Seusai bicara, Paula kembali memejamkan matanya. Sepertinya dia belum benar-benar terbangun. Darwin terpaksa membawanya ke ranjang dan menyelimutinya. Sebelum pergi, jari Darwin digenggam oleh Paula. Darwin menoleh dan melihat tampang Paula yang tersenyum dengan mata yang setengah terpejam. "Kamu sudah lapar, 'kan? Biar kuhangatkan makanannya."Darwin tiba-tiba mendekat. Tatapan mereka saling bertemu dan jarak mereka juga semakin dekat. Tiba-tiba, Paula menoleh dan meringkuk ke dalam selimut. Dengan suara yang teredam, dia berkata, "Maaf, aku ngelindur."Darwin tidak melewatkan ekspresi dingin yang muncul di matanya saat Paula sadar. Namun, dia hanya menganggap hati Paula masih merindukan Richie. Meski merasa agak gusar, Darwin tetap bisa memahami perasaan Paula.Oleh karena itu, setelah berdiri sejenak, Darwin pun meninggalkan kamar itu. Dia percaya bahwa Paula adalah orang yang memiliki prinsip. Darwin hanya berharap mereka bisa hidup dengan damai dan saling menghormati.Setelah kelu
"Sialan, berhenti kamu! Kamu sudah menghancurkan kios buahku, jangan harap bisa melarikan diri!" teriak seorang wanita paruh baya yang gemuk sambil mengejarnya."Si kepala babi" itu buru-buru mengangkat motornya dan menghidupkan mesin. "Bi, aku benar-benar nggak sengaja. Aku sekarang nggak punya uang, besok baru aku ganti rugi, ya?"Setelah mesinnya menyala, pemuda itu langsung melarikan diri dengan sepeda motornya. Saat berpapasan dengan Paula, "si kepala babi" itu berkata sambil tertawa, "Putri kecil, aku sita sketsamu."Bibi itu mengejar ke hadapan Paula dan bertanya dengan napas terengah-engah, "Kamu kenal dengan orang itu?"Paula menggeleng."Aku nggak peduli, tadi aku lihat kalian bicara. Kamu harus ganti rugi," kata wanita itu sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Paula.Paula melihat warna pakaian wanita itu yang telah pudar dan lengan bajunya yang koyak. Dia merogoh sakunya dan memberikan uang 400 ribu yang tersisa kepada wanita itu. "Aku cuma punya uang segini." Uang itu pe
"Aku ... di rumah." Paula berbohong karena tidak ingin mengganggu Darwin bekerja.Terdengar keheningan yang cukup lama di sisi Darwin, jantung Paula berdetak kencang karena terlalu gugup. Pada akhirnya, dia terpaksa mengaku karena merasa tertekan, "Aku di bawah perusahaanmu. Sebentar lagi mau pulang.""Tunggu di sana, jangan ke mana-mana." Darwin melihat Paula dari kaca jendela di ruangannya. Paula sedang berdiri di sana dan menendang batu-batu kecil dengan bosan.Tak lama kemudian, seorang wanita muda berpakaian formal datang menghampirinya dengan senyuman yang ceria. "Anda Bu Paula, bukan? Pak Darwin menyuruhku membawa Anda naik."Paula diam-diam mengirimkan pesan kepada Darwin.[ Pekerjaanmu terganggu nggak? Aku bisa pulang sendiri. ]Darwin tidak membalas pesannya."Aku sekretaris Pak Darwin, Anda bisa memanggilku Sofia." Sofia tampak sangat tertarik kepada Paula. Tatapannya terlihat sangat penasaran saat memandang Paula. Wajah Paula jadi tersipu saat keluar dari lift karena dipand
"Kenapa panik?" Darwin berjalan dengan cepat menghampirinya, lalu menunduk untuk mengelus lutut Paula yang terbentur.Dengan wajah tersipu, Paula bergumam, "Nggak sakit, aku mau pulang." Suaranya terdengar seperti ingin menangis."Cukup dipijat sedikit saja." Tangan Darwin yang hangat menyentuh lutut Paula. Saat ini, Paula tidak merasa canggung ataupun sakit lagi. Dia hanya merasa lututnya yang dipijat Darwin terasa sangat panas."Ehem, Pak Darwin, rapat selanjutnya akan dimulai 20 menit lagi," ujar Sofia mengingatkan setelah puas menonton adegan menarik ini.Mengambil kesempatan ini, Paula buru-buru ingin kabur dari meja kerja Darwin, lalu berjalan dengan tertatih-tatih ke arah sofa."Pelan sedikit," ucap Darwin mengingatkan."Aku tahu, kamu lanjutkan saja kesibukanmu," balas Paula tanpa menoleh sama sekali. Kedua telinganya tampak memerah di bawah cahaya matahari yang menembus jendela. Tampangnya benar-benar menggemaskan saat ini.Darwin tidak kuasa menahan tawa. Sofia menatap bosnya
Baru saja mendapat kesempatan untuk melarikan diri, pria bertopi itu malah menarik rambut Paula dan memukulnya hingga pingsan. Di saat kehilangan kesadarannya, Paula merasa dirinya tidak akan bisa lolos dari bahaya lagi kali ini.Paula hanya merasa pasrah. Lagi pula, tidak ada lagi yang pantas dinantikan di dunia ini. Paula merasa Darwin juga tidak perlu repot lagi jika dirinya meninggal.Saat tersadar kembali, Paula melihat bahwa dirinya sedang dikurung di sebuah pabrik terbengkalai. Mereka tidak mengikat kaki ataupun tangannya, sehingga Paula ingin mencoba untuk kabur. Namun baru saja tiba di depan pintu, pria bertopi yang menculiknya itu langsung menghalanginya."Apa yang kalian inginkan?" Paula bisa menebak siapa pelaku semua ini, kemungkinannya hanya antara Aurel atau Richie."Kamu hamil?" tanya pria bertopi itu.Melihat pria itu memegang foto USG di tangannya dan tatapannya terlihat tidak tega, Paula berusaha untuk menenangkan diri dan mengangguk. "Ya, apa kamu bisa melepaskanku?
