"Ibu tidak seburuk itu, aku sangat mengenalnya. Sejak kecil dia membesarkan aku dengan penuh kasih sayang, dia bersusah payah mencari uang untuk menghidupiku," ucap Amel untuk membantah tuduhan Tania."Ya terserah kamu saja, aku tidak mungkin memaksamu untuk percaya. Tapi ketahuilah, Ibu kandungmu masih hidup sampai saat ini dan Ibu Maria lah yang tahu di mana dia, karena dialah yang menyembunyikannya." Tania bangkit dari kursi, lalu pergi meninggalkan Amel sendirian di kafe.Sepanjang perjalanan menuju Apartemen, Amel tidak berhenti memikirkan apa yang terucap dari mulut Tania."Benarkan yang dikatakan Tania? Apa mungkin Ibu Maria melakukan hal itu?""Oh tidak mungkin, jangan percaya dengan ucapan Tania, Amel. Kamu sudah tahu seperti apa Tania, mungkin saja dia sengaja mengatakan hal buruk tentang Ibu, untuk membuatmu membencinya." "Tapi kenapa Ibu tidak pernah menceritakan orang tua kandungku ya? Bahkan saat aku bertanya waktu itu! Ibu memilih diam, sama sekali tidak menjawab!"Ame
Amel benar-benar syok mendengar kisah hidupnya. Ia juga bingung karena apa yang diceritakan Maria, berbeda dengan ucapan Tania."Jadi, di mana Ibu dan ayah?" ucap Amel sambil berlinang air mata.Maria menggeleng, "Aku tidak tahu, hanya Tania lah yang tahu itu," jawab Maria."Jadi, aku anak yang tidak diinginkan oleh Ibu dan ayahku?" Lagi-lagi Amel bertanya.Kedua tangan Maria refleks memeluk Amel, "Mereka tidak menginginkanmu, tapi aku sangat menginginkanmu. Kamu dan Tia adalah separuh hidupku, Ibu sangat menyayangimu Amel," ucapnya.Air mata Amel semakin bercucuran, hatinya yang hancur kini terobati oleh ucapan Maria. Dari pelukan wanita paruh baya itu, Amel bisa merasakan kehangatan yang tulus."Terima kasih Ibu, kamu sudah menerimaku dengan lapang dada. Membesarkan aku dengan penuh kasih sayang dan cinta yang tulus," ucap Amel.Maria melepaskan pelukannya dari Amel, kedua telapak tangannya menggenggam kedua lengan Amel."Ibu harap, kamu tidak membenci kedua orang tuamu. Setiap manu
Bram yang sedang bercumbu, harus berhenti oleh ketukan pintu. Ia melepaskan bibirnya dari bibir Amel, melangkah untuk membuka pintu. Sedangkan Amel bergegas ke kamar mandi."Pah, aku ingin bicara." Kata-kata itu menyambut Bram, saat pintu terbuka."Okay." Bram melangkah menuju ruang tamu yang terletak di lantai dua, dan diikuti oleh Bryan."Pah, aku tidak setuju wanita itu tinggal di rumah ini," ucap Bryan.Bram menghela napas, "Tapi itu sudah keputusan Papa," ucapnya."Pah, tolong jaga perasaan Mama," keluh Bryan."Yan, Papah sudah berusaha menjaga perasaan Mama. Tapi apa! Pernahkah Mama menjaga perasaan Papah? Tidak," ucap Bram dengan lembut."Iya, aku tahu Mama selalu sibuk dengan bisnisnya dan mengabaikan kita. Tapi bukan berarti Mama tidak menyayangi Papah." "Yan, Papah tidak marah dan Papah tidak kesal walupun Mama sibuk dengan bisnisnya. Tapi Papah kecewa saat Mama bermain gila di belakang Papah." Akhirnya kata-kata itu ke luar dari mulut Bram."Maksud Papah?" Bryan sangat ter
Tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 7 malam, keluarga Wijaya sedang berkumpul di meja makan. Bryan terlihat biasa saja, begitu juga dengan Amel, namun tidak dengan Tania. Wanita berambut pendek itu mulai melancarkan aksinya."Aduh..." Wajah Tania menunjukkan rasa sakit, sambil menekan perutnya dengan lembut."Mama kenapa?" Bryan bertanya, begitu juga dengan Bram."Kamu kenapa Tania?" tanya Bram."Aduh... perutku terasa sakit Bram," keluh Tania.Bram bangkit dari kursi, begitu juga dengan Bryan dan Amel. "Pa, bawa Mama ke kamar," desak Bryan.Bram menuntun Tania bangkit dari kursi, namun wanita yang tengah hamil satu bulan itu mengeluh tidak sanggup untuk berjalan. Bram mengangkat tubuh Tania dengan gaya bridal style, membawanya ke kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur.Sementara Amel segera mencari Lukas, meminta pria paruh baya itu untuk menghubungi dokter keluarga Wijaya.Tidak lama menunggu, sang Dokter tiba di kediaman Wijaya. Ia segera memeriksa kondisi kandungan
