"Aku pernah berpikir kalau itu kamu, Yu," ucap Farida di tengah-tengah isak tangisnya. "Ya kan, Pak, Vin?" Farida meminta dukungan pada suami dan putrinya perihal kecurigaannya. Rahayu tak bisa berkata-kata, wanita senja itu semakin mempererat pelukannya. Ambar yang menyaksikan kejadian itu ikut terbawa suasana, sesekali jemarinya mengusap sudut matanya yang mengembun.Ambar melangkah menjauh setelah ponselnya berdering, tertera nama Fitri sedang memanggil, bundanya Alif itu segera mengangkatnya."Assalamualaikum, Fit," sapa Ambar setelah meletakkan ponsel di dekat telinganya."Wa'alaikumussalam, Mbak. Gimana kabar Alif?" tanya Fitri dari seberang sana."Alhamdulillah, baik. Kalau nanti ndak demam, besok sudah bisa pulang," sahut Ambar."Mbak, barusan aku dapat kabar dari kampung, kalau Mamakku sakit," ujar Fitri dengan suara yang terdengar lirih."Innalilahi, terus sekarang bagaimana, Fit?" tanya Ambar lagi."Aku ingin pulang, Mbak. Aku ingin bertemu dengan Mamak." Kali ini terdengar
"Panggil aku Iyan, saja." Seolah mengerti lelaki yang tengah menggunakan kaos oblong yang dipadukan dengan celana sebatas lutut itu berucap."Ndak, itu ndak sopan memanggil seseorang hanya dengan namanya saja, Bapak kan lebih tua dari saya. Kecuali bapak lebih muda, aku mau memanggil hanya nama." "Siapa bilang aku lebih tua dari anda?""Vina, siapa lagi," sahut Ambar cepat sambil menunduk.Ambar memegangi dahinya karena menabrak sesuatu, setelah mendongak bundanya Alif itu terjingkat karena berada sangat dekat dengan punggung lebar Iyan."Baiklah, kalau begitu panggil aku Mas, Bang, atau apalah, asal jangan Pak," kata Iyan setelah berhenti melangkah secara mendadak."I-iya, Mas. Duh." Ambar menutup mulutnya karena malu sudah memanggil Iyan dengan sebutan 'Mas'. Sebenarnya pada setiap lelaki dia memang terbiasa memanggil 'Pak' baru kali ini dia merasa kerepotan memanggil seseorang. "Nah gitu, terus sekarang aku harus panggil anda apa?" tanya Iyan dengan bibir mengulum senyum."Terser
Sebuah foto yang menunjukkan dua manusia berbeda jenis kelamin saling berciuman tanpa menggunakan sehelai pakaian terpampang di layar ponsel Rudi. Mungkin, bagi sebagian orang itu adalah sebuah foto yang sangat menarik, karena bisa memicu birahi. Akan lain cerita jika yang menjadi obyek adalah orang terdekat kita. Malu dan marah itulah yang terjadi."Apa yang kau inginkan?" tanya Rudi dengan suara tegas, jika diibaratkan benda, suaranya layaknya sebuah belati yang dingin dan sangat tajam, menakutkan. Rudi mengepalkan tangannya, andai orang tersebut ada didepannya detik itu juga Rudi akan menghajarnya. Mungkin, sampai lelaki itu menghembuskan napas terakhirnya."Tanyakan pada istri jalangmu itu, hahahaha," sahut si penelpon yang tak lain adalah Haris. Setelah tertawa yang terdengar puas, Haris langsung memutuskan panggilannya. Rudi masih bergeming, rahangnya mengeras sementara tangannya menggenggam kuat alat komunikasinya. Rudi berjalan mendekati Santi, tatapannya yang tajam membuat w
"Mbak, ke masjid yuk, biar Alif sama Abang. Keburu siang," ujar Vina yang menyadari kekakuan diantara Ambar dan Kakaknya."Iya, nggak pa-pa pergi aja, Bundanya Alif," sahut Iyan tanpa menoleh. Ada sedikit lengkung di bibirnya ketika berucap. Gemas."Hais! Abang ini apa-apa sih. Kenapa manggil Mbak Ambar seperti itu?" Vina menatap kakaknya dengan tatapan menghujam. "Oh, aku lupa, kalian belum kenalan ya?" imbuhnya, kali ini mau tak mau Iyan pun menoleh tak mengerti apa maksud adiknya berkata seperti itu. "Baiklah, Alif ... sekarang kenalkan bundamu sama Om Baik," titah Vina pada bocah bermata bulat itu.Alif menelengkan kepalanya, bocah itu tak mengerti apa sedang terjadi diantara tiga orang dewasa yang tengah mengelilinginya. Tanpa diduga, Iyan mengulurkan tangannya pada Ambar. Seolah membeku, wanita bersio kerbau itu tak merespon melihat tangan besar Iyan yang siap menerima tangannya yang mungil."Bunda kok diem aja, Om Baik mau kenalan sama, Bunda," ujar Alif dengan polos. Mendengar
