darinya. "Itulah kenapa saya nggak ngajak Bapak. Saya pikir urusan pembalut itu hal yang sensitif. Masak gitu aja Bapak marah-marah sama saya?" Terdengar beliau menghela nafas lalu berkata ... "Ya sudah. Saya minta maaf." "Nanti malam jadi kan, Pak?" "Iya." Dari pada memperpanjang amarah Pak Akhtara lebih baik fokus pada bisnisku saja. Itu lebih menjanjikan dari pada sekedar meladeni amarahnya yang tidak kusukai. Siang itu hingga menjelang sore, aku bekerja seperti biasanya. Bertukar pesan dengan Mas Hadza untuk melupakan emosi Pak Akhtara. Sekaligus mempererat hubunganku dengannya yang tadi juga sempat mere
Baru kali ini aku begitu nakal, menggelora, dan banyak hal yang tidak bisa kujelaskan saat menjalankan tugas sebagai seorang istri. Ritmenya bisa membuatku mengimbangi permainan ini hingga terasa sangat seimbang antara aku dan Pak Akhtara. Mungkin karena aku melakukannya dengan ketulusan. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang terasa .... sedikit menyakitkan. Bahkan Pak Akhtara begitu bersemangat memimpin jalannya penyatuan ini hingga kamar ber-AC ini tidak mempan membendung rembesan keringat yang muncul dari permukaan kulitnya yang berwarna sawo matang. "Sayang ..... " Lenguhan panjang itu menjadi penanda jika kenikmatan yang diharapkan sudah mencapai puncaknya. Sedang aku entah sudah berapa kali dibawa Pak Akhtara terbang sampai memohon padanya untuk segera menyudahi permainan ini. Karena aku terlalu lelah mengimbanginya. Beliau tidak segera menyingkir dari atasku karena masih menetralkan deru nafasnya lalu menatapku dengan sorot lemas. "Istriku luar biasa." *** Pagi
Beberapa hari ini aku, Pak Akhtara, dan asisten pribadi Qhiyas bekerja bersama-sama hingga malam menjelang untuk mempersiapkan grand opening stand kulinerku. Enaknya berbisnis franchise, semua sudah disiapkan oleh ownernya. Bahkan seragam karyawan pun telah disiapkan dari sana beserta sumber tenaga manusianya. Aku dan Pak Akhtara benar-benar hanya melakukan finishing saja. Ada tiga pekerja yang bertugas di stand kulinerku. Dua lelaki dan satu perempuan yang sudah dilatih oleh anak buah Qhiyas. Bukan aku yang memberi arahan kerja pada mereka, melainkan Pak Akhtara dan asisten Qhiyas. Serta bagaimana menggunakan mesir kasir, menyalakan kompor listrik, mengolah bahan setengah jadi menjadi makanan siap saji, memperhatikan penyajian, kebersihan stand, dan sebagainya. Aku benar-benar tidak mengerti cara memulai bisnis andai tidak ada Pak Akhtara yang menjadi backingku. "Bahan setengah jadinya dalam perjalanan kemari, Pak Akhtara. Jadi kita bisa santai dulu," ucap asisten Qhiyas yang
Sekarang hari Sabtu, kami bekerja hanya sampai pukul sebelas siang saja. Namun sebelum pulang, aku nekat menuju gudang dengan membawa dokumen rekapan. Padahal tidak ada kesalahan apapun dalam proses rekapan karyawan gudang. Namun, aku menuju gudang karena ingin bertemu Mas Hadza. Sampai menit terakhir menjelang pulang kerja pun dia tidak mengangkat telfonku atau membalas pesanku. Siapa yang tidak meradang jika lelaki yang dicintai bersikap salah paham. Padahal perjuanganku untuk hubungan kami berdua, tidaklah main-main besarnya. Aku menyerahkan jiwa dan ragaku pada Pak Akhtara dengan imbalan bisnis kuliner yang hari ini akan dilakukan grand opening. "Lho, Jihan, ada yang salah rekapannya? Kok kemari?" Itu suara Mbak Adis, rekan kerja Mas Hadza di bagian gudang. "Eh ... ada dikit, Mbak. Makanya mau kroscek sama Pak Hadza. Orangnya dimana ya?" "Tuh." Jawabnya dengan menunjuk ke arah utara. Benar saja, lelaki itu nampak sedang serius bekerja mengatur penempatan barang di gudang
Pillow talk adalah kesukaan Pak Akhtara. Berbicara bersama di atas kasur setelah membersihkan diri. Terbukti, setelah aku keluar dari kamar mandi usai membersihkan badan, beliau yang tengah duduk di tepi ranjang langsung menepuk sebelah kanannya. "Sini, sayang." Aku menurut lalu duduk di sebelahnya. "Kenapa kok cemberut? Padahal hari ini seratus porsi terjual habis." Tanyanya dengan mengusap rambutku. "Kangen Mama Papa aja, Pak. Lama nggak pulang kampung." Bohongku. Padahal aku sedang memikirkan Mas Hadza dan sebaris kalimatnya yang meminta perpisahan. Mendadak bisnis yang sudah Pak Akhtara dirikan untukku menjadi tidak menarik sama sekali. "Kita bisa pulang kampung kalau kamu mau. Saya akan kosongkan jadwal di akhir pekan sama kita jalan-jalan. Gimana?" Kemudian beliau memberiku kecupan di rambut. Kita? Aku tertawa miris di dalam hati. Pasalnya bagaimana mungkin aku bisa menjelaskan segalanya pada Mas Hadza kalau Pak Akhtara selalu protektif dan posesif seperti in