Pikirannya yang kacau bagaikan benang kusut, membuat Amel tidak bisa tidur. Rasa bersalah menyelimuti hati dan perasaannya, setelah mendengar curahan hati Bryan."Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" keluh Amel.Bibirnya bergerak, namun matanya menatap kosong ke arah taman bunga melalui kaca jendela."Sayang, kamu sudah bangun?" sapa Bram, yang baru muncul dari balik pintu.Ia melangkah menghampiri Amel, kedua tangan kekarnya melingkar di pinggang wanita cantik itu."Ow.." teriak Amel, "Sayang, kamu membuatku terkejut," lanjutnya.Bram tersenyum manis, dikecupnya kening Amel sekilas sambil berbisik, "Selamat pagi sayang."Keduanya menikmati sejuknya angin yang berhembus dari hutan lindung, dengan posisi Bram memeluk Amel dari belakang."Sayang, maafkan Papah ya?" ucap Bram dengan lembut."Maaf untuk apa, Pah?" Tentu Amel bertanya, sebab Bram tidak melakukan kesalahan."Karena tidak menemanimu tidur satu malam ini," jawab Bram.Amel memutar kepala, ditatapnya wajah tampan Bram yang j
"Bryan, tolong dengarkan aku.""Cukup Amel, kamu sudah cukup menghancurkan keluarga ini. Apa kamu belum puas?" sentak Bryan dengan nada tinggi, yang membuat Amel terdiam."Aku bingung melihat wanita seperti kamu. Tanpa rasa bersalah kamu memberiku harapan waktu itu, padahal kamu adalah simpanan Papah. Sekarang kamu merebut Papah seutuhnya dari Mama, padahal dia adalah kakakmu sendiri," lanjut Bryan.Amel mematung, butiran bening bercucuran membasahi kedua pipi mulusnya. Sungguh hal ini tidak pernah terlintas dalam benaknya. Permintaan Maria untuk menyelamatkan Bram dari rencana busuk Tania! Justru membuatnya terjebak dalam masalah dan cinta. Bahkan saat ini benih cinta Bram sudah tumbuh dan berkembang dalam rahimnya."Aku minta maaf," ucap Amel dengan lembut."Jika kamu ingin mendapat maaf dariku! Jauhi keluarga ini," tegas Bryan."Iya, tapi beri aku waktu," jawab Amel, "Satu lagi, jangan katakan kepada siapapun tentang kehamilanku, dan tetaplah tinggal di sini," lanjutnya."Oky, baik
Tanpa terasa 2 Minggu telah berlalu, Amel semakin sering melamun dan menyendiri. Hal itu membuat Bram bertanya-tanya dan curiga."Sayang, kamu di sini?" Bram melangkah menghampiri Amel yang duduk di balkon."Eh, Papah sudah pulang?" Amel mencium punggung tangan Bram."Mah, sebaiknya kita periksa ke rumah sakit. Soalnya wajah Mamah terlihat pucat, aku takut Mamah kenapa-kenapa!" ucap Bram dengan rasa khawatir."Papah, jangan berlebihan deh! Orang sehat kok dibawa ke rumah sakit?" bantah Amel.Tentu Amel menolak, jika Bram sampai membawanya ke rumah sakit! Pria tampan itu akan mengetahui tentang kehamilannya."Tapi wajah Mamah memang pucat. Tania aja yang lagi hamil gak pucat seperti Mamah, padahal Tania sering mual-mual setiap hari," bantah Bram dengan membandingkan wajah Tania dan Amel."Udah deh Pah, enggak usah bahas yang aneh-aneh. Lebih baik Papah mandi, biar aku buatkan kopi." Amel berusaha mengakhiri perbincangan mereka.Bram masuk ke kamar mandi, sedangkan Amel membuatkan satu
"Berusaha lah agar Om Bram tidak menceraikan kamu," sahut Amel."Hanya kamu yang bisa melakukan itu Amel, jika kamu ingin melihat keponakanmu mendapat kasih sayang dari kedua orang tuanya! Pergilah dari kehidupan Bram, izinkan bayi ini merasakan kehangatan dari ayahnya. Aku mohon kepadamu Amel." Tania mengatakan itu sambil berurai air mata."Baiklah, tapi berjanji lah! Kamu tidak akan mengecewakan Om Bram untuk kedua kalinya," ucap amel.Tania meraih tangan Amel, menggenggamnya dengan erat, "Aku berjanji," ucapnya dengan wajah meyakinkan."Aku percaya padamu," balas Amel.Tania memeluk Amel dengan erat, bibirnya tidak berhenti mengucapkan terima kasih kepada Amel."Kamu sudah membantuku, aku juga harus membantumu," ucap Tania setelah melepaskan pelukannya dari Amel."Terima kasih, kamu tidak perlu membantuku karena aku tidak butuh uang atau apapun itu. Kamu cukup menyayangi Om Bram dan tidak mengecewakannya, itu sudah cukup bagiku.""Itu sudah pasti kulakukan," jawab Tania, "Tapi aku