Preman itu bertanya dengan kaget, "Bom apanya? Pak Richie nggak suruh kami pasang bom?""Aku yang pasang. Kalau mau main, taruhannya harus lebih besar lagi," kata pria bertopi itu dengan tatapan kosong. Jelas sekali dia memang sudah ingin mati."Kamu gila ya? Bunuh orang bakal dipenjara!" bentak pria bertato yang mulai takut."Kalau kalian nggak berani, kalian bisa pergi sekarang." Pria bertopi memeluk kedua tangannya di depan dada. Dia tidak peduli apakah kedua preman itu akan pergi atau tidak. Namun Paula tahu bahwa pria itu sudah pasti tidak akan membiarkannya pergi. Sebab, pria itu duduk di posisi yang tepat untuk menghalangi Paula.Kedua preman lainnya sibuk mencari bom yang disembunyikan di gudang itu.Paula mematung di tempat selama beberapa menit, lalu mencari sebuah tempat yang terletak paling jauh dari mereka untuk duduk. Mereka telah memperhitungkan segalanya, tapi mungkin tidak akan menyangka bahwa Darwin adalah pewaris Grup Sasongko yang sangat sibuk setiap harinya. Mungki
Kalau orang itu adalah anggota Keluarga Sasongko lainnya, mereka mungkin masih bisa menghalanginya. Namun, yang pergi ke sana sekarang adalah Darwin. Bahkan Terry sekalipun juga belum tentu bisa menghentikannya.Saat Darwin tiba di pabrik buangan itu, Fuward kebetulan telah mengaktifkan bom waktu dan mengikatnya di tubuh Paula."Seleramu bagus juga, pacarmu bisa diandalkan. Nggak seperti ibuku, menikah sama bajingan dan akhirnya mati dipukul suami.""Ibumu juga pasti berharap kamu bisa hidup dengan baik," bujuk Paula dengan suara gemetaran."Nggak, sebelum meninggal dia bilang padaku bahwa penyesalan terbesarnya seumur hidup ini adalah melahirkanku. Saat ayahku memukulnya, dia langsung mendorongku ke depan untuk menghalanginya. Aku nggak dipukul sampai mati karena beruntung," jawab Fuward dengan tenang.Paula menghela napas dan berkata, "Kalau mereka nggak mencintaimu, kamu seharusnya lebih mencintai dirimu lagi.""Ada seseorang yang pernah mengatakan hal yang sama padaku, tapi tak lam
"Mau mati?" Melihat bekas goresan di leher Paula, tatapan Darwin langsung menjadi muram."Richie menyuruh mereka untuk menodaiku, jadi aku ...." Air mata kembali berderai di wajah Paula."Paula, apakah benar-benar nggak ada satu pun hal di dunia ini yang membuatmu ingin bertahan hidup?" tanya Darwin dengan serius tiba-tiba.Sambil menatap sorot mata Darwin yang dalam, Paula berkat tanpa sadar, "Dulu memang nggak ada.""Bagaimana dengan sekarang?" tanya Darwin sambil mendekatinya."Sekarang ...." Paula menundukkan kepala untuk menghindari tatapannya, lalu mengelus perutnya dan melanjutkan, "Ada anakku."Saat berada di ambang kematian tadi, Paula seakan-akan melihat tiga malaikat yang sedang tersenyum padanya. Kali ini, Paula benar-benar tidak bisa merelakan anaknya lagi."Baguslah," balas Darwin sambil mengelus rambutnya, lalu menggendongnya.Saat keluar dari tempat itu, Paula melihat beberapa petugas medis yang membawa Fuward ke mobil ambulans. Semoga setelah melewati kejadian kali ini