"Ibu!" teriak Siti memekakkan telinga. Siti yang lebih senang dipanggil Titi itu segera mendekati ibunya yang terkapar tak berdaya di lantai kamarnya. Namun, dia sama sekali tak menyentuh tubuh ibunya yang tak berdaya.Siti keluar dari kamar sambil mengibas-ngibaskan tangannya menghalau bau yang menusuk hidungnya, wanita bertubuh sintal itu berdiri di depan pintu. "Tolong! Mbak Santi, Mimi, Suji, Mas Rudi, Bik Mina. Tolong!" teriaknya bergema ke setiap ruangan. Namun, tak terlihat satu orang pun yang datang. Setelah Siti mengulang teriakannya, terlihat Mina datang dengan langkah tergopoh-gopoh."Cepetan, Bik!" serunya. "Lekas masuk, bantu ibu," titah Siti setelah Mina sampai di depannya.Wanita yang masih memegang lap itu tertegun ketika sampai di depan kamar sang majikan. Bau menyengat langsung menyambut kedatangannya."Ibu kenapa, Mbak?" tanyanya dengan suara lirih, hidungnya bergerak-gerak menghalau bau yang tercium dan membuat perutnya mual seketika."Aku juga nggak tahu, Bik. Kem
Sepanjang jalan Alif tak henti-hentinya bercerita pada Iyan yang duduk di samping kemudi taksi online yang mereka pesan. Sementara di bangku belakang ada Vina dan Ambar yang menyimak celotehan bocah berambut ikal tersebut. Sambil memainkan ponsel.Kedua alis bundanya Alif itu bertaut ketika mengetahui ada beberapa panggilan tak terjawab dari Fitri. Ambar pun segera menekan ikon ganggang telepon. Tersambung, tetapi tidak diangkat. Ambar mengulang untuk ketiga kalinya. Namun, tetap tak diangkat. Ambar pun tak mengulangnya lagi. Mungkin, Fitri sibuk, pikir Ambar."Om, kapan kita naik pesawatnya?" tanya Alif tiba-tiba, membuat lelaki berpenampilan santai itu berpikir sejenak."Alif maunya kapan?" tanya Iyan akhirnya sambil mengelus rambut bocah yang duduk di pangkuannya itu."Besok," sahut Alif cepat dengan senyum merekah menghiasi bibir mungilnya."Kak, jangan begitu. Kakak kan baru sembuh," sela Ambar. Sebagai ibu, dia merasa tak enak hati, selain itu Ambar juga khawatir jika suatu saat
Empat orang dewasa dalam kendaraan itu tak ada yang membuka suara. Semua diam termasuk Alif. Bocah itu memang belum mengerti apa yang telah terjadi. Namun, dia seolah bisa merasakan apa yang dirasakan oleh bundanya. Semuanya diam, memikirkan beberapa kemungkinan menurut versi masing-masing."Sabar ya, Mbak. Setiap musibah pasti ada hikmahnya," hibur Vina, gadis berlesung pipi itu tak bisa menahan diri ketika melihat Ambar berkali-kali mengusap sudut matanya. Ambar mengangguk kecil. "Iya, Vin. Terima kasih," sahut Ambar. Setelah itu wanita berbintang Capricorn itu kembali mengusap sudut matanya yang basah."Aku bersyukur, Fitri dan Ibu ndak ada di sana. Aku ndak bisa membayangkan jika mereka sampai ...." Ambar tak bisa melanjutkan kata-katanya, butir bening asin itu meluncur deras di pipinya. Vina mengulurkan tisu, bibirnya tertutup rapat dengan mata berkaca-kaca.Ponsel milik Ambar berdering, memecah keheningan dalam kendaraan yang tengah melaju itu. Mendengar nada panggilan itu memb
"Bagaimana ini, Bu. Apa kita tetap meminta ganti rugi? Alamatnya kayaknya gak terlalu jauh." Lelaki pemilik kontrakan yang terbakar itu meminta persetujuan pada istrinya."Ya harus lah, Pak. Sama seperti yang dulu-dulu. Minta yang banyak sekalian biar kita gak rugi," sahut istri pemilik kontrakan."Jangan lupa bagian kami, Bos," ucap seseorang yang terlihat sangar."Bukannya kamu sudah mengambil barang-barang milik Ambar?""Gak ada barang berharga, Bos. Hanya perabotan masak. Istriku juga sudah punya.""Kamu jual, kan bisa jadi uang. Go blok!" Lelaki berbadan besar itu terlihat kurang suka dengan ide pemilik kontrakan."Alah, ya udah besok temani aku ke rumah laki-laki tersebut."**Vina mengajak Ambar masuk ke sebuah kamar yang letaknya paling ujung. Kamar yang memang diperuntukkan untuk tamu. Dalam kamar tersebut sudah ada kamar mandinya, jadi memudahkan para tamu yang tengah menginap.Rumah mereka memang tidak terlalu besar, sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan rumah Rudi y